Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

De Luna Llena

16 Mei 2015   05:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57 16 0

02.55 WIB, 21 April 2014.

Hoam !!

Suara kemrethuk terdengar kala Aku melemaskan tubuh ke kanan serta kiri, begitu juga sendi-sendi tangan kala aku membentangkannya sambil mengayun-ayunkan kedepan dan kebelakang beberapa kali, tak lupa mengkepal-kepalkan telapak tangan. Sudah menjadi kebiasaan, sekali terjaga dari tidur ditengah malam, bisa dipastikan ngantuk nggak bakalnyamperin kecuali selepas maghrib malam berikutnya. Meski sudah reda,hujan yang tadi turun membuat suasana sepi semakin menjadi.

Tampak dari balik tirai tipis jendela kamar, langit malam ini terlihat begitu indah dihiasi bintang-bintang karena bulan sinarnya agak redup tertutup awan. Menurut berita di detik digital kanal fotografi, kita bisa menyaksikan peristiwa supermoon jika sore tadi tidak hujan, peristiwa dimana bulan berada di garis orbit terdekat dengan rumah kita, Bumi ! Sebuah peristiwa alam yang begitu indah.

Pikirku teringat waktu kecil, tiap kali melihat kemunculan bulan purnama yang seolah duduk di pucuk atap rumah Joglo Pakde ketika berangkat mengaji maghrib ke musolla depan rumah Pakde Zauhri yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat tinggalku, bisa dipastikan tatapanku tak teralihkan memandangi kemunculan bulan purnama disepanjang jalan kampung ketika aku melangkah menuju Musolla, bahkan saking polosnya waktu itu, aku bertanya kepada Pakde yang menjadi guru ngaji anak-anak di kampung “Kenapa Malam Riyadin kok Belum pernah kulo jumpai bareng bulan Purnama, Pakde ?” karena pikir polosku beranggapan menyalakan kembang api yang digantung di pohon depan rumah akan lebih indah cahayanya, Hihi .

Detak jam analog duduk di meja saat ini bisa menggambarkan sepinya suasana malam ini. Mataku mengawasi tiap jengkal dinding kamar dan lantai mencari rokok yang masih tersisa tak seberapa dan tetap saja tak ketemu! Dalam keputus asaan. Tatapanku dibagian dinding diatas meja, tergantung foto Almarhum Simbah Kakung dengan senyum khasnya dengan gigi ompong dan kerutan wajahnya saat itu, raut wajahnya tampak berseri dengan kopyah putih dan mataku menangkap sisa-sisa ketampanan beliau. Sementara disebelah kiridikit kebawah, tergantung foto close up seorang perempuan berbaju merah muda dengan aksesoris seperti tasbih di pergelangangan tangan kiri, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya tertempel menunjuk sorot matanya yang berkelopak, senyumnya mengembang sejuk. Dia begitu terlihat feminin, namanya Luna. Hmm, aku merasa jadi geli sendiri, beraninya aku mengutarakan keinginan meminangnya dua kali, pertama di malam tanggal 5 November 2012 saat perjalanan Kediri ke Semarang dan kedua pada bulan Juli 2013, padahal kerja aja belum, dan tragisnya lagi kedua-duanya ditolak meski kita tetap berkomunikasi dan berteman baik walaupun kadang ada berantemnya karena ego kekanak-kanakan masing-masing dari Aku dan Luna cukup besar seperti saat ini, Bulan ini adalah bulan keempat dimana Aku dan Luna tak saling bicara sejak kejadian akhir Desembar itu.

**********
Kubanting tubuhku kembali diatas kasur sambil berharap tertidur lagi dengan mendengar musik sambil menaruh headset ke telinga. Mengalihkan kekosongan malam, aku membuka akun facebook, 13 pemberitahuan dan satu inbok. Satu persatu aku lihat pemberitahuan dan betapa kagetnya aku, ketika nama orang yang mengirim pesan di inbox adalah Luna, Perempuan yang baru saja menyelinap dalam pikiranku.

“Apa kabar, Akbar ?” Isi pesan itu setelah aku pastikan.

“Baik, kamu sendiri gimana, Lun ?” Lalu aku susul dengan pesan kedua.

“Kapan balik lagi ?”.

Dalam kegembiraan karena bisa ngobrol dengan Luna, rokok yang kucari ketemu juga, aku letakan di ventilasi jendela bersama bungkus-bungkus kosong ! Beranjak aku meraihnya,menyulutnya dan......
Kebul !!
Seketika serasa setengah nikmat dari Surga telah diseret ke sekelilingku. Bagiku, memperhatikan kepulan asap rokok saat kita suntuk,tertekan dan kala sendiri adalah hal menyenangkan dan menghibur.

Handphone-ku berdering lagi..aku meraihnya,aku dapati pesan Luna di Facebook Messenger yang menempel disudut layar handphone.

“Baik...belum tahu”.

“Kenapa ?”. Timpal pesan Luna.

“Nggak Papa,nanya aja”. Balasku sambil membohongi perasaanku.

Sejujurnya aku sangat merindukan menghabiskan malam yang indah bersamanya, Sedang kejadian Desember kemarin, aku sangat menyesalinya dan sangat menyesalinya, Aku mungkin butuh dua atau tiga tahun lagi untuk mencuri pandang wajahnya saat dia bicara, atau mungkin mengutarakan niat melamarnya lagi untuk ketiga kali.

“Kenapa akun facebooknya di non-aktifkan lama banget kemarin, Lun ?”. Selidikku membalas chat Luna meski aku sebenarnya tahu alsan yang melatar belakanginya.

“Gpp”. Tulis Luna singkat.

Membaca pesan Luna dengan ditulis singkat, aku yakin menandakan dia kecewa atas kejadian saat itu. Argh, Kenapa salah bertanya sih aku ? membuat suasana yang tadinya begitu ramai dan menyenangkan berubah beku, Luna pun tak membalas lagi.

Aku matikan musik di handphone dan melepas headset di telinga. Tak habis pikir, aku melangkah keluar kamar kos menyesali pertanyaan bodohku tadi. Aku mencoba menepis resah dengan dengan memandang langit, Bulan yang tadi tak tampak karena tertutup mendung, kini terlihat terang dan jelas seolah akan akan terbenam dibalik gunung Wilis.
Handphone-ku berdering, sigap aku masuk kamar serta berharap itu adalah pesan diFacebook Messenger,What Up atau Skype dari Luna, karena kita memang sering menggunakan tiga aplikasi ini untuk berkomunikasi, dan....

“Akbar ! Kamu itu kadang jengkelin, kadang bikin gondokan, sekaligus juga ngangenin :( ”.

“Ngangenin seperti saat ini ? :p ”. Ledekku ketika Luna membalas lagi, kemurungan yang baru saja menyergapku pun tak jadi.

“Tapi aku nggak ngerasa ngejengkelin tuh :v ”. Timpal chat dariku lagi.

“Penyakit ngeless kamu masih juga dipelihara ya ,Bar ? :p ”. Ledek Luna dalam chat.

“Eh, eh skype kamu yang dulu itu masih aktif nggak,Lun ?”.

“Masih, napa ?”.

“Kangen denger suara ka...mu” rengekku dalam pesan.

“Sebentar, aku log in dulu”. jawab Luna.

“ Sampun :D”. Luna memberondong chat.

Begitu cekatan Luna membalas tiap chat yang aku kirim, teringat akan jarinya yang lentik ketika sedang mengetik diatas layar,luwes dan lincah. Berbeda dengan jari-jariku besar-besar menyebabkan kerepotan jika harus menekan huruf-huruf di layar handphone, serasa jari tangan kaki adalah jempol kaki semuanya jika harus menulis chat atau membalas pesan.
************
03.16 AM, Selasa 22 April 2014.

Aku coba mendeham dan mengatur nafas, sementara pikirku masih bingung memilih kata yang tepat untuk memulai percakapan dengan Luna, yang jelas aku begitu gugup dini hari ini, mungkin benar artikel yang sering aku baca di internet tentang apa yang terjadi dengan sistem kerja otak anak manusia ketika jatuh cinta, bagaimana reaksi otak ketika melihat orang yang kita cintai dikarena Hormon Dophamine,Testoteron dan sebagian fungsi otak yang lebih dominan menghasilkan cairan, dan itu pula – setahuku – yang menjadi alasan kenapa ketika anak manusia jatuh cinta emosinya begitu campur aduk,mudah gelisah, resah, tiba-tiba merasa bahagia tanpa alasan pasti dan sebagainya.

Percakapan di skype sebenarnya telah tersambung setengah menit lalu, aku mendengar sayup-sayup lagu yang sedang diputar Luna disana, Besame Mucho oleh Cesare Evora, salah satu lagu bahasa Spanyol favoritku.

Dan detik demi detik tetap berlalu, sementara aku belum menemukan kata yang bisa aku jadikan kalimat pembuka percakapan.
“Apa kabar, Lun ?”. Gugup sapaku.

“Hmm, nggak ada yang lain pertanyaanya, Pak :) ?”. Ledek Luna diseberang telepon mendengar pertenyaan basa-basi yang sebetulnya di chat tadi sudah saling menanyakan. Aku hanya bisa nyengir jika mendengar keterus terangan si Luna ketika bicara, selain sifatnya yang gigih dan pantang menyerah.

“Ohya, kenapa kemarin kamu nggak mau aku jalan, Bar ?”. Terdengar Luna begitu hati-hati mengucapkanya, Mungkin Luna menganggap kejadian Desember itu adalah hal yang sensitif buat kita bicarakan terkait penolakan keinginanku melamarnya sebelumnya.

“ Eee, gimana ya... aku bingung mau menjelaskanya, Lun”.

“Kenapa harus malu ?” Desak Luna diseberang telepon sana.

“Ketika Jumat pagi itu, Jumat terakhir bulan Desember sebelum tahun baru , aku nggak mau kamu ajak jalan bukan karena apa-apa,tapi karena aku nggak punya duit”. Tuturku menjelaskan alasanku menolak ajakan Luna waktu itu.sembari melirihkan suaraku hingga seperti berbisik ketika sampai kata “nggak punya duit”, karena memang saat itu aku lagi nggak ada uang buat jalan, Sementara aku malu kalau sampai dibayari perempuan.

“Karena apa ,Bar...!? ” Tanya Luna sedikit meninggikan aksen suaranya, mungkin Luna mengira ada gangguan paket data internet yang menurun penetrasinya lalu mengakibatkan ketakjelasan suaraku di sebrang sana.

“Karena nggak punya duit”. Seketika Luna tertawa terbahak-bahak mendengarku.

“Apanya yang lucu, Luna ?”.

“Lucu aja,Bar... nggak biasanya Akbar bersikap gitu, Akbar yang selama ini aku kenal orangnya itu cuek dan ceplas-ceplos ngomongnya dan...” Kudengar Luna tersedak karena ngomong sambil tertawa sedang aku sendiri belum tahu letak kelucuan itu ada dimana.
“Dan apa...., Lun ?” Selidikku penasaran.

“Kamu dulu saja berani bilang pengen melamarku dan kamu jelaskan keadaan kamu belum punya pekerjaan, toh kamu enteng-enteng aja bilang ke aku”. Luna pun masih terpingkal-pingkal disebrang telepon.

Spontan tawaku pun pecah mendengar penjelasan Luna, yang bisa aku lakukan cuma garuk-garuk rambut kepala. Mungkin suhu di kutub utara akan menghangat jika tahu kehangatan suasana ini, suasana obrolan menghabiskan malamku dengan Luna, Hmm.

“...Kenapa kamu harus malu menjelaskan keadaan kamu saat itu ?”. Sambung Luna.sambil menahan sisa-sisa tawanya.
03.29 AM.

Bulan purnama seolah bisa dijangkau dengan tangan dari pucuk gunung Wilis. Cahayanya keperakan tak begitu terang melekat di langit yang tampak bagai lautan biru.

“Jam berapa disitu, Lun ?”.

“ Jam sebelas malam lebih dua puluh sembilan menit...kenapa, Bar..?”.

“ Sudah kelihatan belum purnama disitu ?”.

“ Sudah dar tadi, Indah banget !”.

Aku dengar Luna bergumam dalam bahasa spanyol. “De luna llena“.

“Apa artinya,Lun ?”.

“Full moon...bulan purnama”.

“Albadr...De Luna Llena” Sahutku.

“Bulan purnama dalam bahasa Arab dan Spanyol“. Tebak Luna disebrang telepon yang sedang aku bayangkan sedang menatap indahnya bulan, sama yang aku lakukan saat ini,disini.
Sejenak Aku terdiam, pandanganku terpaku menatap rembulan yang akan tergelincir jatuh diarah barat. Hening menyambut pagi. Aku beranjak dari kursi malas dari bambu di kamar kosku, aku hampiri perangkat musik portable di atas meja kamar dan aku putar lagu Elsa , Musisi perancis dengan jenis vokal tenor. Aku pun kembali ke kursi malas di depan kamar kos dan meraih handphone-ku kembali berharap ada suara Luna yang bisa merubah pagi yang segera menjadi malam hingga s

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun