Kritik terhadap program acara televisi di Indonesia sebetulnya bisa lebih parah lagi. Hanya saja, masyarakat kita cenderung masih menerima hal-hal irasional sebagai tontonan. Baik Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia ataupun Lembaga Sensor Film sebagai otoritas pengawasan penyiaran menjalankan fungsi mereka secara prosedural dan bukan opsional.
Irasional di sini berarti menggemari tayangan-tayangan irasional dan atau menonton secara irasional. Padahal, saat sebuah keluarga mengganti saluran televisinya, fungsi kesadaran yang bekerja hampir pasti bertumpu pada pilihan-pilihan. Kelompok pemirsa yang dibagi ke dalam setidak-tidaknya tiga golongan (R, R-BO, D) pada kenyataannya masih cenderung abai dengan pentingnya logo-logo di sudut bawah tiap acara itu.
Sementara setiap sanksi yang dijatuhkan KPI ke acara-acara tertentu tidak selalu diketahui masyarakat pemirsa mayoritas, yang notabene menunggu di jam yang sama saat acara kesayangannya tak lagi tayang. Apakah pemirsa kita tahu bahwa tayangan musik INBOX kena hukuman ldilarang tayang selama tiga minggu? Atau lebih jauh lagi, apakah masyarakat pernah tahu apa yang dilakukan KPI terhadap acara-acara anak-anak yang menayangkan grafis api yang tidak masuk akal dan adegan perkelahian yang tidak pantas?
Di saat KPI dan kawan-kawan pengawasnya berjuang untuk melakukan pengaturan tayangan televisi untuk perlindungan pemirsa, para produser dan pelaku industri televisi lebih banyak diam dan menutup diri. Mereka mengangkat dalih kepentingan karyawan dan target keuntungan yang membuat semua hal “di balik layar” tayangan televisi menjadi serba rahasia.
Beberapa waktu lalu saat Tim Supertrap ditemani direktur acara nonberita Trans TV disidang KPI, mereka dengan berat hati mengakui bahwa adegan-adegan jahil di toilet yang memancing amarah pemirsa itu memang melibatkan pemain bayaran yang berpura-pura kaget, marah dan ketawa. Rating mungkin turun, tapi toh pemirsa masih senang dengan acara semacam itu.
Pentolan media legendaris Rupert Murdoch pernah berujar, industri media modern memaksa para pemainnya mencari-cari hal seksi untuk mengamankan pendapatan. Ia pun paham apa yang menjatuhkan korannyaNews of the World dan mengakui ada hal-hal “lucu” yang dilakukan Twentieth Century Fox agar orang tetap suka menonton televisi. Pendapat Murdoch tersebut bisa jadi kekesalan lama yang akhirnya keluar sebagai pengakuan.
Di Indonesia, mungkin karena para legenda penyiaran kita jarang angkat bicara soal bagaimana industri hiburan televisi selama ini bekerja, sampai-sampai masyarakat kadung manut saja apa mencari hiburan. Saat tiba-tiba masyarakat kritis, pihak televisi merasa tunai hanya sekadar menyiarkan permintaan maaf. Masyarakat kita kehilangan sejarah dan momentum-momentum yang mengubah daya tarik mereka perlahan-lahan.
Para pakar sudah terang-terangan mendukung kebijakan pemerintah mengurangi tayangan mistis, kekerasan terhadap dan oleh anak-anak, juga iklan menyesatkan di televisi. Sudah banyak riset yang mengangkat bukti ilmiah pengaruh tayangan mistis dan kekerasan terhadap pembentukan mental anak-anak. Tapi seakan tuli dan kehabisan akal, industri media tumbuh seakan baik-baik saja dan berjalan sendiri dengan jalur target dan pengemasan sendiri-sendiri.
“Penilaian diserahkan ke masyarakat,” ujar seorang produser. Terang saja aman dan bisnis berlanjut, karena masyarakat pemirsa kita masih belum mau berlaku rasional dan mempertanyakan yang aneh-aneh di dalam layar kaca. Apa yang bisa membuat tertawa dan menangis haru seperti sudah cukup sebagai tayangan paling menarik. Esensi kalah jauh oleh sensasi.
Sebuah penelitian oleh Constanca Esteves-Sorenson dan Fabrizio Perretti yang meneliti perilaku pemirsa televisi Italia selama periode 1990 hingga 2003. Hasil intinya menyimpulkan bahwa sebesar 90% pemirsa televisi lebih senang tetap menyaksikan satu saluran televisi dalam durasi nonton di bawah 3 jam. Pemirsa irasional Eropa kebanyakan senang duduk di sofa dengan keripik kentang dan minuman bersoda di meja dan diam menatap televisi tanpa perlu sering-sering menyentuh remote.
Nampaknya hasil penelitian di atas tidak begitu relevan di Indonesia. Perilaku masyarakat Eropa kebanyakan jauh lebih rasional dan opsional. Mereka tahu mana saluran yang terbaik dan perlu diapresiasi, dan hanya sebagian kecil yang menyalakan televisi untuk aktivitas menonton tanpa alasan atau tujuan tertentu. Di negara kita, menonton televisi adalah mengisi waktu yang kebanyakan memang tidak produktif.
Meski sedikit bertentangan, hasil penelitian ini juga tetap mengiyakan bahwa orang rata-rata tertarik pada sebuah acara selama 5 hingga 10 menit awal saja. Mungkin, kecenderungan pemirsa irasional di Indonesia masih mengalami ini. Alasan paling masuk akal mengapa orang, di depan televisi, lebih senang menguasai remote daripada ponsel.
Dorongan permintaan
Christovita Wiloto, seorang aktivis dan pemerhati media pada awal Januari lalu mengirim surat langsung kepada pemilik Trans Corp Chairul Tanjung. Dalam surat tersebut, Christovita yang juga Pendiri dan Ketua lembaga Young Entrepreneurs Indonesia meminta CT untuk mengevaluasi bahkan, kalau bisa membatasi waktu tayang program-program mistis. Memang tayangan-tayangan “hantu” dan “legenda mistis” kembali mendapatkan posisinya di televisi harian, yang dalam hal ini Christovita menunjuk hidung dua anak emas Trans Corp, Trans TV dan Trans 7. Kurang jelas apakah ada dan bagaimana surat balasan dari CT, tetapi nyatanya hingga saat ini acara-acara mistis masih dipopulerkan oleh dua stasiun televisi tersebut.
Acara-acara yang “tidak beres” tidak bisa serta-merta menghilang dari televisi. KPI punya standar yang cukup (namun kurang tajam) soal apa yang dilarang tayang. Padahal, celah pelanggaran ada banyak sekali. Tayangan horor dan pornografi jelas akan dihukum jika sifatnya eksposif. Tetapi acara berita selebritas tidak, yang ternyata pembawa acaranya sering kali tampil dengan pakaian vulgar dan serba terbuka pada jam-jam tonton anak-anak. Berita gosip yang jadi bagian dari permintaan tertinggi lantas jadi dalih produksi akan terus jalan, dan bagian vulgar tersebut dipasang sebagai satu sisi “pertaruhan” produser. Mereka menunggu apakah “bagian itu” akan ditegur atau tidak.
Sulit juga, karena dorongan permintaan ini memang diberikan oleh mayoritas pemirsa yang notabene masih irasional. Memang ada kelompok pemirsa yang kritis, rajin mengirim surat dan SMS ke KPI terkait tayangan-tayangan yang tidak pantas. Tapi jumlahnya kecil. Kebenaran dan inisiasi perbaikan kalah suara oleh aliran konsumsi yang begitu masif di bawah aliran nyaman.
Sekarang, terserah kepada pelaku industri hiburan, apakah mereka akan bertahan di zona nyaman produksi seperti ini atau membuat perbaikan. Ada beberapa acara TV yang memang patut diapresiasi karena menjual esensi dan bukannya sensasi. Apakah yang lainnya terlalu gengsi untuk sedikit meniru gerak baik seperti itu? Seharusnya jangan, karena cepat atau lambat dari masyarakat akan muncul suara-suara di bawah permukaan yang naik, membincangkan hal-hal baik yang bisa dipelajari dari tayangan televisi.
Karena masyarakat pemirsa kita sebenarnya ingin lebih rasional, penanggung jawab siaran memang perlu menerjunkan diri mereka ke meja pertaruhan, antara kepentingan bisnis dan visi penyiaran itu sendiri.