Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kemerdekaan bagi Anak-anak

20 Juli 2013   11:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17 406 6
[caption id="attachment_267644" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi anak-anak (LPAB/dokumen DAC)"][/caption] Dalam sebuah jalan santai sore bulan September 2009, saya bertemu Ari. Waktu itu lalu lintas padat di persimpangan Mirota Kampus, Yogyakarta dan saya tertarik menghampiri sekelompok anak yang meminta-minta kepada pengendara. Anak ini, laki-laki yang usianya saya taksir sekitar 7 tahun. Yang membuat saya terkejut adalah, ternyata Ari adalah "anggota paling baru" dari mereka berlima. Kawasan sekitar kampus UGM memang sejak dulu merupakan yang paling ramai dengan anak-anak jalanan. Ari baru bergabung seminggu di anggota kelompok mereka. Pengakuannya sendiri, Ari diajak bergabung di jalan "daripada menggelandang sendirian". Mula-mula anak ini diajak oleh orang tuanya hijrah dari Padang, akan tetapi ia kehilangan pegangan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hingga akhirnya ikut orang dan ditelantarkan sampai ke Yogyakarta. Begitulah kisah awalnya seorang Ari, yang kulitnya putih dan rambutnya hitam lembut, berakhir di pinggir jalan pusat bisnis sebuah kota yang tak pernah dikenalnya. Saat ini saya sudah tidak bisa menemukan Ari di jalan, pun tak bisa menelusuri ke mana ia dan teman-temannya dibawa. Banyak perempatan jalan utama di Yogyakarta yang sudah tidak ditempati anak-anak jalanan ataupun pengemis. Kalau tidak kosong melompong, sudah diganti oleh kelompok baru yang entah datang dari mana. Praktik mengemis dan mengamen dengan membawa anak-anak masih marak di kota dengan slogan "Berhati Nyaman" ini. Instruksi Presiden No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan  menegaskan masih diperlukannya penguatan program rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi anak. Peraturan ini menyempurnakan klasifikasi sasaran program perlindungan sosial terkhusus anak ke dalam tiga kelompok: Anak dan Balita Terlantar (AB), Anak dengan Kecacatan (ADK), Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), dan Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK). Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Inpres No. 3 tahun 2010 yang melahirkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai panduan praktis pemberdayaan anak di dinas-dinas pemerintah tingkat I dan II. Tujuannya satu: memerdekakan hakikat anak-anak. Di Yogyakarta, masalah terkait kehidupan anak relatif sama dengan banyak kota besar lain: Kemiskinan keluarga sehingga anak dipaksa bekerja sebelum waktunya, luput terhadap hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan (yang semestinya dipenuhi oleh negara), kekerasan, kenakalan remaja akibat kurang perhatian rohaniah, telantar, diskriminasi (biasanya terhadap mereka yang mengalami kekurangan fisik atau gangguan mental), hingga terlibat kriminalitas. Kepala Dinas Sosial kota Yogyakarta, Sulistyo kepada Kompas.com mengungkapkan jumlah anak jalanan yang (terdata) berkeliaran di kota Yogya setiap hari mencapai 400 orang. Angka ini sudah lebih rendah ketimbang pada 2009, ketika jumlahnya mencapai 1360-an anak. Masalah yang berfokus pada masa depan anak-anak Indonesia ini kemudian dikerucutkan ke dalam banyak bidang penanganan sesuai inpres yang berjalan. Di Yogyakarta sendiri saya tertarik mengikuti aktivitas banyak lembaga nonpemerintah yang bergelut di bidang pemberdayaan anak-anak. Walaupun pemerintah daerah Yogyakarta saat ini sedang getol mengampanyekan Kampung Ramah Anak (yang kini sudah membentuk 14 kampung terfokus di 4 kabupaten), saya menilai tetap ada political barrier atau hambatan-hambatan birokrasi lainnya yang akan jadi penghambat program-program sosial seperti itu. Di samping itu sistem kampanye sosial yang berasal dari pemerintah cenderung sifatnya top-down sehingga masyarakat, terlebih anak-anak yang jadi subjek kegiatan, sering kali tidak teroptimalkan keinginannya. Karenanya pula saya fokus meriset lembaga nonpemerintah. Berkebutuhan khusus Tercatat lebih dari 100 lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi bidang sosial di Yogyakarta, tapi hanya beberapa yang benar-benar aktif mengampanyekan, menggerakkan aksi nyata dan menekankan keberlanjutan kepedulian masyarakat kepada anak-anak. Rasa penasaran pun timbul soal bagaimana kota Yogya, yang berbasis pendidikan, bisa memberi harapan kepada anak-anak, terutama mereka yang berkebutuhan khusus. Saya kemudian mampir ke Lembaga Peduli Anak Bangsa, sebuah lembaga sosial berbasis gerakan yang berkedudukan di daerah Panembahan Keraton. LPAB ini berdiri sejak 2007 dan mula-mula ditujukan untuk menangani anak-anak korban gempa, juga anak-anak korban kekerasan rumah tangga. Tapi lembaga ini sekarang berfokus menjadi tumpuan kreativitas anak-anak penyandang tunarungu (tuli). Saya disambut oleh Dida, penanggung jawab lembaga ini yang kemudian menjelaskan panjang-lebar kepada saya cara mereka menangani anak-anak berkebutuhan khusus ini. "Orang dewasa harus bisa menjadi tempat mengadu bagi anak-anak." Demikian kalimat Dida yang lantas melebarkan obrolan kami sore itu. Lebih lanjut jelasnya, selama ini banyak lembaga, termasuk pemerintah, menelurkan program-program yang sifatnya "menyodorkan". Dari pemerintah untuk anak-anak. Program dibentuk oleh eselon 1 dan 2, dilaksanakan oleh pelaksana di dinas sosial, dana sudah dianggarkan, namun luput melakukan pemetaan minat anak-anak. Akibatnya, program memang berjalan, ada panggung dan musik tradisi anak, tapi setelah itu, selesai. Manfaat bagi mental anak tidak optimal. "Parahnya, yang menyelenggarakan acara dan program-program untuk anak itu, mereka yang sama sekali tidak paham bagaimana menangani anak-anak," lanjut Dida dengan wajah serius. Mendengar penjelasan seperti itu, saya membatin, ternyata selama ini banyak orang yang mengaku paling paham anak, tapi sebetulnya tidak mengerti. LPAB sendiri saat ini sudah mewadahi beberapa komunitas/kelompok kreatif yang anggotanya kebanyakan adalah anak-anak penyandang tunarungu. Satu yang sekarang sudah dikenal baik adalah Deaf Art Community, komunitas kreatif yang banyak melakukan pentas seni tari, puisi, bahkan teater dan kesemua aktor/aktrisnya adalah anak-anak tuli. Saya pertama kali melihat mereka pentas di kawasan Nol Kilometer, 27 Maret lalu di tengah-tengah gelaran Earth Hour. Mumpung sedang berada di markas mereka, saya memutuskan menggali lebih dalam. "DAC lahir bukan menawarkan kepada anak-anak penyandang tunarungu ini, apa yang mereka inginkan. Kita mengalir saja, mereka datang, ketemu teman-temannya, dan memutuskan mereka mau bikin apa," jelas Dida. Lebih lanjut saya jadi tahu bahwa di DAC ini, tidak ada program khusus yang ditetapkan para pengurusnya. Anak-anak diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menekuni minat mereka, berkumpul dan memutuskan karya yang akan mereka buat. Kesenian itu sejatinya adalah olah rasa, rasa yang dipelajari, dinikmati, sehingga menjadi sebuah karya. Selama hampir tiga jam saya mengikuti kegiatan teman-teman DAC di situ, yang kebetulan mereka sedang sibuk membuat video presentasi memuat bahasa isyarat tangan (sign language) di depan sebuah kamera DSLR bertumpuan tripod aluminium. Empat-lima anak berganti-ganti meniru kata-kata yang tertulis di papan arahan yang berisi ungkapan-ungkapan dasar seperti "Ya", "Tidak", "Kapan?", "Kakek-nenek", sampai "Rumahmu di mana?" Semuanya lewat bahasa isyarat. Dari Dida saya mengetahui, yang paling muda dari DAC ini ada yang berusia 3 tahun, dan yang paling tua sekitar 21, sudah mahasiswa. Jumlah anggota aktifnya sudah 30-an anak. [caption id="attachment_267641" align="alignnone" width="580" caption="Anak-anak Deaf Art Community saat tampil di konser Silent Memories bersama pianis Inggris Nick Palfreyman, Juli 2008. (LPAB/dokumen DAC)"][/caption]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun