Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Memotret Wajah Manusia Indonesia Masa Kini

8 Desember 2010   17:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 184 0

Pada ceramah buadaya tersebut, Mukhtar Lubis mengemukakan adanya lima ciri manusia Indonesia, yakni :

  1. Munafik atau hipokrisi. Anda tahu yang namanya Bunglon? Hewan tersebut mampu berganti warna kulit menyesuaikan dengan lingkungannya untuk menyelamatkan diri. Seperti itulah perilaku manusia Indonesia, di depan umum kita mengecam perilaku korup, namun dibelakang atau kalau ada kesempatan yang memungkinkan ternyata melakukannya juga. Di luar sistem berteriak lantang sebagai pendekar anti korupsi, namun ketika sudah berada dalam sistem, ternyata ikut terhanyut. Lihatlah, betapa banyak akademisi Indonesia dan pegiat anti korupsi, namun akhirnya terbawa arus juga. Kemunafikan manusia Indonesia ini juga terwujud dalam sikap Asal Bapak Senang (ABS) yang banyak terjadi di kantor birokrasi kita. Bahkan tak jarang, berusaha untuk mencari muka demi menjilat ludah sendiri.
  2. Enggan dan tidak mau bertanggung jawan atas perbuatannya sendiri. Sudah menjadi prinsip berjama’ah bila terjadi terjadi kesalahan, lantas manusia Indonesia ini mencari kambing hitam.Atasan tidak mau disalahkan dan menggeser kesalahan tersebut kepada bawahan. Seorang atasan adalah seorang pempimpin yang bertanggung jawab atas kesalahan dirinya maupun timnya sesuai dengan porsinya masing-masing. Perilaku kasat mata ini terlihat dengan jelas saat SBY menyatakan bahwa masyarakat Jogja salah memahami apa yang dimaksudkannya tentang monarkhi Jogjakarta. Jangan salah Bung, kalau hanya satu dua orang yang salah memahami sebuah pernyataan itu wajar, tetapi justru semua orang yang mendengar pernyataan Bung SBY tersebut memiliki persepsi yang sama. Sudahlah, dengan berbesar hati, akuilah kesalahan tersebut, pasti rakyat akan memaafkannya.
  3. Berjiwa Feodal. Sikap ini menunjukkan bahwa seorang atasan tak pernah salah sehingga harus dijunjung tinggi. Masyarakat Indonesia terlanjur terikat secara patternalistik, sementara atasan membutuhkan pengakuan kedudukan dan kewibawaannya dalam panggung sosial. Banyaknya kegiatan upacara yang dilakukan kantor birokrat menumbuhsuburkan sikap ini. Kalau kita mau berpikir panjang dan jujur, adakah relevansi hari pahlawan dan kesaktian pancasila itu dengan sikap nasionalisme? Jiwa feodal ini juga menyebabkan atasan tidak mau dikritik, kalau salah pun gengsi dan tidak mau mengakui kesalahannya.
  4. Masih percaya dengan takhayul. Manusia lebih berkuasa daripada benda-benda mati semisal keris, batu besar, pohon yang rimbun dan lain sebagainya. Namun karena dihantui oleh kekhawatiran akan adanya sang “penunggu” perlu diberikan perlakuan khusus terhadap benda-benda tersebut. Saat ini, budaya takhayul ini diwujudkan dalam jargon-jargon kampanye seorang calon presiden, anggota legislatif dan kepala daerah. Jargon tersebut dianggap ampuh untuk menyihir masyarakat dengan menyulap dirinya menjadi seorang malaikat suci. Saat terpilih, tertawalah mereka karena berhasil menipu masyarakat dengan suplanya tersebut yang terbungkus dalam ketakhayulan politik.
  5. Boros, suka berpesta dan tidak berhemat. Walaupun sikap ini bukan monopoli masyarkat Indonesia seperti apa yang tergambar dalam bocoran situs wikileaks baru-baru ini, bahwa Berlusconi, sang PM Italia digambarkan sebagai manusia lemah yang suka pesta dan wanita. Namun, secara umum sikap ini menjadi milik manusia Indonesia. Kalau bisa, tanpa bekerja keras dan cerdas, kekayaan bisa datang sendiri. Ingin cepat naik pangkat, kita membeli gelar. Adakah sebuah kebanggaan dengan gelar panjang namun dalam hati kecil perasaan bersalah tetap menghantui. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, banyak menggerutu, cepat dengki, suka pada hal-hal yang hampa termasuk bermalas-malasan akibat kemurahan alam kita selama ini.

Namun selain mengemukakan sifat yang buruk, Mukhtar lubis juga menegasakan bahwa manusia Indonesia memiliki jiwa artistik dan ikatan tolong menolong yang kuat, lembut dan suka hidup damai serta selera humor yang tinggi.Selain sifat-sifat tersebut di atas, manusia Indonesia juga masih memiliki sifat pelupa dan pemaaf baik dalam artian positif maupun negatif. Dalam artian positif, dengan sikap pelupa dan pemaaf tersebut, kita akan cepat melupakan penderitaan dan bencana alam yang menimpa kita sehingga kita segera bangkit kembali. Ketika seorang calon presiden terpilih dengan janji memberantas korupsi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun pada akhirnya dia mengkhianati apa yang menjadi kontrak politiknya dengan rakyat sebelum terpilih. Namun kita ikut lupa juga dengan janji-janji sang calon tersebut dan melupakannya. Demikian pula dengan sikap pemaaf, seorang calon kepala daerah yang cacat moral dan hukum pun tetap bisa terpilih menjadi kepala daerah atau ketua organisasi olahraga tertentu.

Mengembangkan Manusia Indonesia yang berkarakter

Karakter memang sulit diubah, namun bukan berarti tidak bisa diubah sama sekali. Anda masih ingat cerita Ibnu Hajar dengan batu keras yang akhirnya luluh juga dengan tetesan air hujan. Yang dibutuhkan adalah kemauan dan keyakinan diri untuk berubah baik secara personal maupun kultural kemasyarakatan kita. Kalau kita mengatakan, bahwa hal tersebut sudah mebjadi karakter yang tidak bisa diubah, maka pernyataan tersebut terasa dangkal. Namun memang semua perlu proses dan waktu yang mau tidak mau harus direncanakan mulai saat ini. Nilai kemanusiaan kita terlalu berharga untuk dipertaruhkan dengan sikap sikap negatif tersebut. Sudah selayaknya kita dan birokrat negara ini mempunyai konsep kemnusiaan Indonesia yang dibangun melalui pendidikan untuk menciptakan manusia-manusia yang beradab. Tak perlu terdoktrin dengan pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, PMP, budi pekerti dan lain sebagainya. Semoga ke depan, akan terbentuk manusia-manusia Indonesia yang lebih baik. (tulisan ini hanya bermaksud untuk membangun diskursus yang lebih konstruktif bukan dalam rangka menelanjangi).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun