ADA SEBUAH DESA yang tak terjelajahi. Letaknya tidak terpisah di lautan lepas sebagai pulau sendiri, tidak juga di tengah hutan yang didiami suku-suku primitif. Desa ini cukup dekat dengan sebuah kampung yang lebih besar, tetapi terselubung kelam dan tak dianggap. Letaknya hanya empat puluh kilometer ke lembah Alken, disebut sebagai desa Mur karena dikelilingi oleh pohon Amura, sejenis jati yang batangnya berduri-duri.
Selama sebelas tahun tempat ini tak dibicarakan siapapun, tak pernah ditulis di buku manapun. Akan tetapi Adang Turiakti, seorang pekerja lepas yang memulai penjelajahan solonya dengan impian menjadikan dirinya seorang slow journalist, mendapati nama Mur justru ketika duduk mengantuk di kabin Delta Air yang membawanya terbang melintasi Samudra Pasifik, mungkin belum sebegitu jauh dari titik palung Mariana, dasar terdalam bumi.
Seorang Perancis yang duduk sebaris di sebelah kanan, Archard Delaine, tiba-tiba menunjuk sebuah gambar pola spiral di halaman majalah yang dipegang Adang, “Le ciel maudit,” seru orang bermata biru itu. Hidungnya yang runcing naik-turun seperti hendak mematuk. Ia mengulang-ulang sampai Adang menatap heran.
Pengetahuan bahasa perancisnya terbatas tapi ia yakin orang ini menyinggung “surga dan sesuatu yang terkutuk,” membawanya pada kontradiksi yang aneh. Surga seharusnya sebuah ladang yang indah dengan sungai-sungai yang jernih, dan ‘terkutuk’ bukanlah kata yang tepat untuk itu.
Ia baru saja ingin bertanya tetapi orang Perancis itu mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke majalah dengan keras, matanya memerah. “Cursed land!” Kemudian sedemikian rupa mencondongkan badannya ke depan, dan menurunkan suaranya hingga agak berbisik. “If you want to define something, you must first find it.”
Raungan mesin jet General Motors semakin rata dan menjauh di belakang tatkala Adang Turiakti menyelami perenungannya. Guncangan awan berkali-kali tidak mengusiknya. Kata-kata orang Kaukasia barusan benar, dan ia baru saja tahu ada tempat yang begitu dekat tetapi terkutuk.
Mungkin ini awal yang bagus untuk diceritakan, dan membuka mata banyak orang tentang “potensi” yang tertimbun lama. Mur, begitu judul di majalah itu, penggambaran kelam sebuah keindahan yang dulu terlindungi, tetapi kini tak terjelajahi. Sebuah kampung kecil yang ditinggalkan, dengan pola hutan yang melingkar aneh, bunyi-bunyi angin yang tak terpecahkan, dan cerita-cerita mistis menolak banyak orang datang.
Cuti selama dua pekan sekiranya cukup untuk membagi waktu penjelajahan, waktu berangkat, dan perkiraan waktu proses hingga kepulangan nantinya.
Di atas Ford Escape sewaan dengan seorang sopir pendiam yang mengantarnya, Adang Turiakti membaca lagi potongan majalah berbahasa Inggris-Perancis itu. Mur terletak empat puluh satu kilometer di sebelah tenggara Desa Juhu di Kecamatan Batang Alai Timur, tak jauh dari Hulu Sungai Tengah.
Perjalanan dari ujung kecamatan menghabiskan tiga jam hingga akhirnya mereka tiba di sebuah telaga kering di ketinggian 487mdpl. Adang merapal jamnya, menyesuaikan detak jantung dan perkiraan waktu jelajahnya, membayar sopir kemudian berjalan kaki.
Menurut informasi ada tidak ada angkutan bermotor menembus hutan di bagian hulu ini, tetapi ia bisa menyewa tunggangan kuda jika beruntung seseorang menawarinya.
Setelah lima belas menit melintasi dua desa yang hening, Adang mendapati kudanya. Seorang paruh baya dari suku Dayak Meratus menawarinya harga tertentu, dan tak setengah hari kemudian ia sudah menunggang kuda sambil mencicipi daging domba kering. “Di sana, cuma sampai sini,” seru pemilik kuda, menunjuk jauh ke seberang belantara yang dibatasi lembah.
Adang membenarkan rumor bahwa bahkan orang dari Hulu Sungai sekalipun tidak berani melintasi kawasan hutan yang tak dikenal di depannya. Oleh karenanya ini adalah titik terjauh yang bisa ia tempuh dengan kendaraan, dan selanjutnya penjelajahannya solo. GPS masih mendapat sinyal di belahan ini, akan tetapi tak satupun citra jalan yang nampak di antara belantara hutan hujan yang berlumpur.
Selama setengah hari lagi ia berjalan, sebelum akhirnya menyerah pada kantong tidurnya jelang tengah malam, dikerubuti nyamuk raksasa dan bunyi-bunyi pemangsaan nokturnal yang tak terusik.
Adang tak benar-benar tidur. Ia melihat jamnya menunjukkan 03.40, dan kegelapan menyelimutinya. Bintang-bintang bersinar terang memayungi belantara, dan Adang menikmatinya sejenak. Tetapi bunyi derit-deritan di kejauhan mengusiknya. Ada senandung tak jelas masuk ke telinganya. Dengan cepat Adang membereskan barangnya dan berjalan lagi beberapa langkah.
Ia menuruni lereng agak curam, berbelok ke utara, sebelum menemui titik cahaya berkelindan di kejauhan. Ia yakin itu api, tetapi rasanya terlalu jauh mengingat titiknya begitu kecil. Sesaat kemudian barulah ia menyadari kalau jaraknya dan titik cahaya itu dibatasi cekungan dalam yang begitu lebar, dan tak satupun jembatan menghubungkannya. Inilah desa Mur, pikirnya lantas.
Desa ini tak terjamah bukan hanya karena cerita-cerita, tetapi juga ketiadaan platform untuk menjangkau tanahnya. Semakin bersemangat, Adang bergegas menuruni lereng, mencoba mencari pijakan untuk melintasi cekungan sungai yang tak berair itu. Bekalnya tersisa setengah dan ia yakin jika langkahnya konsisten, sebelum fajar ia sudah bisa tiba di Mur, dan mencaritahu apa sebenarnya yang terjadi. GPS di sakunya mengeluarkan bunyi kedip aneh setiap kali ia berbelok, menandakan titik-titik yang terdeteksi satelit dan sebagian lain yang tak dikenali.
Ia bersemangat, udara tropis yang bersih memenuhi rongga parunya. Ceritanya akan menjadi satu-satunya kelak, dan ia harus bisa mendapatkan dari sumber utamanya.
Tinggal beberapa puluh menter lagi dan hutan akan terlewati. Kurang dari dua menit di depannya, cekungan semakin tinggi dan ia semakin dekat ke dasar. Tebing batu basah yang dipenuhi lumut dan akar-akar pepohonan menjulang makin tinggi seiring ia makin dekat. Koloni kelelawar berhamburan mencegatnya sebelum berbelok, dan ia sempat melihat beberapa ular menggelantung di dahan pohon di belakangnya.
Adang mematikan senter, menyadari bahwa sinar matahari telah turun dan menyinari landasan Tuhan yang ditapakinya. Napasnya memburu, semangatnya terpacu. Ia tarik ranselnya makin rapat dan ikat pinggangnya makin longgar memberi napas. Hingga tiba-tiba, langkahnya terhenti. Persis ketika menginjak bebatuan bulat sungai dan berada di tepi cekungan, Adang terhenyak.
Ketakutan merajamnya, rasa pening melingkari kepalanya. Ia melangkah mundur satu-dua, dan menyadari ia tidak sedang bermimpi. Apa yang dilihatnya benar-benar nyata, dan ia mulai ragu apakah ia berada pada jalur yang benar.
Sehamparan pandang di depan, tengkorak-tengkorak manusia berserakan. Ada yang giginya masih utuh, ada pula yang tempurungnya bahkan sudah hilang. Bulatan-bulatan anatomi itu diselingi tulang-belulang yang lain, dari paha, rusuk, selangka, persendian, semuanya bagian yang meyakinkan bahwa pernah terjadi pembantaian besar-besaran.
Sebagiannya seperti sisa kepala kerbau dan dada hewan-hewan besar, tapi jumlahnya tak seberapa. Batu-batu sungai tak lagi nampak, dan kini kerangka-kerangka tidak utuh itu menutupi bidang sungai dari cekung pandang hulu sampai ke hilir. Lumut mengotori sebagiannya, sementara tanah sisa lumpur dan sisa pencernaan bakteri tanah masih nampak di beberapa lainnya.
Adang meneguk ludahnya sendiri, bergidik jauh dan mulai berpikir. Mungkin cekungan lembah ini sudah diketahui orang-orang, atau malah tak seorangpun pernah melihatnya karena kegelapan yang menyelimuti perbukitan selama bertahun-tahun. Surga yang terkutuk. Ia teringat kata-kata Archard Delaine, kaukasia Perancis waktu itu.
Akan tetapi jika benar kegelapan menguasai tempat ini, dan kematian menguasainya, lantas mengapa ia melihat pendaran cahaya di tengah subuh beberapa jam yang lalu? Jika memang tulang-belulang ini sudah lama terpendam, mengapa citranya tak pernah tertangkap dan diketahui orang-orang, surveyor hutan, misalnya? Kemudian ia mulai merasakan hawa aneh yang menempel di kulitnya, dan bau arang yang menembus rongga hidungnya.
Tak berapa lama Adang mendapati langit berkabut, kering dan berbau aneh. Ia melihat ke sekeliling dan dedaunan pohon mulai tak nampak, saat kabut itu turun perlahan dan menyerah pada buaian angin dingin. Kemudian telinganya menangkap gaung aneh yang datang bersama angin. Di ketinggian entah di mana, tapi bunyi itu jelas, sekira terompet bas dengan frekuensi yang tak jelas, naik turun dalam nada sumbang yang mengerikan. Mungkinkah ini magis? Pikirnya.
Kebingungan dan menyadari tidak ada jalan pulang, Adang menutup mata, melindungi mulut dan lensa kameranya. Kemudian setelah kabut berlalu, barulah ia sadar sesuatu. Kulitnya terselimuti butir-butir halus, sisa pembakaran yang telah selesai.
Adang membersihkan badannya, dan pelan-pelan mencari titian menyeberangi cekungan lembah. Tebing di depannya tak ada dua puluh meter lagi, dan mungkin ia bisa mendapati jalan batu untuk merangkak naik.
Lesatan itu tak disangka-sangka, nyaris menembus kakinya. Adang melompat mundur dan terengah-engah, menyadari sesuatu nyaris membunuhnya. Tertancap di tanah adalah jangkar besi bermata dua, berkarat dan batangnya sebesar dahan pohon berukuran sedang. Di ujung atas jangkar itu, tertambat tambang dari akar-akar yang dipilin membentuk tali kuat.
Adang mendekat, menyusuri tali itu, coba mengamatinya. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa dirinya tidak sendirian. Tali di ujung jangkar menegang, tertarik lurus, mengangkat besi meliuk runcing itu kembali ke tebing, terangkat melewati dahan-dahan pohon, mengerik permukaan lumut, kemudian tenggelam ke dalam rimba di puncak tebing.
Diliputi ketakutan, Adang mulai menyalakan kameranya, tetapi apa yang muncul di puncak tebing benar-benar menahannya bergerak. Tubuhnya bergeming, berdiri terpaku di atas pendaman tengkorak-tengkorak di bawah kakinya. Adang meneguk ludah untuk kesekian kali, menatap bayangan tegak yang berdiri di antara dua pohon di atas sana.
Sosok itu menatapnya, dengan sudut mata sempit yang kelam. Akar-akar pohon menyamarkan kepalanya dan bentuk kepalan di tangannya menunjukkan kalau ia bukanlah orang biasa.
Adang berteriak memperkenalkan diri, tetapi sosok itu tak bersuara. Malahan, lelaki paruh baya dengan balutan kasa kotor di pahanya itu, menggulung tali di tangannya, menarik jangkar untuk digenggam.
Mengangkatnya setinggi udara dan membelakangi cahaya hingga benar-benar yang terlihat tinggallah bayangan dirinya. Jauh di bawah, Adang bersiap-siap memanggul tas, menyiapkan dirinya untuk melarikan diri. Dua detik kemudian, udara kembali terbelah, dan jangkar itu, sekali lagi, tertancap di tanah. Menembus seonggok tengkorak yang tercerai berai karena tekanan begitu kuat.
-------------------------