*
Rumah panggung itu berdiri tanpa serambi balkon. Lego-lego dalam istilah Bugis.
Tak ada yang tahu persis isi pikiran Muna tentang apa yang dilihatnya setiap sore dari serambi rumah. Hanya saja, ibunya yang ia panggil Mamak mungkin yang paling berani menebak-nebak apa isi hati anak gadisnya, taulolo yang sedang gundah karena pubertas yang berkembang sejalan kelenjar jasmani.
Mamak merasa baru kemarin sore anak gadisnya itu duduk melantai dengan dua kaki ke depan dan bubur beras putih belepotan di sekitar mulut. Kini Muna telah tumbuh dan meraba makna kedewasaan dengan sekelumit tanda tanya. Bagi Mamak itu tidak sepenuhnya menyenangkan karena sebagai taulolo, seperti kebanyakan proses pertumbuhan ke arah remaja, anaknya itu kini lebih banyak diam dan menyendiri, apalagi di waktu-waktu saat orang sangat sensitif terhadap langgam adat.
“Nak, masukko ke rumah dulu. Sudah magribmi. Ndak baik taulolo duduk di pintu rumah kalau jam begini.”
Muna tak menjawab. Pandangannya merambat dari daun-daun pohon kelor sampai ke puncak, hingga akhirnya terhisap ke dalam cahaya oranye yang menjauh bersama matahari, seperti tertarik ke punggung bukit Lompobattang. Ia memeluk lututnya dan sesekali mengintip kuku kakinya yang terpotong rapi dan menapak di atas anak tangga teratas. Sarung batik melipit di setinggi pinggang dan kausnya terasa makin sempit karena tekanan di bagian depan. Ia sebetulnya malas dengan perintah Mamak.
“Sebentarpi, Mak. Masih mau lihat matahari.”
“Sudah. Masuk dulu. Itu sudah azan, tidak baik kalau terus di luar.”
“Kenapa tidak baik, Mak?” Muna meninggikan nada suaranya dan sekali menoleh ke Mamaknya yang merapat di tiang pintu. “Kenapa terus pemali dan pemali alasannya. Ini sudah zaman modern, Mak. Tidak ada lagi itu yang seperti itu. Apa … apakah akan mati orang kalau duduk sendirian di depan rumah waktu magrib? Apakah rumah akan runtuh kalau kita tidak menaruh pisang dan melilit batangnya dengan sarung? Tidak juga toh?”
Timpalan itu membuat Mamak diam. Benar juga, pikirnya. Yang ia benarkan bukanlah pendapat anaknya, tapi perkiraannya sendiri bahwa Muna yang sudah taulolo ini sudah bisa melawan. Apalagi pendidikan sekolah menengah cukup membentuk pola pikir seorang anak desa tentang hal-hal yang menemaninya tumbbuh. Anak yang pintar memang berisiko membodohi orang tua, ketakutan Andi Bone yang ada sejak dulu.
“Apa yang kau cari, Nak?” Andi Bone menghela napas kemudian duduk di samping anaknya, coba menasihati dengan tutur lebih lembut.
“Dengan duduk di depan pintu begini. Gadis-gadis lain menurut kata orang tuanya dan masuk ke rumah di waktu magrib. Sedangkan kau tidak. Sebenarnya, apa yang kau tunggu? Kalau bapakmu tahu kau jadi begini …”
Ada keheningan sejenak saat angin darat mulai menuruni perbukitan dan merasuki rongga-rongga rumah panggung bertiang dua belas itu. Muna merasakan kakinya dingin. Dadanya seperti terdorong ke dalam.
“Sudah, Mak. Jangan lagi sebut-sebut namanya Bapak ….”
Gadis itu menatap lagi ujung jari kakinya, menangkup bibir lebih dalam saat kata-katanya tertahan di ujung lidah. Sementara Andi Bone menghela napas, bayang-bayang itu kembali menyeka batang ingatannya.
**
Andi Bone pada masa belianya adalah seorang primadona. Dan ia sadar betul hal itu ketika mendapati dirinya jadi sorotan setiap Maudu’ Lompo, gelar Maulid Nabi Besar di masjid kampung setiap tengah tahun. Para lelaki sengaja duduk di dekat pintu dan enggan ke depan hanya agar bisa mengintip tulolo dari sela kain pemisah saf. Andi Bone bisa sedikit berbangga karena ruas wajahnya mewakili stigma kecantikan yang selama ini melekat di benak orang-orang. Bahkan, ia merasa beruntung karena orang sekelas Ustaz Harun sekalipun berhasil dibuatnya gugup sampai tak bisa bicara di atas podium. Harun adalah pilihan singkat, dan dalam pendekatan tiga bulan yang terasa setahun, mereka memutuskan untuk saling suka.
Andi Bone tersiksa karena cintanya seperti hanya sebatas pagar rumah. Menjadi anak seorang saudagar empang tak pernah sesulit di bayangannya. Sang bapak, Haji Munawir tak sekalipun membolehkan dirinya meninggalkan pagar kecuali untuk ke masjid. Kalau Harun ingin ketemu, ia hanya berani lewat di setapak depan dan mengangguk kejauhan. Itu biasanya hanya berlangsung tak lebih dari sepuluh detik karena badik yang tergantung bersanding songkok di ruang tamu sudah cukup menegangkan untuk disorot mata dari arah jalan. Andi Bone tak merasakan manisnya pacaran yang indah kata orang-orang, hingga akhirnya menikah dengan Harun, tepat sehari setelah bapaknya pulang dari berhaji ketiga kali.
Kebiasaan Andi bone sebagai perempuan muda masih terbawa bahkan setelah ia sudah menikah. Duduk di serambi rumah dan melihat orang lalu-lalang dan dengan canggung menyapa beberapa laki-laki yang menggodanya. Saat suaminya sedang mengisi ceramah di Kampung Berang atau beberapa kampung sebelah, ia merasa bebas begitu saja duduk dan menikmati pemandangan. Nasib sial menghinggapinya, karena Abidin, haji muda yang sedikit lebih tinggi dari suaminya, diam-diam menatapnya setiap sore. Andi Bone merasa ada yang salah dengan perasaannya, bingung bercampur senang. Takut bercampur nekat. Semuanya berjalan manis sampai seminggu kemudian suaminya mengetahui permainan mata itu.
Harun mengajak Abidin beradu badik di lapangan Kampung. Apa bisa Bone, karena ia berada di posisi salah. Suaminya sudah kadung memutuskan untuk menanggalkan peci dan sarung sutra, bertelanjang dada demi harga diri. Siri’ na pacce selalu ditegakkan kalau menyangkut keutuhan keluarga. Tapi Bone salah langkah, dan Abidin memenangkan pertarungan itu. Harun jatuh bersimbah darah dan Abidin menggotong mayat lawannya itu. Andi Bone menangis sejadi-jadinya.
Andi Bone pindah kampung sepeninggal suaminya, membawa serta anaknya yang masih tiga bulan kandungan. Cerita pertarungan harga diri itu ditinggal bersama dengan lilitan kafan almarhum Ustaz Harun. Kadung membawa kesedihan, akhirnya Andi Bone melipat lidah dan mengatakan kepada anaknya bahwa sang bapak meninggal karena terjatuh dari sungai. Kepalanya mendarat di atas batu saat berusaha mencari dukun beranak.
Sejak saat itu Andi Bone tumbuh sebagai perempuan penjaga pemali. Duduk di serambi rumah adalah kutukan seumur hidup baginya.
**
Suhardi tak pernah sebahagia ini.
Ia sebentar lagi akan bertemu gadis pujaannya. Kerah bajunya ditegakkan dan minyak kemiri menghangatkan tangannya. Minyak itu sebentar lagi akan diseka dengan tangan telanjang dari sisi kiri kepala sampai tengah barisan rambut. Tujuannya jelas, arahnya sudah tercatat. Mantap sebagai nawaitu. Wajahnya cerah di cermin dan langkahnya sudah seperti akan menghadap tuan guru.
“Ardi, Minum teh dulu, Nak.”
“Ah, sebentarpi, Mak. Muna sudah menunggu. Sudahmi dulu nah, saya berangkat.”
Mamak itu hanya tergeleng-geleng. Diterimanya salim cium punggung tangan dari anak lelakinya itu, mencium balik tengah kepala dan merasakan hidungnya tak kuasa menahan aroma minyak kemiri yang menusuk, belum lagi ujung-ujung rambu yang menggelitik. Belum juga ia menghela napas, anaknya sudah menghilang keluar pintu.
Suhardi tak pernah berpikir tentang adat atau apapun. Pemali tidak ada di dalam kamus percintaannya. Saat matahari sudah bersitirahat, kini giliran ia membawa serta bulan sepanjang langkah menembus setapak. Ia seperti akan menumpahkan karung berisi ribuan bintang di depan gadis pujaannya nanti. Mungkin nanti.
Di pintu rumah tanpa serambi itu, Muna mulai menggerak-gerakkan kakinya. Lehernya pun mulai memanjang dan hatinya mulai gusar. Kalau sampai azan isya berkumandang Suhardi tidak muncul di depan pagar rumahnya, maka cap merah sudah akan ia tempelkan. Memang sulit menemukan laki-laki yang teguh pada janji, pikirnya.
Sementara itu beberapa meter jelang jalan menanjak rumah Muna, di jalan selepas hutan bambu itu, Suhardi menengadah langit seperti meminta sokongan semesta alam. Langkahnya makin pelan saat tak sadar ia menyeberang. Ia terkejut karena tiba-tiba ada cahaya terang yang mendekat padanya. Buk! Tubuh itu terpental beberapa meter dan berakhir di bawah jembatan. Tiga ruas tulang patah dan darah mengucur dari lubang telinga.
Bulan bersembunyi ke balik awan, dan pemuda itu tak melihat apa-apa lagi.
Muna mendapat kabar itu dan menjerit histeris di tangga rumahnya. Andi Bone ikut menangis saat berusaha menenangkan anaknya. Suhardi meninggal dunia dalam perjalanan ambulan yang sudah kadung terlambat datang. Pemuda pesantren itu meninggal diiringi cerita-cerita yang membuat jengah seisi rumah.
“Pemali! Pemali!” Orang-orang berbisik di acara takziyah, dan Muna tak tahan mendengarnya.
“Dengar-dengar almarhum tidak meminum teh sodoran Mamaknya. Begini akibatnya! Hii … nauzubillah.” Ibu-ibu itu tetap berbisik dan Muna semakin panas di tempat duduknya. Menangis untuk kesekian kalinya.
**
Pada akhirnya perkara pemali tetap menjadi misteri. Orang-orang hanya mengait-ngaitkan banyak tanda yang seakan-akan petunjuk berarti tentang mengapa adat dan sopan-santun harus dibawa sampai beberapa generasi.
Di sore-sore berikutnya, Muna tak lagi duduk di depan rumah jelang magrib. Bahkan saat Mamaknya, Andi Bone memutuskan membuat serambi balkon untuk rumah mereka yang lebih besar, tak ada yang mengisi sore di bidang papan itu sampai beberapa tahun berikutnya.
Muna tumbuh sebagai perempuan dewasa yang memelihara logika, meski di penghujung malam ia masih sering mencari bulan pembawa cerita cinta. Pun taulolo itu tak pernah lagi menanyakan tentang bapaknya. Mungkin karena memang ia tak ingin tahu.
*
Ilustrasi dari dokumen pribadi.