Di suatu negeri antah-berantah, seleksi komisioner lembaga anti korupsi sedang berlangsung. Tapi, entah mengapa, hasil seleksinya selalu bikin masyarakat geleng-geleng kepala, bukan karena bangga, tapi lebih ke arah pusing 13 keliling. Ada yang salah, tapi susah dijelaskan dengan logika sederhana.
"Seleksi komisioner itu seperti memilih tukang kebun," kata seorang pengamat dengan senyum tipis. "Kalau salah pilih, yang tumbuh bukan tanaman, tapi semak belukar... yang sulit dicabut!"
Di sinilah letak ironi negeri ini. Apa mungkin panitia seleksi salah membuka buku panduan? Bukannya memfilter calon terbaik, mereka malah seperti menggunakan kertas lotere. Ayo, coba tebak: Siapa yang beruntung hari ini?
Seorang pengamat senior mengungkapkan dengan gemas, "Kata Plato, pemimpin yang baik dihasilkan dari seleksi yang baik. Tapi di sini, seleksi lebih mirip lotere; yang terpilih tak selalu yang terbaik, kadang yang paling untung."
Ketika calon komisioner yang terpilih mulai bekerja, semua mata terfokus pada hasil kerja mereka. Tapi bukannya memperkuat lembaga anti korupsi, para pemimpin ini malah lebih sering membuat berita kontroversial. "Kalau KPK ibarat kapal perang anti korupsi, kenapa nakhodanya sering malah yang bikin bocor kapal?" tanya si pengamat sambil menepuk jidatnya sendiri. "Mungkin karena yang seleksi lebih suka nakhoda yang ramah pada badai korupsi."
Waktu terus berlalu, tetapi hasil seleksi tetap mengecewakan. "Seleksi komisioner di negeri ini, kayak filter kopi bolong-bolong. Yang lolos malah ampasnya," tambah seorang warga yang kebetulan sedang ngopi di warung, ikut mengamati fenomena ini dengan senyum getir.
Setiap kali terjadi kasus etik atau pelanggaran hukum, masyarakat selalu bertanya, siapa yang salah? "Apakah mungkin kita harus menyeleksi ulang yang menyeleksi?" ucap seorang netizen dengan sarkasme yang tajam. "Karena kelihatannya, justru di situ masalahnya bermula."
Pertanyaan retoris itu kemudian diikuti oleh renungan yang lebih dalam, "Jika setiap komisioner terpilih bermasalah, kita harus bertanya: apa yang lebih bermasalah, komisionernya atau yang memilihnya?"
Di dunia yang penuh dengan teknologi canggih, transparansi sudah seharusnya jadi kunci, lalu mengapa justru yang lolos seleksi tampak samar? "Sepertinya panitia seleksi KPK berlangganan filter postingan foto; yang terlihat cerah, padahal realitanya penuh noise dan blur," kata seorang komika dalam salah satu acara stand-up comedy. Penonton langsung terbahak.
"Katanya, transparansi adalah kunci. Tapi dalam seleksi komisioner, kuncinya sering hilang di laci-laci yang gelap," tambahnya sambil tertawa kecil. Makin banyak yang ngakak mendengar ini.
Seleksi yang berlangsung ini bahkan lebih mirip audisi penyanyi yang suka joget, "yang dipilih bukan yang punya suara, tapi yang punya gaya paling goyang," lanjut si komika sambil memeragakan gaya goyangan ala dangdut koplo, membuat penonton tertawa sampai terjungkal.
Pada akhirnya, seleksi ini benar-benar seperti reality show, drama di balik layar lebih seru daripada yang kita tonton di depan. "Mungkin seleksi komisioner ini seperti reality show, drama di belakang panggung lebih seru daripada yang kita tonton di layar," tutupnya sambil melempar mikrofon ke MC, disambut sorak sorai penonton yang masih tertawa terbahak-bahak.
Begitulah kisah seleksi komisioner yang terus mengundang gelak tawa, tapi tawa getir yang membawa pesan penting: mungkin sudah waktunya untuk menyeleksi ulang yang menyeleksi.