Dalam aksi demonya, mereka menuntut pemerintah meneken surat persetujuan upah buruh Rp3,7 juta. Selain itu, para buruh juga meminta agar pemerintah dan pengusaha menghapus sistem kerja kontrak. Mereka juga mengatakan jika permintaan mereka tidak di kabulkan, mereka akan terus bahkan menambah jumlah buruh untuk melakukan demo.
Saat menggelar aksi demo, para buruh berkonvoi menggunakan sepeda motor. Mereka melakukan sweeping ke pabrik-pabrik lain dan memaksa para buruh yang masih bekerja untuk ikut melakukan demo. Cara kekerasan pun dilakukan seperti memukul, merusak, hingga melempari tempat kerja bagi buruh yang tidak mau mengikuti mereka.
Buruh menganggap bahwa demo seperti ini merupakan cara yang efektif agar pemerintah mau mendengar aspirasi yang ingin mereka sampaikan, menggunakan jalur musyawarah dianggap tidak efektif karena baik pemerintah maupun perusahaan tempat mereka bekerja tidak mengubris permintaan mereka.
Namun buruh tidak tinggal diam, mereka mulai melakukan aksi yang sudah termasuk kategori brutal, menutup akses jalan tol, jalan utama, hingga sabotase jembatan yang menjadi jalur utama bolak-balik pengendara. Polisi yang berjaga akhirnya mengambil tindakan dengan membubarkan paksa para buruh, dengan cara merusak kendaraan buruh hingga menembakan meriam air atau gas air mata untuk membubarkan buruh yang semakin menjadi-jadi dalam melakukan aksinya.
Aksi demo buruh seperti ini seharusnya tidak terjadi, apabila baik dari pihak buruh maupun pemerintah dan perusahaan mau duduk disatu meja dan membicarakan permasalahan ini. Pihak buruh seharusnya harus lebih mengerti bahwa tindakan pengrusakan fasilitas umum tersebut juga sangat merugikan mereka sendiri. Pihak pemerintah maupun perusahaan juga sebaiknya segera mungkin menemukan titik terang dimana para buruh juga akhirnya setuju dan menerima keputusan mereka.