Suatu hari, di sebuah rumah sakit yang mengklaim berstandar internasional, ada seorang dokter muda yang mengikuti wawancara kerja. Dia mengenakan hijab, dan percaya bahwa kompetensinya lebih dari cukup untuk diterima. Tapi, di akhir sesi wawancara, muncul pertanyaan yang agak menggelitik.
"Dokter, kalau diterima, apakah bersedia membuka hijab?"
Dokter muda itu terdiam sejenak, lalu dengan senyum tipis, menjawab, "Saya pikir, rumah sakit berstandar internasional akan lebih fokus pada kompetensi, bukan pada sehelai kain di kepala. Tapi sepertinya, standar internasional di sini agak berbeda, ya?"
Wawancara selesai, tapi cerita belum. Dokter muda itu pulang dengan pikiran penuh tanda tanya. "Apa benar kelas internasional itu diukur dari seragam? Kalau iya, mungkin dokter di sini harus ikut fashion week dulu sebelum praktek!"
Teman dokter muda yang disampingnya, hanya senyum bijak sambil berguman, "Kelas internasional, tapi standar performance berpakaian saja belum rasional...".
Ketika dia bercerita kepada teman-temannya, ada satu yang nyeletuk, "Wah, kalau seragam lebih penting daripada keterampilan, mungkin kita harus siap-siap lihat chef pakai jas dokter atau perawat pakai baju polisi. Siapa tahu seragam bisa bikin kerja lebih efektif, kan?"
Suasana jadi semakin kocak ketika mereka mulai mengimajinasikan skenario lucu: "Kalau gitu, dokter ahli bedah nanti harus pakai setelan jas resmi dengan dasi, sambil operasi. Jangan lupa pakai kacamata hitam biar lebih keren."
Temannya yang lain menyambung, "Iya, dan kalau pasien nanya soal penyakit, jawabnya bukan dengan diagnosis medis, tapi dengan saran gaya berpakaian. 'Saya sarankan Anda pakai jaket kulit, soalnya kondisi ginjal Anda terlihat lebih cocok dengan gaya biker!'"
Mereka tertawa terbahak-bahak. "Ini rumah sakit atau panggung runway, ya?" tanya salah satu dengan nada penuh satire. Mereka pun setuju bahwa standar internasional bukanlah soal apa yang terlihat dari luar, tapi apa yang ada di kepala - bukan soal hijab atau seragam, tapi soal pemikiran dan keterampilan.
Namun, satu di antara mereka mengingatkan, "Tapi coba pikir lagi, mungkin ini tanda-tanda zaman. Kita sudah maju ke era AI, robot, dan kecerdasan buatan, tapi pikiran kita kadang masih di zaman purba. Mungkin, di balik teknologi yang canggih, ada yang lupa memutakhirkan pola pikir."
Dengan gaya penuh filosofi, temannya menjawab, "Mungkin benar, tapi pertanyaan pentingnya adalah: standar internasional itu sebenarnya diukur dari integritas atau dari sehelai kain? Karena kayaknya, kita belum sepakat soal itu."
Satu orang lagi menimpali sambil tertawa, "Kalau benar hijab jadi soal besar, mungkin berikutnya kita lihat dokter yang diwajibkan pakai jas mahal dan sepatu kulit untuk operasi, biar kelihatan lebih kredibel!"
Akhirnya, mereka semua sepakat, bahwa masalah hijab di rumah sakit itu bukan soal seragam atau penampilan, tapi soal bagaimana kita memahami konsep internasional yang sesungguhnya. Dan di tengah tawa mereka, terselip pesan reflektif: "Kalau generasi Z udah bicara soal AI, masa kita masih sibuk debat soal hijab? Ayo dong, kita bicarakan masa depan, bukan kembali ke masa lalu."
Cerita ditutup dengan imajinasi liar yang mengundang tawa. "Kalau standar ganda ini terus terjadi, mungkin kita harus siap lihat dokter yang ujian praktek sambil berjalan di atas catwalk. Jangan lupa, pasien yang datang juga dinilai dari outfit mereka. Kalau pakai batik, mungkin langsung dikasih diskon khusus!"
Di balik canda, tersirat kritik yang tajam. Bagaimana mungkin, di tengah kebhinekaan dan kemajuan teknologi, kita masih terjebak dalam masalah-masalah sepele seperti penampilan luar? Mungkin saatnya kita benar-benar bergerak menuju standar yang rasional - bukan hanya internasional di kata, tapi juga di makna.