Di sebuah negeri antah berantah, ada satu lembaga yang dikenal dengan nama Dewan Pakar. Nama mereka terdengar keren, tapi entah kenapa peran mereka makin lama makin mirip dengan Dewan Pemanis. Ya, mereka duduk diam, manis, tapi sayangnya tak lagi memberikan rasa yang berarti. Mungkin mirip dengan gula palsu yang kelihatan manis, tapi bikin minuman tetap hambar.
Suatu hari, ada yang mengusulkan ide brilian. "Hei, jika para ahli ini tak lagi dianggap ahli, kenapa kita tidak undang pelawak saja untuk mengajar tentang keseriusan?". Katanya sambil terkekeh. Semua yang mendengar langsung tertawa, membayangkan Dewan Pakar digantikan oleh stand-up comedian. Tapi tunggu, itu ide yang buruk atau justru ide jenius?
Tapi kenyataannya, Dewan Pakar ini sudah seperti obat kadaluarsa, disimpan saja di laci, tapi tak pernah dipakai. Walaupun tidak dipakai, tetap saja mereka disebut ahli. Ibarat kata, ini seperti punya Wi-Fi gratis di tempat umum: ada, tapi sinyalnya nggak nyampe! Yang penting ada!
Tiba-tiba, ada seorang pengamat seni yang nyeletuk, "Kalau Dewan Pakar cuma jadi dekorasi, kenapa tidak kita kirim saja mereka ke pameran seni? Setidaknya di sana, orang tahu cara menghargai seni." Semua orang kembali tertawa. Tapi ini bukan sekadar lelucon, mungkin ada benarnya juga. Dewan Pakar ini sudah jadi lebih mirip patung di galeri ketimbang penentu kebijakan.
Lalu muncul ide lain, lebih gila lagi, "Jika Dewan Pakar tak lagi didengar, kenapa tidak kita sekalian undang selebritas untuk memberi saran tentang kebijakan negara?". Sontak ruangan jadi riuh. Bayangkan saja, bintang film mengajarkan cara mengelola ekonomi atau penyanyi pop membahas strategi diplomasi internasional. Lucu? Atau justru mengkhawatirkan?
Kepala dewan yang duduk di pojok ruangan akhirnya angkat bicara, "Jika pakar tak lagi dipekerjakan sebagai pakar, apakah kita benar-benar mencari solusi atau hanya mengisi kursi?". Ia menghela napas panjang. Semua terdiam sejenak, merenungi pertanyaan itu. Mungkin memang benar, mereka hanya sedang bermain kursi-kursian di sini.
Suasana yang tadinya serius mendadak jadi kocak lagi. "Ketika Dewan Pakar hanya jadi latar belakang politik, jangan heran kalau nanti kita punya Dewan Komedi yang lebih ahli dalam berkelakar," seorang anggota yang lain berkomentar sambil tertawa lepas. Bayangkan saja jika benar terjadi, Dewan Komedi dengan ketua stand-up comedian, yang punya rapat terbuka setiap malam Jumat. Setidaknya bakal lebih menghibur daripada drama yang biasanya terjadi.
Tapi sebenarnya, mungkin Dewan Pakar ini sebenarnya bagian dari reality show politik. Kita cuma belum tahu siapa host-nya. Ya, ini semua mungkin cuma permainan reality show, di mana kita semua menjadi penontonnya.
Di akhir cerita, ada satu anggota yang bergumam, "Di negeri ini, ketika Dewan Pakar berbicara, yang mendengar cuma cermin di ruang rapat. Setidaknya, ada yang mendengarkan, kan?". Semua orang tertawa terbahak-bahak, sadar betapa lucunya kenyataan yang mereka hadapi.
Begitulah cerita humor Dewan Pakar yang tak lagi menjadi pakar. Mungkin kelak mereka akan menemukan kembali makna dan peran mereka. Tapi sampai saat itu tiba, kita semua hanya bisa tertawa dan berharap... atau mungkin, seperti cermin, hanya mendengarkan pantulan suara mereka sendiri.