Membumi tak selalu mengasihi.
Ketika datang seorang anak menenteng jerigen bensin, orang-orang diam.
Berpaling
Barangkali apa yang dibawa anak itu bukan gambaran bagaimana rezeki tertumpah di atas tanah.
**
Kemudian anak itu mengisi jerigennya penuh-penuh, mengangkatnya ke pundak untuk dijual.
Ia berteriak, "Beras ... beras!" yang tak dibawanya.
Anak itu menggaruk kaki dengan kaki, menghalau debu setelah debu.
Jerigen masih terisi dua
dan mungkin akan tetap seperti itu sampai pulang.
**
Seorang tua menggerakkan kakinya di tatakan mesin jahit.
Cipayung 1768 pernah menggambarkan keadaan ini, pikirnya.
Ada seorang anak pribumi menenteng singkong di punggung
menuju ujung tapakan yang kemudian jadi pembaringan abadinya.
Pusara yang lalu jadi kebun singkong.
Bangkitlah orang tua itu dan melepas pecinya.
Menutup kepala anak itu dan menurunkan dua jerigen dari pundaknya.
"Kenapa, Nak?" tanyanya.
"Beras," Pak, jawab anak itu.
**
Tak ada yang bisa menebak akhir cerita di senja hari itu.
Lalu lalang mesin memekakkan telinga
meninggalkan bensin yang tak semurni janji di papan-papan tulisan.
Anak itu duduk termangu dan menghitung mimpi.
Mimpi lama yang bersanding bersama orang utan di lembaran rupiah.
Meski rumah pohon itu tak pernah jadi drama hidupnya.
Kelak, kalau ia pulang dan bertemu ibunya,
Bunyi-bunyi receh mungkin akan hilang.
Dan terganti dengan bertumpuk-tumpuk beras.
*