Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

MOM, I've Never Missed You More

20 Juni 2012   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:44 33 0

Aku kadang benci memiliki seorang ibu, yang seharusnya aku hormati. Tapi kadang aku munafik, aku jelas menyayanginya.

Ibu. Aku benci menyebutnya begitu. Ibu itu seharusnya sempurna dikedua sudut pandang buah hatinya, tapi kenapa wanita yang aku panggil ibu itu tak sedikitpun terlihat sempurna dimataku?

Ada satu saat dimana ada setitik kebahagiaan dalam hati kecilku, yaitu saat mama pergi untuk selama-lamanya.

Ampuni aku, Tuhan.

“mam, kenapa sih mama gapernah ada dirumah?”

“apa urusannya sama kamu?”

“mam, aku masih sekolah! Aku butuh mama!”

“masih butuh kamu sama mama? butuh apa? Duit kan? Tiap bulan mama kasih, 5 juta itu kurang cukup? Nanti mam tambahin!”

“Aku butuh mama! bukan butuh uang mama! ngerti ga sih ma?!!”

“Lancang ya kamu bentak-bentak mama?!  dasar anak kurang ajar gatau diuntung! Pergi kamu dari kamar mama!”

PLAK! Pipiku lagi-lagi ditampar mama, ya.. ibu kandungku sendiri. Apa yang bisa aku perbuat?

“mam, besok aku bagi rapot” tepat pukul 9 malam kala itu. Aku memperhatikan mama yang terus mematut diri didepan cermin, memoles wajah Indonesia-Canada nya dengan eye shadow warna merah redup dan blush on warna senada, entah akan setebal apa make-up yang mama inginkan.

“terus? Kamu mau apa?” mama menjawab dengan nada seperti biasanya. Dingin.

“mama ga bisa ambilkan rapotku? Jam 8 pagi ma”

“ngga, kamu tau mama harus kerja? Dan kamu juga tau kan mama biasa pulang kerja jam berapa?”

“ma, aku mohon.. kali ini aja”

“ga bisa! Denger ga sih?! Udah kaya anak kecil aja ga bisa dibilangin sekali!” mama yang saat itu menggunakan dress pendek  merah selutut , langsung memenyambar tasnya dengan raut kekesalan kepadaku.

“iya ma aku denger, maaf ma. Makasih” mama pergi kerja, meninggalkan aku yang tertunduk menahan tangis.

Padahal, aku hanya ingin mama tahu, aku ranking 1 dikelas. Dulu, waktu aku masih berumur 7 tahun, mama selalu bilang kalau aku harus jadi anak yang pintar, mama juga pernah janji kalau aku dapat ranking 1, mama akan kasih aku hadiah. Tapi sekarang mana buktinya? Meminta mama mengambilkan rapotku saja, beliau sepertinya tak sudi. Lagi-lagi aku harus menahan air mata.

Aku tahu persis pekerjaan mama, meskipun aku baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Karena, sering kali mama membawa pekerjaannya ke rumah. Bukan berkas-berkas penting yang dikerjakan, bukan dengan menjinjing laptop agar pekerjaannya selesai, bukan menyeruput segelas kopi panas untuk lembur, melainkan.. (ya Tuhan, aku miris menceritakannya) mama membawa pekerjaannya kerumah, laki-laki. ya, laki-laki yang tidak aku kenal satupun, laki-laki yang setiap malam berganti wajah yang selalu mama bawa. Mama datang ke rumah dengan menjinjing  kotak kecil berukuran saku berwarna merah bertuliskan ‘Sutra’ bercetak agak miring diatas kardus itu, benda kecil yang aku tahu persis untuk apa, dan itu pula benda yang akan menuntaskan pekerjaan mama. Laki-laki itu membawa dua botol kecil minuman beralkohol ditangan sebelah kanannya, dan.. satu itu yang paling aku benci! Tangan kirinya memegangi pinggang mama erat, dan mama sama sekali tak melawan melainkan kelihatan menikmatinya.

Aku tak ingin melihat mereka lebih lanjut, cukup sedikit itu saja sudah membuatku ingin menangis, perasaanku sakit campur aduk dengan kekecewaan, jijik, kemarahan dan kebencian. Ya, kebencianku pada semua laki-laki yang mama bawa, termasuk kebencian pada mama yang mulai tertanam dihatiku.

Aku tak mengerti mengapa mama begitu menikmati pekerjaannya, bagaimana aku tahu? Ya, semua itu terlihat dan terdengar jelas di kedua mata dan telingaku. Mama yang datang tertawa tak jelas dengan semua laki-laki itu. Sesekali mama melumat bibir mereka, bahkan mama diam saja ketika mereka mulai menjelajahi tubuh mama, sesekali aku mendengar desahan pelan mama saat mereka ‘melakukannya’.

(ya Tuhan, tolong maafkan mama)

Ya Tuhan, aku benci dengan pekerjaan mama! Aku kerap kali mencoba menahan isak tangis yang mengiringiku pada kebencian, keputusasaan dan kekecewaan. Hal itu seharusnya jauh dariku, harus ku hindari di luar rumah, tapi.. aku malah mendapatkan pemandangan itu dari dalam rumahku sendiri, dan ibu ku yang jadi modelnya. Ya Tuhan, maafkan dosa-dosaku dan dosa-dosa mereka.

Sesungguhnya, aku selalu membuang rasa benci itu semampuku, aku tetap berusaha menyayangi beliau sebagai, ibu yang telah melahirkan dan menjagaku hingga detik ini. Meskipun setelah aku berumur 10 tahun, mama menganggapku sudah cukup dewasa dan mandiri, mama menganggap aku tidak butuh beliau lagi. Padahal, semakin aku dewasa, aku semakin membutuhkannya, semakin membutuhkan perhatiannya. Mama salah, mama malah membuang rasa sayangnya kepadaku jauh-jauh. Tak seperti perasaan benciku seiring perasaan sayangku, kepadanya.

KINI.

Kini, mama telah tiada. Ya, pergi untuk selama-lamanya.

Kata dokter yang menangani mama 3 minggu yang lalu, mama telah lama mengidap HIV-AIDS. Penyakit yang paling aku benci. Tapi dokter itu juga bilang, aku tak sedikitpun ikut mengidap virus mematikan itu. Karna mama mengidap penyakit itu kira-kira 5 tahun setelah melahirkanku. Aku sedikit bernafas lega karna hal itu, tapi satu yang masih mengganjal hatiku, aku takut Tuhan terlalu murka dan tak memaafkan mama sampai kapanpun.

Ada setitik perasaan lega dihatiku kala mama pergi, karna tak akan ada lagi pemandangan menyedihkan itu, mama tak akan melakukan pekerjaan itu lagi, mama tak akan membawa bermacam-macam jenis makhluk tak bertanggung jawab itu lagi, tak akan mengatakanku anak tak tahu diuntung lagi, tak akan menjambak dan menendangi perutku lagi, tak akan berteriak menyebutku brengsek lagi, tak akan membentak dan membuat perasaanku sakit lagi. Ma, semoga mama tenang disana, aku berjanji akan terus mengirim doa untuk mama. MOM, I’ve never missed you more :’

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun