Di tengah-tengah perenungan jendela bus melewati reklame besar di depan UIN Jogja berjudul sebuah sinetron “harimau” kebanggaan RCTI, saya tetiba ingat sebuah film pendek televisi berjudul “Suatu Siang dalam Hidup Mamad”.
Film televisi ini, durasinya hanya sekitar 25 menit dan ditayangkan KompasTV perdana Maret 2013 dibintangi Agus Kuncoro dan Ringgo Agus Rahman, bercerita tentang “sengketa jalan raya” seorang sopir yang ditabrak oleh seorang pengendara moge. Konflik bertumpu pada bagaimana dua pihak menyelesaikan masalah mobil majikan yang penyok, mencari bukti atas pihak yang salah, dan pulang dengan kepuasan yang sama-sama adil.
Film televisi “Suatu Siang dalam Hidup Mamad” menampilkan realita sehari-hari yang latar kejadiannya begitu universal. Meskipun murni fiksi, cerita garapan sineas muda dan termasuk program “Antologi Hukum” KompasTV ini menampilkan konflik yang bisa, dan mungkin sering hadir di dunia nyata: penyelesaian kasus tabrak-menabrak di jalan.
Kemasannya juga natural, lengkap dengan tangkapan alami suara lalu lintas jalan sibuk yang sengaja dibiarkan mengganggu dialog para tokohnya. Di atas bus di bawah reklame “harimau” RCTI sore itu saya berpikir, mesti seperti inilah kemasan sinema elektronik Indonesia dulu-dulu. Alami, menceritakan konflik sehari-hari secara nyata, dialog yang cair, dan penyelesaiannya tegas tanpa berbelit-belit.
Akan tetapi sinetron yang kita lihat di era setelah 2000 jauh dari kemasan nyata seperti itu. Imajinatif, hiperbolis, delusional, dan impresi glamoritas termasuk ciri-ciri sinetron kekinian kita, setidaknya menurut peneliti persepsi dan media pers Tjipta Lesmana (1997).
Sejak kemunculan televisi swasta RCTI di tahun 1991 yang mengudarakan Si Doel Anak Sekolahan dan Si Cemplung sebagai “pesaing” sinetron-sinetron bertema sosial yang dulu digandrungi di TVRI, sinetron di televisi-televisi Indonesia mengalami beberapa kali pergeseran tema, hingga menyentuh hororis-komedis (1995-1998), religi (yang mulai 2009), dan kini masuk bertema cerita picisan kehidupan kota politan, remaja dan anak sekolahan, dan kini mengadopsi cerita-cerita horor impor berbau Twilight (2012 hingga sekarang).
Sayangnya, pergeseran tema yang relatif dinamis itu mengarah pada kualitas yang meragukan, bahkan cenderung menyedihkan. Kualitas-kualitas penggambaran cerita hidup yang dengan begitu baik ditampilkan lewat cerita-cerita seri Si Doel dan Losmen (sinetron pertama di Indonesia pada 1980-an) yang hanya muncul sebulan sekali di TVRI itu kini hilang entah ke mana.
Dialog-dialog konflik kampung yang plural kini langka, dan atau ditutupi oleh alur cerita lebar yang lebih banyak menonjolkan gaya hidup serbamewah kalau bukan kesenjangan yang jadi perkara konflik dangkal namun hiperbolis khas telenovela.
Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR RI bidang informasi mengistilahkan cerita-cerita sinetron masa kini “membantu kita melepaskan realitas yang terjadi pada diri kita” (Remotivi/Chairul Ahmad, 2010). Realitas kehidupan jalan yang saya begitu nikmati lewat cerita “Suatu Siang dalam Hidup Mamad” lantas menjadi hal yang lain, karena gempuran cerita sinetron harian yang dominasi ceritanya dikelilingi klise dan kisah-kisah utopis remaja.
Bahkan tanpa menyebut kecenderungan tema beberapa bulan belakangan yang dengan kasar meniru laga-laga vampir-serigala-harimau sekalipun, sinetron televisi swasta kini sudah keluar dari cerita realita yang seharusnya menghibur dan lahir dari masalah nyata.
Karenanya, dunia lain sinetron layar televisi kita sekarang menurut saya lebih banyak berbau telenovela, meniru era keemasan Maria Mercedes dengan konflik antara Thalia dan “sahabat-sahabat”-nya. Meski tema yang diusung selalu berubah setiap beberapa tahun sekali, kecenderungan gaya bertutur, rias pemain, dan dialog konflik masih sarat dengan adegan bersilang lengan di dada dan membenturkan dua geng seumuran, saling mengejek tanpa resolusi ide sama sekali.
Tidak mengherankan juga jika impresi perbenturan verbal antara para tokoh picisan sinetron begitu memengaruhi bagaimana penonton kita (yang kebanyakan remaja dan ibu-ibu di kawasan suburban) menggunakan bahasa-bahasa seperti “apaan sih”, “elo enggak diterima di sini” atau “lihat si miskin dan cupu itu”.
Sinetron dan bahasa medsos
Impresi konflik dangkal dan sarat kekerasan verbal tanpa disadari begitu memengaruhi bagaimana penonton remaja kita mengadopsi bahasa. Lesmana (1999) termasuk yang khawatir bahwa sinetron televisi Indonesia memengaruhi motif bahasa yang digunakan penonton.
Alasannya masuk akal: dibandingkan koran yang dianggap media mengandung informasi statis, televisi mengirimkan pesan dan impresi dalam bentuk yang dinamis (moving), sehingga apapun yang diperagakan, ditunjukkan, atau dikatakan tokoh dalam sinetron menimbulkan dampak dan impresi paling besar bagi penonton.
Seperti diketahui, media audiovisual belum tergeser sebagai alat sugesti yang paling dahsyat, di mana penikmatnya tanpa sadar menyerap informasi menjadi memori dan bibit-bibit tindakan.
Jika yang ditayangkan televisi adalah berita konflik, secara psikologis penonton terpicu dengan perasaan jengkel, marah, atau empati. Jika yang ditayangkan adalah hal yang penemuan penting atau kisah kemanusiaan, penonton merespon dengan perasaan simpati, tergugah, impuls sosial, atau ingatan tentang nilai-nilai moral.
Sebagai medium verbal, sinetron dengan aroma picisan dan konflik klise begitu berperan memberi perasaan jengkel, iri, cinta dan rindu sesaat, berharap pada kekayaan, transformasi sosial yang mendadak, atau kepercayaan terhadap hal-hal tertentu. Karenanya dalam hal bahasa, sinetron tak ubahnya corong media yang memperkenalkan atau mengadopsi banyak istilah verbal yang baru, atau melenceng dari perbendaharaan kata-kata yang ada.
Saya menyebutnya bahasa medsos, bahasa yang diistilahkan informal dan diterima sebagai keluwesan berkomunikasi sehari-hari. Impresi bahasa sinetron mirip-mirip dengan kata-kata ‘kepo’, ‘cupu’, ‘plis’, ‘btw’, ‘so sweet’, atau ‘oh-em-ji’ ata kata-kata serapan seenaknya yang dilazimkan sebagai media komunikasi keseharian. Impresi bahasa medsos yang saling adopsi dengan sinetron termasuk yang bertanggung jawab mengapa kata-kata “sudah” lebih sering disebut ‘udah’, kata ‘enggak’ ditulis ‘engga’ bahkan ‘gak’ atau ‘ga’, dan termasuk di dalamnya kata-kata ‘elu’ dan ‘gue’ yang bentuk penulisan aslinya tidak jelas (lu, lo, elo, gua, gw?).
Masalah utama bahasa medsos yang sekilas dianggap “bukan masalah besar” ini sebetulnya terletak pada ketidakjelasan penggunaan antara verbal dan bahasa tulis. Karena sinetron ikut menyebarkan impresi bahasa verbal yang begitu bebas tanpa tuntunan gramatikal sama sekali, era medsos kini mengadopsinya ke dalam bahasa tulis. Padahal sejatinya, keluwesan hak berkomunikasi verbal tidak seharusnya diterima sebagai keluwesan yang sama dalam tatacara berbahasa tulis.
Medsos berbasis bahasa tulis, tapi isinya ditulis dengan cara bagaimana kata-kata diomongkan secara verbal. Kemunduran kebiasaan berbahasa yang benar yang meresahkan banyak sejarawan dan bahasawan banyak berfokus pada permasalahan ini. Menjadi lucu bagi saya ketika ada remaja Twitter mengaku tidak suka dan tidak nonton televisi, tetapi tidak sadar bahwa bahasa yang digunakannya juga berawal dari televisi.
Bagi saya, dunia lain sinetron kini yang terus dipupuk oleh kebanyakan televisi swasta belum akan menemui jalan akhirnya. Kalaupun hantu-romanpicisan atau manusia-manusia serigala-harimau beberapa bulan mendatang menghilang, kemasan sinetron yang diproduksi oleh pojok industri yang sama masih akan berputar-putar pada riasan kosmetik konflik dan peragaan adegan yang mirip, hanya cerita dan tren bahasanya yang berbeda.
Mengapa ANTV memenangkan rating dengan sinetron-sinetron berbau India dan Turki juga sejatinya mengulang siklus terdahulu di zaman-zaman TVRI dengan tayangan-tayangan ramadannya. Kita lihat, pola hanya berputar, tetapi karakter mendasarnya tetap sama.
Karenanya kekhawatiran paling mendasar saya adalah karena penonton sinetron kita adalah remaja. Mereka kelompok generasi Z yang lahir setelah 1990-an dan sedang dalam tahap penting penyerapan informasi. Apa yang ditonton mereka ditelevisi atau dibaca mereka di medsos akan jadi landasan mereka membangun impresi terhadap lingkungan sekeliling mereka, yang ternyata jauh berbeda dengan dunia utopis ala sinetron.
Apa yang diserap mereka juga akan jadi landasan bagaimana mereka berdandan, berkomunikasi, mengelola konflik, dan berhadapan dengan kesenjangan di jalan. Akankah mereka masih mengadopsi cara penyelesaian konflik dalam “Suatu Siang dalam Hidup Mamad” sebagaimana saya apresiasi? Sangat bergantung pada “kekuatan” mereka memisah, mana yang nyata dan benar-benar ada, dan mana dunia buatan yang kebanyakan berisi ilusi.