Saat Astra Internasional resmi memperkenalkan dua produk mobil murah ramah lingkungan (LCGC) mereka Agya dan Ayla di gelaran IIMS September lalu, pasar otomotif Indonesia mengalami pergeseran yang perlahan namun pasi. Kelas tengah Indonesia langsung bereaksi dan angka pemesanan mencapai 5 juta unit hingga pertengahan Oktober. Pesaingnya pun tidak kadung khawatir. Malahan, Mazda sebagai sebuah merek kuat dalam dua tahun terakhir mengaku tidak akan latah mengeluarkan produk LCGC karena hanya "bikin macet" dan lagi masih menunggu regulasi jelas dari pemerintah. Apa daya saling serang pernyataan ini tidak muncul ke permukaan, karena bahkan pembeli daerah seperti Lampung dan Palembang sudah “mengikat” Agya sampai 100 juta unit dengan down payment Rp 5 juta saja.
Pakar perencanaan dan sosiolog sebagian mengkritik gebrakan bisnis ini. Alasannya jelas, makin mudah mobil dimiliki, makin macet kota dibuatnya. Meski demikian Astra tetap pada pendapatnya dan mengaku Ayla menyasar kelompok kelas tengah baru, yaitu peminat mobil konsep hijau yang murah. Pada dasarnya sama saja. Direktur Pemasaran Astra Daihatsu Motor Amelia Tjandra seperti dilansir okezone mengatakan bahwa ada 1,8 juta prospek pengguna LCGC di Indonesia termasuk ibu rumah tangga, wanita karir bahkan mahasiswa. Secara imparsial, ADM memiliki prospek bahwa angka jumlah kelas tengah Indonesia akan bertambah seiring perbaikan investasi yang diidam-idamkan korporasi.
Kelas tengah Indonesia bertanggung jawab terhadap pola ekonomi Indonesia yang serbakonsumtif. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebutkan bahwa kelas tengah Indonesia mencapai 54,6% pada 2012, naik dibandingkan pada 2006 yang sebanyak 49,1%. Kecenderungan mengikuti gaya hidup metropolitan dan kemudahan akses pada barang-barang di luar kebutuhan pokok yang semestinya disinyalir menjadi alasan paling masuk akal mengapa kelas tengah Indonesia sering jadi sasaran majalah busana dan asesori, menjadi sasaran pasar utama untuk industri otomotif dan media, serta menjadi ladang keruk investasi yang paling menguntungkan bagi industri properti. Anehnya, BKPM mengamini dinamika ini dengan rencana membebaskan bea masuk impor untuk bahan baku untuk industri yang “membangun di sini”.
Pergaulan interkelas
Di hari ini ketika bahkan ibu rumah tangga bisa memiliki mobilnya sendiri, dan kalangan muda yang bekerja dijadikan pasar utama sebagian industri penting seperti media dan teknologi komunikasi, publik menghadapi pencitraan yang tidak disadari telah berlangsung lama. Memiliki iPhone alih-alih Blackberry yang sedang turun daun menjadi keunggulan komparatif yang membuat kaum muda mengoreksi rasa percaya dirinya saat coba merapat ke dalam pergaulan rekannya yang kelas atas. Pergeseran nilai pasar yang terbolak-balik menjadikan publik konsumtif dalam negeri kita semakin galau dan mencoba gonta-ganti pegangan produk. Terjadi potensi penyesuaian yang kurang sehat saat seseorang melakukan pergaulan interkelas yang rentan kecemburuan sosial. Ini baru telepon selular.
Termin ‘pencitraan’ yang oleh banyak kalangan kelas tengah juga disasarkan untuk para pejabat yang bersolek di di parlemen atau selebrita yang terpaku di kursi pengadilan, sebetulnya mengalami pengembangan makna yang independen, dan menyasar publik nonbirokrasi. Mengapa banyak orang rela bermacet-macet ria yang penting membawa SUV ke tengah kemacetan Jakarta padahal akan lebih efektif jika ia mengambil moda transportasi massal seperti KRL Commuter atau Trans Jakarta? Mengapa banyak orang yang membeli gadget tanpa perlu mempertanyakan motif mereka terkait kebutuhan dan kemampuan produk terbaru tersebut? Pencitraan di hari ini banyak disangkal, padahal secara sosial terjadi begitu saja dengan ketebalan yang berbeda-beda setiap orangnya. Motif perlu dipertanyakan kembali saat masyarakat sebagian besar belum percaya sepenuhnya rumor lalu lintas Jakarta akan lumpuh total pada 2020.
Termin pencitraan ini tak bisa disematkan untuk kelas bawah yang pola konsumsinya masih seputar kebutuhan hidup dan kerja, meski di beberapa kasus juga melanggar kelasnya sendiri seperti pembelian elektronik yang belum perlu.
Dalam satu dekade terakhir produk-produk elektronik nampaknya mulai mengoreksi pangsa pasarnya dan mulai “turun kasta” menghindari kelas tengah dan menyasar kalangan ekonomi bawah. Data Federasi Gabungan Elektronik Indonesia mencatat kenaikan penjualan hingga 21% ke angka Rp 2,56 triliun dari Januari 2012. Kredit televisi tabung dan kulkas diperingan sampai angka bunga 0% dengan jangka pelunasan lebih hingga lebih dari dua tahun. Para pembeli yang berasal dari pinggiran kota metro dan di daerah-daerah merasa sangat dimanjakan dengan kemudahan ini. Dan strategi ini terbukti ampuh dan industri ritel elektronik bersusah payah selamat dari kebangkrutan pasca-munculnya ide digitalisasi perabot. Hal yang lebih luar biasa terjadi di bidang otomotif roda dua. Gencarnya semua merek dalam negeri menggelontorkan program kredit ringan kepemilikan sepeda motor kini justru mulai menuai masalah karena rawan aksi spekulasi oleh pembeli-pembeli di daerah. Dalam hal ini, publik kalangan bawah tidak begitu mengenal seperti apa mereka membangun citra dengan ikut memperparah pola konsumtif nasional.
Industri yang lebih strategis seperti perhubungan udara tak luput meraba getaran-getaran konsumsi yang meledak ini. Di saat kelas tengah mendominasi konsumen penerbangan berbiaya rendah dan kelas bawah mulai ikut mencicipi hak yang sama, kebijakan untuk transportasi perlu diperbaiki dan mesti menganggap bahwa siapa saja saat ini bisa terbang, bukan hanya kalangan atas seperti pada 1990-an.
Pencitraan berdasar Gender
Tak bisa dipastikan berapa angka perbandingan pola pembentukan citra dengan perilaku konsumtif yang dilakoni kaum laki-laki dan perempuan. Meski dalam hal kartu kredit, misalnya, kelas tengah perempuan dan laki-laki dianggap sama konsumtifnya, perbedaan yang terjadi hanya seputar selera konsumsi barang yang dibeli guna pembalutan citra, bukan kebutuhan dasar. GM Asosiasi Kartu Kredit Indonesia Steve Marta kepada Kompas Female Juni lalu mengatakan, laki-laki kelas tengah Indonesia banyak menggunakan kartu kredit untuk membeli gadget dan makan di restoran, sementara kelompok perempuan untuk membeli busana dan asesorinya.
Di bagian lain keseimbangan ini terbantahkan. Seperti hasil survey online uSamp yang menunjukkan bahwa kaum laki-laki jauh lebih konsumtif daripada perempuan dalam hal transaksi dunia maya menggunakan komputer atau gadget lainnya. Barang-barang yang dibeli pun tidak jauh-jauh dari perangkat teknologi, film atau permainan digital, sementara perempuan masih lebih selektif dan ragu-ragu. Sementara penelitian sosial menyebutkan, perempuan kelas tengah perkotaan merupakan kelas terdidik yang dapat menjadi suatu kekuatan besar yang coba mendobrak kultur patriarkat.
Sekilas memang belum ada perbedaan mencolok dalam aspek gender dan pola konsumtif kelas tengah kita. Yang unik adalah, kini perilaku kelas tengah ini mulai diadopsi kelas bawah yang perlahan mulai mengoreksi jati diri kelompok sosialnya dan mencoba peruntungan merasakan sensasi yang lebih menantang dalam mengoleksi barang-barang nonkebutuhan dasar. Siapa yang akan menyangkal bahwa hari ini bahkan kelas bawah di desa sudah ikut memelihara gengsi mereka atas kendaraan dan perangkat elektronik?
Gejala sosial ini tentunya bukanlah mutlak mengkhawatirkan, dan jelas industri dan geliat investasi tak akan mau ambil pusing dengan ikut mengkhawatirkan perilaku konsumtif dan pencitraan ekonomi kelas tengah Indonesia. Saat bisnis berkembang dan masyarakat belum mengeluh, sepertinya ini akan berlanjut. Kalimat direksi Mazda yang mengaku tidak akan menjual mobil seharga di Rp 100 juta ke bawah agar kota tidak semakin macet tentu bisa diapresiasi. Tapi siapa yang tahu.
Saat Survey Litbang Kompas menyebutkan sebanyak 54% kelas tengah Jakarta menilai diri mereka sebagai ujung tombak demokrasi dan 71% mengaku andil penting dalam pengembangan masyarakat, kita patut mengritik satu-dua hal yang terkait motif dan alasan. Kita masih sangat konsumtif, dalam arti apapun yang enak dicicipi akan jadi produk yang terus diburu.