Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Aceh-Sumatra Utara 2024 harus mendapat rapor merah, sebuah penilaian yang sangat diperlukan untuk mengingatkan kita semua akan pentingnya penyelenggaraan yang baik. Dengan partisipasi 12.919 atlet, PON 2024 mencatatkan diri sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, namun sayangnya hal itu tak diimbangi dengan persiapan yang memadai.
Besarnya Anggaran, Kecilnya Hasil
Anggaran sebesar Rp3,94 triliun, yang terdiri dari Rp2,2 triliun dari APBN dan Rp1,74 triliun dari APBD, seharusnya menciptakan penyelenggaraan yang megah. Namun, kenyataannya berbeda. Masalah akomodasi atlet, konsumsi yang tidak layak, dan venue yang amburadul menjadi sorotan utama. Ketidaksiapan panitia sangat terasa, menciptakan suasana yang jauh dari harapan.
Dugaan Penyelewengan Anggaran
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan adanya penyelewengan anggaran. Pengurus KONI daerah menilai PON 2024 sebagai yang terburuk dalam sejarah penyelenggaraan. Ini menjadi catatan penting untuk ditindaklanjuti oleh Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk Presiden Joko Widodo. Satgas diharapkan dapat menelusuri dugaan penyelewengan ini dan mengembalikan kepercayaan publik.
Kehilangan Spirit Sportivitas
Kekecewaan publik, termasuk atlet dan ofisial, semakin meningkat ketika praktik pengabaian sportivitas terlihat jelas. Keberhasilan yang dicari dalam ajang ini harusnya berlandaskan pada sportivitas dan integritas, bukan sekadar mengejar medali. Banyak cabang olahraga, seperti sepak bola dan tinju, terjerat dalam kecurangan yang merusak citra PON.
Pentingnya Evaluasi dan Audit Total
Mendesak adanya evaluasi dan audit total menjadi langkah yang tak bisa ditunda. Penyelenggaraan PON harus kembali mencerminkan kebanggaan nasional. Dalam waktu empat tahun ke depan, kita akan menghadapi PON Nusa Tenggara 2028. Penting bagi pemerintah untuk belajar dari kesalahan PON 2024 agar kesalahan serupa tidak terulang.
Mengembalikan Spirit PON
Tugas besar pemerintah adalah mengembalikan semangat PON yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1948. Jika ajang ini hanya menjadi tempat buang-buang anggaran tanpa hasil nyata, maka pertanyaan publik tentang relevansi PON akan semakin kuat.
Kita perlu menegaskan bahwa PON bukan sekadar kompetisi, melainkan sebuah upaya untuk membangun prestasi olahraga nasional. Mari kita wujudkan PON yang tidak hanya mencetak medali, tetapi juga menciptakan generasi atlet yang berintegritas dan berbakat.
Sebagai penutup, mari kita bersatu untuk memastikan bahwa PON ke depan bukan hanya sekadar ajang, tetapi sebuah momentum untuk kemajuan olahraga Indonesia. Penyelenggaraan yang baik adalah cerminan dari komitmen kita terhadap olahraga dan generasi mendatang.