Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Nyanyian Biola Nona Qiang

11 Desember 2012   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:50 454 11

Limapuluh meter. Dan dari jarak itu bunyi biola itu terdengar begitu merdu. Memantul di kubah langit sampai menggetarkan telinga pada tingkat disabel paling alami. Bagi Musi, itu adalah lagu yang membuatnya tak ingin tidur sepanjang malam. Walaupun pikirnya mungkin nada klasik abad ke-18 itu pengantar tidur yang penting di masanya. Matanya justru terbuka saat mimpinya melayang menembus kaca sebuah jendela di gedung seberang. Jendela gelap.

**

Perhatian semua orang tertuju pada Qiang Mei, satu dari puluhan perempuan keturunan Cina yang digiring ke kamp penampungan Jugun. Mungkin dia akan dilihat sama saja jikalau tak membawa biola 4/4 Fender yang tak akan ada di tanah itu kecuali dikirim lewat kapal Inggris. Tahun memasuki akhir 1943 dan Magelang telah berubah menjadi zona merah. Tentara Jepang mengumpulkan para wanita yang dijadikan hak “logistik” perang untuk mereka. Di kamp penampungan enam lantai yang berdiri di kaki terjauh Merbabu itu, Qiang mempertahankan biolanya, menyebut banyak sekali alasan agar alat musik itu tetap pada dirinya.

“Kalian tidak akan memisahkan Katana dari samurainya.” Begitu kata Qiang saat tentara Jepang ingin merebut biolanya.

Ketegaran itu yang menarik perhatian Musi sampai ke akar-akarnya. Saat Nona Qiang dan wanita lainnya digiring begitu hati-hati agar tidak rusak sampai ke kamp, Musi dan kawanannya dibelokkan ke sebuah kompleks tanah kecil yang berlubang-lubang. Ada pandangan singkat yang bertemu saat itu, dan Musi merasa dua mata Nona Qiang yang menangkapnya tiba-tiba bisa saja berarti sesuatu. Bunker menjadi rumah bagi kaum pria saat itu, di mana lubang-lubang kecil menghadap ke langit adalah bentuk jendela yang paling memungkinkan napas keluar masuk. Tiap malam Musi membayangkan Nona Qiang, melahap bayang-bayang tiap inci dari kecantikan gadis itu. Rekan-rekannya menyumpah-nyumpahi bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan gadis itu. Bukan hanya karena situasi perang atau jarak mereka sejauh satu lapangan tembak, tapi juga karena Musi tua dan berkulit legam, berasal dari Sumatra dan tidak bisa berbahasa Cina.

Musi tidak peduli. Apapun hasil perjuangannya nanti, ia ingin mengarahkan tujuan hidupnya untuk Nona Qiang. Kehidupan pernikahan singkatnya sudah terkubur di masa lalu. Istrinya tidak akan hidup kembali dan mungkin penyakit disenteri itu hanya alasan dari Tuhan. Musi tidak ingin mati dalam kesendirian. Ia ingin anak dan masa depan, meski sempit dan nampak angan-angan bagi pria kebanyakan.

Kemudian saat malam merambat pelan, bunyi itu terdengar.

Kamp wanita terdiri dari gedung utama setinggi tigapuluh meter dan sebuah kantor kecil di sebelah selatan, tempat empat tentara berjaga, menyalakan satu-satunya lampu tenaga listrik. Konon di bawah tanah kantor itu penjara dan tempat ekseskusi. Bunyi biola menyapu semua bagian, naik ke langit untuk kemudian rata menyusuri rumput-rumput gajah.

Tentara Jepang yang menjaga pos gerbang berteriak-teriak karena bunyi itu, lekas beberapa dari mereka menarik bayonet dari pengungkungannya kemudian berlari menyeberangi parit ke arah kamp wanita. Musi melihat itu dari lubang tanah dan menebak-nebak apa yang dikatakan tentara Jepang itu.

“Perempuan Cina itu! Dia pandai bermusik juga.” Lalu tiga dari tentara itu tertawa. Sedangkan Fuku Taichou, wakil pemimpin tentara, diam di kursinya dan menikmati lagu itu. Bayonet tetap ditarik dan kamp wanita tetap digerebek. Lantai demi lantai, sampai akhirnya bunyi itu menghilang.  Lagu “Yòng Yú Hēisè Jiàn” terputus di bagian bridge, kemudian pada sisa malam itu hanya terdengar rintihan. Benar-benar “untuk Kunci Hitam” yang disinggung lagu yang terputus. Jendela kuning berubah hitam dan menyisakan bayangan mengerikan bagaimana para tentara menyelesaikan masalah dan mengambil keuntungan di saat bersamaan. Biola dan busurnya jatuh ke lantai kayu. Musi menyaksikan dengan buta bagaimana harapannya tergantung makin jauh. Pria Sumatra itu kembali ke lubangnya dengan muka gemetar.

Pagi hari di ujung Desember dan matahari bersinar seperti emas. Kabut keluar dari tanah menandakan bumi kembali bekerja. Para tentara Jepang sebagian besar sedang menikmati sarapan mereka di dalam beberapa kantor dan bunker, hanya sebagian yang menjaga gerbang dan pintu kamp. Di jam-jam seperti ini para Jugun Ianfu sedang tertidur kalau tidak sembunyi-sembunyi merencanakan pelarian mereka. Tiga bulan masa penampungan dan kabar kehamilan beberapa jugun membuat orang-orang bertanya-tanya di bawah permukaan. Para pria sebaliknya, sudah di ladang ubi dan telah menggarap tanah selema tiga jam, untuk delapan jam berikutnya. Musi bersama rekannya Idrus dan Butet berbisik-bisik di tengah-tengah pencangkulan. Melirik dan waspada. Idrus berkomat-kamit sambil berdoa semora istrinya di kamp sana masih baik-baik saja. Tapi Butet –tanpa mengurangi harapan—mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin.

“Masih hidup, mungkin. Tapi jelas istri kau tidak baik-baik saja, Drus. Sabar saja.”

Keduanya saling berbagi resah dan Butet ikut mencurahkan hatinya tentang seorang pekerja tenun bugis yang mungkin juga masih hidup di dalam kamp wanita. Tak banyak yang bisa kau harapkan di saat seperti itu. Dan di saat rekan-rekan sepenanggungannya mengkhawatirkan pasangan mereka yang pribumi, Musi melamunkan Nona Qiang. Untuk beberapa malam lagu biola tak pernah selesai, dan berakhir lenguhan panjang di episode tersembunyi di bawah bayonet. Ia selalu marah jikalau tidak sedih dengan itu. Gambaran indah mata besar Nona Qiang membuatnya tak merasakan lumpur dan lintah yang menggerogoti kakinya. Saat baru saja ia mengira tepukan tangan di pundaknya pertanda tentara pengawas sedang mendekat, ia melihat cahaya matahari seperti digandakan keemasannya di kejauhan jalan.

Nona Qiang jalan perlahan. Musi sudah beberapa kali melihatnya di sela-sela pengolahan ladang dan tatkala jendela-jendela dibuka. Hanya dari kejauhan limapuluh meter. Kali ini, dari jarak dekat yang pertama kali sejak mereka ke tempat itu, dan wanita itu benar-benar sempurna di matanya. Gambaran wanita cantik Cina sudah terkenal, tapi Musi seperti baru menyadari apa yang membalut badan indah itu. Cheongsam tak berlengan berwarna merah pesta cocok dengan kulit putih dan lipstik menyala. Rambut terkepang tunggal dan terlilit sampai ke depan dada, seperti menyatu dengan perangai tenang yang menghanyutkan. Jari-jari itu mungil dan kukunya sepanjang butir beras, lembut-tegas menenteng pegangan tas biola. Nona Qiang berjalan tanpa membelokkan arah penglihatannya. Tapi Musi sadar, wanita itu sempat meliriknya lagi meski dengan ketakutan. Harapan.

Harapan yang langsung terhempas ke lumpur karena wanita anggun itu berjalan ke arah kantor Fuku Taichou. Untuk siang itu, untuk pertama kalinya Kamp Magelang mendengar dua lagu utuh dari bunyi biola. Untuk waktu siang sampai selanjutnya, tak pernah ada kabar dari kantor itu, tak juga dari pemain biola.

Untuk tujuh malam berikutnya, Musi gusar. Kegusarannya jelas atas satu alasan. Tak ada lagi bunyi biola dari kamp wanita di seberang sana. Parit-parit hampir rampung dan ladang mulai ditumbuhi pucuk kecil. Pikirannya kalut di bawah bunker itu. Terjaga di balik terkatupnya mata. Idrus dan Butet sudah coba menghibur dengan mengatakan mungkin tentara sudah melarangnya bermain biola di tengah malam. Mungkin juga Nona Qiang sudah dibebaskan. Tapi Musi tetap saja membayangkan yang terburuk, ketakutan yang seperti menarik tubuhnya lebih dalam ke bawah tanah, menguburnya dari kaki hingga leher sampai ia berkali-kali kehilangan napas. Hari-hari berlalu dan waktu merambat serasa satu musim panas yang panjang.

Musi mulai melupakan harapannya. Mungkin sudah saatnya ia menerima apa yang terjadi.

Tapi, kekhawatiran itu berlanjut karena subuh keesokan harinya Kamp Penampungan wanita dikosongkan. Rombongan pribumi yang saat kedatangannya lima bulan lalu jumlahnya mencapai ratusan, kini tinggal tigapuluhan. Sebagian dari mereka memegang perut yang membesar. Musi merapatkan kulit wajahnya ke pagar kawat bersama ratusan pekerja lainnya. Rombongan Jugun digiring dengan kaki-kaki telanjang mereka, dengan  kemben di separuh badan mereka untuk dinaikkan seperti ternak ke mobil bak terbuka. Setelah kepahitan yang panjang, untuk pertama kalinya kamp itu terasa benar-benar hampa. Kabut keluar dari tanah tanpa menyambut siapa-siapa.

Musi kembali menggali bunker di sisi bukit  lainnya, dua kali lebih jauh dari jarak sebelumnya dengan gedung kamp wanita. Mereka ditugaskan untuk menggarap lahan di sebelah tenggara sebelum minggu depan dipindahkan ke Maguwoharjo. Berita perpindahan itu tak serta-merta melegakan, karena desas-desus mengatakan Maguwo adalah titik terakhir pekerjaan keras para tawanan pria. Untuk selanjutnya hanya dua akhir nasib mereka: dilanjutkan ke proyek terowongan yang lebih sedikit atau ditembak mati dekat lapangan udara.

Langit cerah di malam itu dan para pekerja diberi waktu istirahat selama setengah jam dengan singkong rebus dan air asin. Saat kehampaan malam itulah, angan-angan Musi kembali terbang ke tengah langit. Itu dikarenakan, setelah berbulan-bulan, bunyi biola itu kembali terdengar

“Itu dari arah kamp!” seru Idrus menyadarkan.

“Ya Tuhan. Itu benar biola Nona Qiang!” Musi tiba-tiba girang.

Dengan segera ia kehilangan akal sehatnya. Ia seperti anak ayam yang mendengar suara induknya, seperti anak panah yang mencari busurnya. Pria Sumatra itu membuat dua rekannya berteriak-teriak ketakutan, karena tentara Jepang sudah langsung menyadari bahwa seorang tawanan lari.

“Tapi … lagunya berantakan.” Butet berkomentar mendengar bunyi biola itu tak semerdu malam-malam sebelumnya. Tak ada Piterscoon atau lagu-lagu Xin An sebagaimana ditebak beberapa orang di kamp. Kedua rekan itu tak berlama-lama memikirkan itu. Pikiran mereka menghkawatirkan Musi yang makin menjauh ke arah lapangan.

Senapan diarahkan dari berbagai penjuru kepada orang berkulit legam yang bergerak cepat menuruni bukit. Beberapa kali Musi terpeleset tapi kemudian bangkit lagi untuk berlari. Kegilaan terhadap perempuan membuatnya buta dan tak merasakan dirinya sendiri. Bunyi biola itu seperti menghipnotisnya.

Kemudian terdengar beberapa kali bunyi tembakan. Beruntutan dari arah puncak bukit sampai ke bawah, mengikuti gerak cepat Musi yang menyelip di antara semak-semak dan pohon-pohon yang patah dahannya. Menyambar beberapa daun dan bunga begitu saja. Setelah semenit desingan peluru yang terdengar memecah langit, sebuah teriakan membuat semuanya senyap. Fuku Taichou mengambil alih pengejaran dan memerintahkan pasukan infateri untuk maju. Bayonet disingkirkan dan pedang samurai menggantikannya dengan kilau-kilau pembawa pesan kematian dari zaman Shogun. Langkah-langkah militer seperti itu tak ditunggu dan tiba-tiba sudah berdiri di depan kepala orang yang disambarnya.

Bunyi biola digesek itu semakin dekat. Musi terengah-engah dan hanya sesekali membuka mata. Langkahnya sudah mencapai lantai beton dan ia yakin sudah tiba di kamp wanita. Menaiki tangga, melewati beberapa ruangan. Kemudian ia berhenti dan melihat jelas apa yang ada di ruangan itu. Dinding dibaluti banyak noda darah melengkung dan bekas tumbukan. Baju dan pakaian dalam berserakan untuk dikerubuti tikus dan semut-semut. Bau busuk menyengat dari banyak bagian. Cahaya purnama satu-satunya penerang bilik-bilik dan koridor itu, mempertegas pesan kekejaman dari bulan-bulan sebelumnya. Baru saja Musi tersadar, telinganya sudah mendengar teriakan dari kejauhan dan derap langkah para samurai di belakangnya.

Saat akhirnya pria Sumatra itu tersudut, ia tak bisa berbuat apa-apa. Empat pedang menghadangnya sampai ke tembok. Tentara samurai jepang itu tak berkomat kamit seperti pasukan artileri. Mata mereka kosong dan tenang, gerakan kaki mereka berat dan seperti sudah menguasai seluruh lantai. Musi memohon ampun hingga akhirnya bunyi biola itu terdengar lagi. Begitu dekat,  begitu rancu.

Saat mata kembali terbuka dan Musi melihat kembali ke dalam kegelapan, ia bergetar hebat. Biola itu dibawa oleh seorang tentara artileri dan dimainkan asal saja, geram, akhirnya tentara itu membanting biola ke lantai sampai hancur. Musi tertawa pada dirinya sendiri. Bayang-bayang tentang Nona Qiang membawanya pada kenyataan yang pahit, dan ia tak lagi merasakan ada mawar di saku celana belakangnya.

Napas itu terengah-engah dan keringat membasahi kepala hingga kaki. Pada akhirnya setelah mengetahui posisi diri dan apa yang dihadapinya, Musi menutup mata dan jatuh berlutut.

Musi digiring ke lahan rumput yang tak pernah sedingin itu di atas lututnya. Badannya ditelanjangi kecuali bagian selangkangan. Para pekerja kamp digiring mendekat pagar agar menyaksikan eksekusi itu. Idrus dan Butet menelan ludah melihat rekan mereka berada di tengah lapangan itu. Fuku Taichou berpidato singkat yang tak dimengerti namun jelas berarti jangan ulangi kebodohan serupa jika tak ingin mati dalam kebodohan.

Saat samurai sudah mengambil kuda-kuda memegang pangkal pedangnya, angin berhembus dari pepohonan. Keadaan begitu senyap. Musi menyaksikan kupu-kupu Agatta terbang rendah di antara rumput. Ingatannya tiba-tiba merindukan Bukittinggi, istrinya Halimah yang mungkin kalau hidup saat ini sudah mengemong bayi, dan di ujung-ujung wajah Nona Qiang yang sedang memainkan biola di depannya sebagai istri di rumah yang tenang. Buyar. Dan bibir pria itu kembali bergetar, karena sebuah pintu truk yang tertutup dari kejauhan tiba-tiba menarik perhatiannya.

Di kejauhan sana, Fuku Taichou turun dari mobil dan menyalakan rokoknya. Di belakangnya, sosok dengan balutan Cheongsam itu ikut dan menutup mulut. Nona Qiang berdiri di belakang wakil kapten itu, menyembunyikan pandangannya dari arah lapangan. Limapuluh meter. Jarak wanita itu dari tumpuan lutut di tengah lapangan.

Pedang terayun ke samping dan tubuh itu rebah ke atas rumput. Para tentara sontak berteriak, “Banzaaai!” dan para tawanan pria menunduk.

Musi berakhir di kamp itu. Selantun nyanyian biola membawa mimpi seorang Sumatra hingga ke surga.

*

Ilustrasi: http://www.wallpapers1360x768.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun