Ada sebuah harapan ketika KPK berani mengungkap dan menangkap mafia-mafia pengerat di negeri ini. Tapi kemudian harapan itu pupus ketika KPK sendiri mengalami ketidakstabilan intern didalam lembaganya. Pejabat tinggi KPK tersandung kasus yang kemudian menghambat dan juga seakan mematikan kinerja KPK.
Kemudian muncullah issue akan diberlakukannya sistem pembuktian terbalik dan hukuman mati bagi para koruptor. Sistem pembuktian terbalik sudah diterapkan di negaranegara lain, kususnya untuk menangani kasus korupsi dimana bukan pihak berwenang yang mencari bukti bahwa si tersangka melakukan tindak pidana (korupsi), melainkan si tersangka itu sendiri yang kemudian membuktikan bahwa dia tidak melakukan tindakan pidana (korupsi). Kemudian diberlakukannya hukuman mati untuk para koruptor. Ini sangatlah rasional dan progres bila benara-benar berlaku di Indonesia. Hukuman mati akan menciptakan adanya rasa takut untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan keadaan sekarang, koruptor sangat ringan dalam menjalani hukuman. Hanya beberapa tahun disertai denda yang tak berharga. Kalau dikalkulasi, korupsi 100M kemudian dipenjara 3tahun dan denda 300juta,semua orang akan memilih untuk korupsi. Oleh karena dari itu DEAD PUNISHMENT IS DEAD PRICE TO ALL CORRUPTOR. Tidak ada alasan HAM untuk koruptor yang telah melanggar jutaan HAM milik masyarakat Indonesia. Harus di ingat, mereka (koruptor) telah menciptakan kesengsaraan bagi jutaan orang bahkan melakukan genosida secara tidak langsung.