"Mereka menyebutnya raja, namun tak punya kerajaan di hati rakyat. Mahkota emas tak sebanding dengan mahkota duri yang tertancap dalam sanubari rakyat jelata," begitu bisik rakyat.
Sang raja, bagai burung gagak berdandan merak, berusaha keras menunjukkan kemewahan. Ia membangun istana megah, menggelar pesta mewah, dan aktif di media sosial. "Raja viral zaman now, trending topic sebentar, lalu jadi bahan meme," ejek para netizen.
"Apa gunanya istana megah jika rakyat hidup dalam kubangan lumpur?" tanya seorang filsuf desa. "Bukankah kebahagiaan rakyat adalah cerminan kejayaan seorang raja?"
Sang raja terdiam. Ia baru menyadari, kekuasaan mutlak yang ia genggam hanyalah ilusi. "Apakah kekuasaan mutlak menjamin kebahagiaan? Ataukah hanya sekedar belenggu?" gumamnya dalam hati.
"Dulu raja-raja berlomba membangun situs istana, sekarang berlomba membangun citra di media sosial. Mana yang lebih abadi?" tanya seorang sejarawan.
"Konon katanya, ia punya kemampuan membaca pikiran rakyat," celetuk seorang tukang becak. "Sayangnya, pikiran rakyat yang ia baca kebanyakan adalah 'kapan sih ini orang ngundurin diri?'"
"Mereka bilang ia adalah raja yang kuat, tapi kenapa setiap kali ada demo, ia selalu diluar kota istana?" sahut seorang pedagang.
Sang raja semakin terpuruk. Ia sadar, ia hanyalah seorang pemain sandiwara yang gagal. Ia bukan pemimpin yang sejati, melainkan seorang figur yang didorong oleh ambisi dan kesombongan.
Akhirnya, sang raja menyadari bahwa seorang raja sejati tak lahir dari takhta, melainkan dari hati rakyat. Ia bukan pemimpin yang memerintah, melainkan pelayan yang melayani. Namun, penyesalan itu datang terlambat. Mahkota emasnya telah berubah menjadi mahkota duri yang menusuk hatinya.