Fenomena Aneh
Di sebuah negeri yang katanya menganut demokrasi terbesar di dunia, tiba-tiba terjadi fenomena aneh - Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) mengemuka tanpa kompetisi nyata. Lomba politik yang seharusnya riuh dengan semangat dan adu gagasan, kini seperti pentas yang sunyi. "Kotak Kosong" muncul sebagai lawan paling tangguh dalam sejarah Pilkada. Sang kotak pun siap menghadapi calon tunggal yang konon tanpa tandingan.
Raja Sendiri di Papan
Suatu hari, Pak Dilan, warga setempat yang gemar ikut pemilu, duduk termenung di warung kopi.
"Eh, Kang," sapanya pada si penjual kopi dan pisang goreng, "ini Pilkada besok gimana ya? Kok calonnya cuma satu?"
Si Kang Kopi tertawa, "Iya, sekarang kita pilih antara calon tunggal atau kotak kosong. Ini mah bukan pesta demokrasi, tapi pemilihan dekorasi, calon dihias sendirian."
Pak Dilan manggut-manggut, "Mirip main catur, ya? Biasanya kan rame, tapi sekarang yang ada koq cuma raja sendiri di papan. Sisanya, kotak-kotak kosong. Catur apa ini?"
"Betul, Kang," jawab si penjual sambil mengaduk kopi, "tapi anehnya, di negara kita, kotak kosong itu bisa menang!"
Apa yang Seru Dari Ini Semua?
Malam itu, Pak Dilan tak bisa tidur. Ia membayangkan keesokan hari saat harus mencoblos. "Apa yang seru dari ini semua?" pikirnya.
Di pagi hari Pilkada, Pak Dilan berangkat ke TPS. Saat tiba di sana, ia bertemu dengan teman lamanya, Pak Boni. Penjual martabak keliling.
"Eh, Din," sapa Pak Boni, "kamu yakin mau nyoblos? Pilihannya cuma satu calon lawan kotak kosong."
Pak Dilan tertawa kecil, "Iya, Bon. Demokrasi itu soal pilihan. Tapi kalau pilihannya cuma satu, apa ini masih disebut memilih?"
Pak Boni mendesah, "Kita ini seolah diundang ke pesta rakyat, tapi cuma ada satu hidangan di meja. Harus suka gak suka, ya makan itu juga."
Seperti Ujian Paling Sulit
Saat masuk ke bilik suara, Pak Dilan melihat surat suara di tangannya. Ada dua pilihan: calon tunggal, dan kotak kosong. Seketika ia terbengong. Perasaannya kosong, pikirannya juga jadi kosong melompong.
Lalu, beberapa menit kemudian dia berpikir, "Ini kok seperti ujian paling sulit, ya? Menang tanpa bertarung sepertinya lebih susah daripada kalah dengan gagah." Pak Dilan pun tergelitik. Apa bedanya memilih calon tunggal atau kotak kosong? Keduanya terasa kosong.
Dia tertawa sendiri, "Kalau lawannya kotak kosong, pemenangnya siapa? Mungkin kotak kosong itu adalah pahlawan yang selama ini kita cari!"
Lari Sendirian Di Lintasan
Selesai nyoblos, Pak Dilan keluar TPS dan bertemu lagi dengan Pak Boni.
"Bon," katanya sambil tersenyum, "ini Pilkada mirip kompetisi olahraga. Lari sendirian di lintasan, tetap dapat medali emas. Pertanyaannya: kita harus bersorak atau ketawa?"
Pak Boni hanya mengangkat bahu, "Kalau aku sih sudah pesimis. Kayak mau pesan makanan di restoran, tapi menunya cuma satu. Ya suka gak suka, pesan itu juga."
Mereka berdua tertawa kecil, meresapi absurdnya situasi.
Ancaman Politik Terbesar Abad Ini
Beberapa hari kemudian, hasil Pilkada diumumkan. Calon tunggal menang telak, tapi kotak kosong berhasil mendapatkan suara tak sedikit. Nyaris mengimbangi.
"Wah," gumam Pak Dilan, "ternyata kotak kosong itu bukan sembarang lawan. Ini ancaman politik terbesar abad ini!" Dia terbahak, merasa humor cerdas dari ironi yang terjadi.
Pak Boni menimpali, "Mungkin ke depan, kotak kosong harus dikasih nama panggilan. Biar lebih akrab, kita sebut saja dia 'Mas Kosong.' Siapa tahu jadi tren di Pilkada selanjutnya."
Mereka berdua tertawa lepas, bukan karena lucu, tapi karena fenomena ini sungguh absurd. Di negeri yang katanya demokrasi terbesar, mereka merasa justru kotak kosonglah yang mungkin paling punya peluang membawa perubahan.
Apa yang Perlu Diisi ?
Ya, begitulah kisah "Kotak Kosong", sang pahlawan Pilkada, yang tanpa suara tetap menggelitik akal. Cerita ini bukan sekadar lelucon, tapi cermin untuk kita semua - bahwa ketika kotak kosong punya kekuatan, maka mungkin yang perlu diisi bukan hanya kotaknya, tapi juga pemahaman kita tentang arti demokrasi yang sejati.