Saya membeli album Edane bertajuk “Edan” di tahun 2010 lalu hanya karena melihat album foto di akun Facebook Edane. Di situ setiap pembeli yang berfoto sambil memegang album baru itu fotonya akan diupload oleh admin. Berhubung saya tinggal di Sampit, Kalimantan Tengah dan tidak ada yang menjual album itu disini, maka saya membelinya secara online. Saya pun lalu berpose memegang album CD itu, lalu fotonya saya email ke admin Edane. Dan mereka unggah. Menurut saya ini salah satu strategi yang baik untuk menjual album dengan memanfaatkan rasa narsis penggemar, termasuk saya he-he-he.
Dan sekarang BIP mencoba cara yang baru lagi. Bahasa kerennya crowdfunding, album ini dibuat dengan biaya dari penggemar. Gampangnya, bayar di muka dulu baru mereka rekaman. Untuk memfasilitasi strategi ini, mereka membuat website yang representatif di bipnation.com. Ada beberapa paket pembelian yang tersedia, dari yang termurah Rp 100 ribu, sampai dengan yang Rp 8 juta. Nama pemesan akan dicantumkan di album BIP, dan bila anda mengambil paket yang Rp 8 juta itu anda akan diajak ikut menghadiri proses rekaman mereka di Bali.
Langkah yang diambil BIP ini sangat menantang penggemar. Sejauh apa mereka menghargai karya seni, mencintai artis idola mereka, dan melawan pembajakan. Soal pembajakan karya musik adalah soal usang. Dari jaman kaset hingga kini jaman digital. Di kota manapun, mudah ditemui lapak penjual CD bajakan yang jaraknya cuma beberapa meter dari kantor polisi. Di dunia maya, mengunduh mp3 bajakan sama mudahnya dengan seseorang menggaruk punggungnya yang gatal. Di dunia sosial, bertukar mp3 antar gadget pun sudah sama seperti orang mengobrol saja. Praktis, tidak perlu membayar.
Tentunya musisi jaman sekarang sulit untuk mengharapkan albumnya bisa terjual sampai jutaan copy seperti di era awal 2000-an dimana ketika itu Sheila On 7, Dewa 19, Jamrud, Peterpan, Ungu dan lainnya menangguk sukses besar. Beberapa tahun lalu masih ada RBT yang mensukseskan band-band pop semacam Wali, kangen Band, Matta, ST 12 dan lain sejenisnya. Sangat efektif walaupun kualitasnya buruk. Di era sekarang saat toko kaset mulai punah, musisi lalu mengedarkan albumnya di restoran dan minimarket. Slank yang identik dengan kalangan bawah, bahkan menjual album terbarunya di KFC, sang simbol kapitalisme. Apa boleh buat.