*
SETIAP BULIR KECERDASAN yang merapat di pikiran Alit selama lima belas menit yang diam itu agaknya tak cukup untuk menemukan sebuah jawaban. Matanya menutup dan membuka karena lampu terlampau redup. Kepalanya pun mulai terasa berat. Kipas angin plastik tiga bilah yang menggantung dua meter di atas kepala anak itu hanya berputar pelan tanpa belaian lembut sama sekali. Beker kotak yang hampir jatuh dari ubun lemari berdetak-detak nyaring seperti menyindir betapa waktu setia menunggu.
Di kursi kayu pendek itu Alit merapatkan tubuhnya. Telapak kakinya mulai kesemutan dan coba saling menggaruk betis sebelum kembali memijak lantai semen. Sesekali ia memberanikan diri mengangkat dua kakinya itu sampai merapat ke pantat dan lututnya ketemu dagu selama beberapa detik, sekadar untuk menghalau rasa kantuk yang menyelimuti kepalanya dari belakang sampai kelopak mata. Pikirannya menebak-nebak sendiri, apa gerangan yang akan ditulis emaknya di sebuah kolom lembaran formulir di atas meja berkaki besi.
“Orang-orang itu pasti akan mempermasalahkan ini, Alit.”
Emak bersuara seperti bergumam. Oleh karena itu Alit tidak langsung membalasnya. Anak itu hanya diam memeluk lutut dan menggerak-gerakkan badannya di atas kursi. Sementara emak sudah mengecek lembaran itu dan memastikan tinggal satu kolom yang belum terisi.
“Bersuaralah, Alit.” Kalimat itu membuat Alit menurunkan kakinya cepat-cepat kemudian mengiyakan emaknya.
“Apapun yang mereka katakan besok, jangan dengarkan. Kau adalah apa yang kau pikirkan, Nak. Tidak semua orang punya hak untuk menghakimi seperti apa dirimu. Mengerti Alit?”
Sejujurnya anak itu tidak mengerti sepenuhnya. Ia pernah sekali mendengar beberapa kata dari kalimat emaknya barusan di sebuah masjid. Waktu itu ia masih kelas nol besar, dan memegang sebuah buku. Di podium tengah seorang berjanggut dan tua seperti sedang marah-marah. Saat itulah Alit seperti menyerap kata-kata itu, mungkin karena khatib tidak membuatnya mengantuk seperti yang sudah-sudah. Tapi karena emaknya seperti mengirimkan pesan yang begitu berat melalui dua matanya yang memerah, anak itu mengangguk pada akhirnya.
“Biarlah kita isi seperti ini saja. Kalau mereka pintar, mereka akan menerimamu.” Emak menghela napas panjang kemudian memeriksa formulir itu sekali lagi. Ia gosokkan telapak tangannya ke sisi celana agar keringat tidak mengotori pinggiran kertas. Pikiran-pikiran itu hinggap sejenak, kemudian menghilang bersama asap di atas asbak.
“Sekarang tidurlah, Nak.”
Alit mencium punggung tangan emaknya kemudian beringsut ke kamar dengan memikirkan beberapa pertanyaan yang urung terjawab. Di atas kasur kapuk anak itu meraba cahaya. Seperti biasa tangannya merapat ke pipi dan lututnya menekuk ke samping. Ia teringat bapak, dan suara-suara burung yang berkejaran antara perbukitan Sumbing hingga lereng Merbabu. Laki-laki tangguh pemikul karung gabah dan pasir itu dulu suka berteriak dari ujung sungai, sekadar mengingatkan ada burung lewat. Biasanya kalau mendengar itu Alit langsung berlari dan memasang jala di tengah sawah. Satu dua pipit terjebak dan menjelma jadi limaribu rupiah untuk jajan. Bunyi-bunyian itu perlahan menjauh, serasa memberinya senyuman dan usapan di kepala. Alit rindu bapaknya yang dulu memboncengnya ke sekolah dengan sepeda peninggalan Belanda. Mata anak itu terpejam persis di depan sebuah foto hitam putih yang dulu berwarna.
**
Pagi yang tak begitu cerah menaungi rumput di halaman YUDISTIRA bergoyang-goyang sendu. Angin memang sering berhembus kala hujan menjelang. Menggelayut kemudian menghilang. Sekolah ini bersiap untuk pelajaran pagi di hari Jumat yang pendek.
“Silakan duduk.”
Sambutan yang ramah dan tanpa basa-basi. Perempuan itu duduk merapatkan kedua lututnya yang terselip di depan meja. Di sampingnya anak itu duduk dengan kakinya menggantung dibalut sepatu hitam merek murah namun laris. Tepat setelah para murid diminta ke ruangan kelas masing-masing, digiring seperti bebek turun ke sawah, emak dan anaknya itu sudah mendapati diri mereka di ruangan administrasi Komite Sekolah yang jendelanya terbuka dan pendingin ruangannya menyala. Di seberang sana seorang laki-laki kurus berdeham berkali-kali ketika kacamatnya hampir jatuh. Formulir pendaftaran siswa baru itu kini berada di tangan dan sepenuhnya di bawah pengamatannya.
Alit merapatkan topi biru tuanya yang berlambang burung emas. Ia ingat lambang itu pernah ada di topi merahnya beberapa bulan lalu. Anak itu sama sekali belum tahu seperti apa kehidupan sekolah menengah pertama. Mengecap ketakutannya di ruangan dingin itu sembari mengingat cerita-cerita teman bermainnya yang menakutkan. Alit bahkan percaya bahwa di SMP gurunya seram-seram dan gemuk-gemuk. Untuk sejenak ia terperanjat karena pegawai honorer baru saja meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja kemudian berlalu tanpa menyapa. Kepala sekolah itu langsung menyeruput satu dua teguk minuman itu, membiarkan kerongkongannya basah sebelum mengeluarkan pertanyaan penting yang ditunggu-tunggu.
“Nama Ibu?”
“Rena.”
Kepala sekolah itu meraba kaca matanya dan mengamati singkat. Pikirannya bertanya-tanya betapa indahnya nama perempuan muda ini, padahal penampilannya tidak seelegan itu. Baju kaus ketat berwarna oranye gelap dan dibalut jaket jins dan celana denim ketat sebetulnya cukup menarik. Tapi rambut yang dicat aksen merah membuatnya nampak seperti anak gadis baru gede. Kepala sekolah itu buru-buru membuyarkan bayangannya biar tidak melenceng terlalu jauh.
“Ehm. Baiklah, Bu Rena. Anda ingin mendaftarkan anak Anda ke sekolah ini ya. Namanya … Alit, betul?”
Rena dan Alit mengangguk nyaris bersamaan. Alit mengangguk dua kali lebih cepat. Ia sudah tidak sabar dengan rasa dingin aneh yang belum pernah dirasakannya seumur hidup.
“Alit cukup cerdas. Kukira dia cocok sekolah di sini.”
Rena tersenyum gembira. Keinginannya selama beberapa bulan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bergengsi kini makin dekat dengan kenyataan. Uang tabungan dari jasa yang dijualnya kini lebih dari cukup untuk melunasi semua biaya bahkan sampai Alit menerima rapornya nanti. Kepala sekolah itu juga nampaknya senang, hingga seorang guru perempuan memanggilnya dari kejauhan.
Dua pegawai negara itu berbincang. Jelas bukan soal mencerdaskan bangsa karena mereka nampak lebih mirip orang berbisik daripada berdiskusi. Rena yang melihat itu mulai gusar. Ada yang tidak beres dengan ekspresi kepala sekolah yang melihatnya sesekali dari kejauhan dengan tatapan tidak mengenakkan. Tak lebih dari satu menit kepala sekolah itu kembali ke kursinya. Kembali berdeham.
“Maaf, Bu Rena. Apa pekerjaan Anda?”
“Wirausaha. Di situ kan saya tulis …”
“Anda berdagang apa? Warung atau …”
Rena tak langsung menjawab. Kata-katanya tertahan saat ia coba mengatur jawaban yang mungkin akan terdengar lebih masuk akal. Lama kepala sekolah itu menunggu dan mulai mengambil kesimpulan, tiba-tiba terdengar jawaban bernada tinggi dari seorang anak kecil.
“Ibu saya bekerja di Halen, Pak! Memangnya kenapa?”
“Alit!” Rena membungkam mulut putranya di depan kepala sekolah itu, menyuruhnya diam seketika. Sementara kepala sekolah terlanjur melepas kaca mata dan menyeka keningnya.
Tak ada yang tak tahu Halen. Zona merah yang terlanjur menyemat semua orang yang bisa menghirup udaranya sebagai pekerja seks komersial. Istilah santun yang baru saja dikeluarkan pemerintah untuk sedikit memanusiakan para pekerja yang dulu disebut lonté. Rena sadar ini tak mudah. Alit tak mungkin berhenti sekolah hanya karena pekerjaannya yang kadung terjepit di antara sedikit pilihan hidup.
Rena kira dengan menuliskan wirausaha sebagai pekerjaan di formulir pendaftaran anaknya tidak akan menimbulkan masalah besar. Sekolah biasanya tak akan mengulik terlalu jauh latar keluarga siswanya. Toh, memang pekerjaannya menjual jasa seperti banyak orang lain yang sama mengaku wirausaha. Orang-orang mana mau tahu itu. Lagipula, Rena sadar bahwa sejak awal kecil kemungkinan ia bisa meloloskan Alit ke sekolah yang di gerbangnya saja sudah tertulis Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Siapa tahu cita-cita Alit yang tinggi itu bisa dimulai dari sini. Membuat jalan baru bagi keluarga kecilnya yang mengarah menjauhi tahun-tahun kemaksiatan yang nyata memberi mereka makan.
Ruangan kepala sekolah itu ribut seketika dan Alit menangis tersedu. Rena pada akhirnya mendebat kepala sekolah dan mempertahankan pendapatnya. Sementara kepala sekolah dibantu empat guru itu sepakat untuk menawarkan Alit ke sekolah lain.
“Kami tak mau mengambil risiko, Bu Rena. Maaf tapi …”
“Kalian cuma mementingkan status! Seperti banyak ulama yang berkhotbah untuk segepok amplop!”
Rena menarik tangan Alit dan mengambil tas kecil anaknya itu sebelum menggebrak meja dan berlalu pergi. Di pintu, mereka berpapasan dengan Damar, guru bahasa Inggris yang membawa beberapa buku dari ruangan belajar.
“Rena ada apa?” Damar coba menyapa tapi Rena terus melangkah kesal. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah itu.
“Rena!”
“Eh, Bang Damar. Maaf.” Rena berhenti pada akhirnya. Ia mengisahkan singkat dan menunjuk-nunjuk dengan serapah ke arah ruangan kepala sekolah. Damar bisa mengerti itu dan menjelaskan seperlunya.
“Terima kasih, Damar. Tapi aku sudah terlanjur sakit hati. Orang-orang mengaku berpendidikan tapi otak mereka picik. Mengaburkan sisi baik hanya dengan melihat satu celah keburukan.”
“Maafkan kami, Rena. Tapi aku masih yakin Alit akan diterima di sini.”
“Sudahlah. Terima kasih, bang. Sudah menyarankan sekolah ini. Maaf kalau saya mengecewakan abang. Permisi.”
Rena dan Alit berlalu keluar gerbang sekolah. Angin berhembus sekali lagi dan rumput tetap bergoyang sendu. Di koridor terdepan itu Damar menghela napas. Sesuatu harus dilakukannya.
**
Malam terasa sangat panjang.
Bukan karena hujan yang turun merata dan menghilangkan panas dari jengkal-jengkal tanah. Udara tetap hangat di rumah mungil itu. Tiga minggu sudah Alit hanya bisa di rumah setelah kejadian memalukan di sekolah itu. Anak itu menghabiskan waktunya dengan membaca beberapa LKS lamanya dan mempelajari seluk-beluk dinosaurus yang di benaknya masih serupa monster tinggi bergigi dan pemakan manusia. Jika bosan ia ganti dengan memencet pengendali televisi dan duduk menikmati dokumenter pukul delapan malam. Sosok Sukarno membuat matanya selalu cerah. Bingkai foto bapaknya kini ditaruh sejajar dengan gambar Sukarno di televisi. Foto hitam putih di samping televisi berwarna, bagi Alit itu seperti dua sahabat yang saling sapa tanpa bersua.
“Alit, kunci pintu ya, Nak. Matikan televisi sebelum tidur. Alit jangan lagi masak nasi, di meja masih ada.”
Seperti biasa anak itu mengangguk saja. Kepatuhan mutlak yang tak mungkin dibantarkan dengan kata ‘tidak’. Pintu sudah berderit dan terdengar langkah kaki menjauh di halaman. Alit bangkit dari depan televisi karena ternyata hanya berselang beberapa detik emaknya sudah kembali ke ruang tamu bersama seorang laki-laki berjaket hitam.
Alit melihat emaknya berbincang malu-malu dengan laki-laki itu. Mata emaknya cerah dan pipinya memerah. Alit belum pernah melihat emaknya seperti itu. Seperti perasaan yang lama tak keluar dan kini seperti menguapkan semua kerinduan yang terkurung di hati emaknya. Alit ingat siapa laki-laki itu. Pak Guru Damar yang tadi di sekolah menghentikan langkah mereka.
Rena diam. Tangannya saling memijat dan wajahnya tertunduk. Emak menangis, dan Alit langsung memeluknya. Damar yang coba bersimpati hanya bisa tersenyum ringan dan menerka seperti apa perasaan Rena mendengar kabar yang dibawanya. Atau, perasaan perempuan itu terhadapnya. Pikiran itu cepat-cepat ia luruskan.
“Bagaimana bisa, kemarin kan Kepala sekolah menolak …” Rena masih belum mengerti dan meminta Damar menjelaskan singkat.
“Setelah kuberi penjelasan, beliau mengerti. Pada dasarnya Pak Kirman itu baik.”
“O …. Alhamdulillah, terima kasih, Bang Damar. Alit … Alit …. Alit sekolah, Nak. Besok kita ke sekolah. Alit sekolah!”
Berkali-kali Rena mengucapkan kalimat itu dan tak bisa menahan tangis harunya di depan anak semata wayangnya. Damar, laki-laki ini, malam itu seperti malaikat tanpa sayap yang menghalau badai jauh-jauh dan menjadikan hujan sebagai anugrah yang dirindukan.
Anak itu berterima kasih kepada Damar, tapi tetap mengarahkan pandangannya ke bingkai foto potret bapaknya.
**
Di ruangan kepala sekolah, beberapa jam setelah Rena membawa anaknya, dalam kemarahan, keluar dari kompleks YUDISTIRA, Damar mencoba bernegosiasi dengan kepala sekolah.
“Bu Rena bekerja sehari-hari di Halen. Kita tidak mungkin membiarkan dia nya jadi bahan olok-olokan banyak orang di acara Temu Wali Siswa, Damar.” Kepala sekolah meyakinkan pendapatnya mengapa ia harus menolak Alit pagi itu.
“Kalau begitu kita mulai dari sekolah ini, membangun pemahaman yang baik dengan menghargai semua jenis pekerjaan, Pak. Itu akan jadi prestasi yang mengharumkan nama kepala sekolah juga. Saya yakin para orang tua siswa lainnya lambat laun akan mengerti.”
“Siapa yang bisa menjamin.”
“Saya jaminannya.”
“Anda jaminannya?” Kepala sekolah itu menegakkan kaca matanya kemudian tersenyum meremehkan. “Kau tidak mau mengambil risiko ini, Nak. Perhatikan saja pekerjaanmu. Karirmu bagus dan sebentar lagi naik golongan. Sudahlah.”
“Potong separuh gaji saya.”
Kepala sekolah itu terperanjat dan menghamburkan the panas dari mulutnya begitu saja. Dengan langkah sigap seperti tupai ia langsung bangkit dari kursi dan menutup pintu ruangan, mencegah suara mengalir keluar.
“Damar … Damar … sayang sekali kau sampai melakukan ini. Apa semua orang Batak keras kepala sepertimu?”
Kepala sekolah itu mengetuk-ngetukkan ujung kukunya di atas kaca meja. Kepalanya mengangguk-angguk dan melihat mata guru bahasa Inggris itu seperti menguji sesuatu. Kemudian akhirnya sebuah surat ia tanda tangani dan membuat Damar berterima kasih.
“Kau tahu separuh gajimu akan mengalir ke mana, Damar. Kau ambil risiko ini. Perlu tiga minggu untuk mengurus administrasi. Kita lihat saja seperti apa sekolah ini memperlakukan anak itu. Kurasa kau sama cerdasnya dengan anak PSK itu.”
Damar meninggalkan ruangan itu dengan melipat bibir. Tapi malam hari yang hujan saat menyampaikan berita gembira itu kepada seorang ibu dan anaknya, perasaannya jauh lebih tenang.
Alit bisa sekolah. Dan formulir tetaplah formulir. Tak semua yang tertulis di atas lembar itu benar-benar nyata. Sebagiannya adalah dusta, sebagiannya adalah asa atas cita-cita. Pada akhirnya manusia saling menilai seperti apa mereka akan melakoni hidup di atas tanah. Seperti rumput yang bergoyang merindu angin.
*
Ilustrasi (dok. pribadi)