Adalah namanya yakni Bunayah, Siti Bunayah, dengan sedikit cengkok pengucapan pada “nay” nya. Seorang nenek semi buyut yang tampak sederhana dengan penampilannya yang seperti nenek pada umumnya. Selalu berkebaya tipis yang tampak semi lusuh dan berselendang coklat dan memakai buntalan kain mirip sorban milik para wali songo di atas kepalanya. Seorang nenek yang kurang lebih telah 9 windu hidup di desa kecil di jawa timur yang bernama desa watuan, sebuah desa kecil yang ramai dan padat karena menganut paham revolusi industri yang tercetus berabad silam. Seorang nenek beranak empat yang entah di kemudian hari keempat anaknya hanya berstatus sebagai anak si nenek di sertipikat kelahiran. Tidak di kenyataan. Seorang nenek yang telah ditinggal mati suaminya puluhan tahun silam. Seorang nenek yang bisa dibilang “hidup di bawah rata-rata orang rata-rata”.
Nenek ini memang tampak seperti nenek-nenek kebanyakan ( tak seperti nenek titik puspa yang kelihatan remaja). Tak lagi kuat beraktivitas berat. Bahkan mungkin saking kangennya pada anak-anaknya perawakannya jadi sangat kecil dan lemah. Di wajahnya banyak terlihat gelombang laut pasifik.
Di desa watuan itu sendiri, banyak orang yang memanggil dia dengan sebutan mbah bunaya dodolan urap-urap. Mengapa? Karena dia memang berjualan urap-urap (makanan yang terdiri dari sayur-sayuran dan dicampur dengan bumbu dari parutan kelapa). Ya, dia berjualan seorang diri, membawa se-ebor (wadah besar dari anyaman bambu) besar dan menjajakan berkeliling desa, sambil terkadang meyek-meyek (terseok-seok) membawanya. Dia menjual urapnya selepas waktu sholat ashar, dari tetangga ke tetangga, rumah ke rumah, RT ke RT, RW ke RW, menghampiri tiap orang yang ditemuinya dan selalu dengan suara lemah yang tidak dibuat-buat berkata “nduk,, kerso urap-urap?” atau “le,, kerso urap-urap a?” (nak, apa kamu mau urap-urap?). Kadang dia juga menjual sedikit blendhung (jagung rebus yang diprotoli dan diberi bumbu parutan kelapa). Urap dan blendhungnya semua diberi wadah pincuk. Mengenai rasa urap-urapnya memang menurut beberapa warga biasa saja dan sebagian besar mengatakan kalau kadang urapnya terasa agak aneh, apalagi kebanyakan ibu-ibu yang sudah terbiasa masak maka gampang sekali mereka mengatakan kalau urap si mbah rodok mambu (agak basi) di belakangnya. Ya memang kadang urapnya terasa agak aneh, mungkin hal itu wajar mengingat di usianya yang seperti itu, siapa pula yang masih bisa masak enak. Namun mungkin karena merasa kasihan pada mbah bunaya, orang-orang di desa mau mengorek isi kantong sekitar dua ribu sampai lima ribu rupiah untuk sekedar barter tak imbang dengan urap-urap si mbah atau kadang adapula orang yang lagi berbaik hati, membeli dua ribu tapi bayar lima ribu atau sepuluh ribu, tanpa minta kembalian.
Tiap hari waktunya harus dia habiskan seorang diri, berjualan urap-urap berkeliling desa, pulang, istirahat, dan kembali terulang esok hari dan seterusnya entah sampai kapan lagi hal itu berulang mengingat usianya yang senja sekali. Mungkin sebulan dua bulan, setahun dua tahun atau sepuluh tahun lagi, tak ada yang tau. Di usianya yang senja itu, usia yang seharusnya orang bisa menikmati sunset bersama anak cucunya, namun apa daya, nihil. Entah kemana semua anak si mbah ini. Tak seorangpun tau, rahasia terpendam dalam, yang jelas mereka pergi dan tak kembali semenitpun ke ibunya ini.
Namun ada satu pesan dari mbah ini untuk anaknya jika mereka pulang nanti yang selalu disampaikannya pada pembeli urap-urapnya. “Wes, nduk,, misale anak-anakku balik, aku gak kepingin opo-opo, aku mung kepingin ngrangkul anakku, tak warai, gak usah adoh-adoh ambek ibuk nak, ibuk kangen”
*mungkin cerita di atas kurang mengharukan, tapi itulah adanya, mungkin penulis yang kurang pandai menulis. Tapi yang penulis mau utarakan sebenarnya, mumpung orang tua kita masih ada, ayo kita sayangi mereka.