Suatu hari di sebuah kedai kopi elit, duduklah sekelompok politisi yang baru saja memenangkan kursi di parlemen. Sambil menyeruput kopi mahal, mereka saling berbagi cerita tentang pengalaman kampanye mereka yang, tentu saja, penuh warna. Tapi, warna yang paling mencolok bukanlah bendera partai, melainkan warna hijau… dari uang.
“Ah, politik itu ibarat seni,” kata salah satu dari mereka, menghela napas panjang. “Mahal bayarannya, tapi hasil akhirnya? Paling banter cuma coretan tak berarti. Kita yang disuruh pamer karya, tapi rakyat? Cuma disuruh bayar tiket mahal buat nonton.”
Temannya tertawa kecil, menambahkan, “Betul! Demokrasi katanya adalah suara rakyat. Tapi anehnya, yang lebih sering terdengar justru suara lembaran uang yang berbisik di balik amplop. Kalau suara rakyat sih, entah kemana itu hilangnya.”
Satu politisi yang lain, yang baru saja menyesap kopinya, ikut menimpali, “Kalau dipikir-pikir, kampanye itu kaya beli tiket nonton film di bioskop. Mahal banget! Tapi yang kita tonton? Filmnya nggak pernah mulai. Paling-paling popcornnya basi, dan kita disuruh duduk diam nunggu ending yang nggak jelas!”
Mereka tertawa lagi, lebih keras kali ini. “Dan lucunya,” lanjut politisi yang paling muda, “Selamat datang di arena demokrasi! Di mana setiap suara dihargai... selama Anda punya uang cukup buat dengar suaranya. Tanpa uang? Sorry, bro, suara rakyat nggak kedengeran!”
Politisi senior yang duduk di pojokan mengangkat alis, tampak serius. “Katanya pemimpin itu lahir dari rakyat,” dia memulai dengan nada filosofis, “Tapi kalau benar, kenapa rakyat yang harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk bisa ketemu ‘anak kandungnya’? Bukankah seharusnya anak yang datang minta restu?”
"Lebih parah lagi", lanjutnya, "Banyak anggota wakil rakyat sekarang ramai-ramai menggadaikan SK pengangkatannya sebagai anggota DPRD ke bank buat pinjaman. Gimana mau mikirin rakyat, kalau yang pertama kali mereka pikirin itu cicilan pinjaman".
Satu politisi lainnya, sambil mengaduk kopinya yang mulai dingin, berkomentar dengan santai, “Wah, koq saya baru tahu? Ah, sudahlah... kalau demokrasi adalah suara rakyat, kok kita lebih sering dengar suara mesin ATM sih, ketimbang aspirasi rakyat?”
Tawa pun semakin pecah. Mereka kemudian mulai membahas fenomena lain yang tak kalah menggelitik. “Politik, sobat-sobatku, seperti belanja di online shop,” kata politisi termuda. “Promonya besar, diskon janjinya lebih besar lagi. Tapi begitu barangnya sampai? Barang palsu! Eh, nggak bisa refund pula! Password-nya lupa!”
Semua pun setuju, tertawa sambil menyeruput kopi mereka yang kini mulai terasa pahit. Lalu, seorang politisi yang terkenal dengan gaya bicara yang nyeleneh berkata, “Kalau setiap kursi di parlemen itu seperti kursi bioskop, mungkin banyak dari kita yang punggungnya udah pegal duduk terlalu lama nunggu film mulai. Tapi sayangnya, yang muncul malah iklan utang cicilan!”
Tawa terakhir mereka adalah yang paling keras, sebab di situlah mereka sadar: semua lelucon tentang demokrasi, biaya politik, dan janji-janji palsu itu sebetulnya adalah refleksi kehidupan nyata mereka. Seperti kopi mahal di kedai elit, politik terasa nikmat hanya sesaat, tapi yang dibawa pulang? Gelas kosong dan tagihan kartu kredit!
Dan begitulah, para politisi ini pulang membawa tawa, ironi, dan tentu saja… kopi yang sangat mahal.