TAK ADA YANG LEBIH MENENANGKAN daripada duduk santai di lantai atap sambil membaca buku cerita. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Adam kala memilih rileks sejenak dari kasus yang diusutnya. Kening dan kulit kepalanya sengaja dibiarkan terbuka agar hangat matahari terbenam bisa merasuk, mengimbangi sapuan sejuk angin penghujung bulan September.
Meski Adam harus menapakkan telapak tangannya di bidang buku agar lembar itu tak tertiup tangkup, ia tenang. Setidaknya, melupakan sejenak misteri pelik yang menyelimuti kasus menghilangnya sebuah komputer lipat yang menampung data enkripsi wasiat seorang bankir nasional. Kasus itu sudah diusut selama empat hari, tapi tepat saat ia memerlukan bukti yang mengarahkan dugaannya, semuanya seperti menguap ke udara. Pelaku itu tak membawa apa-apa, baik laptop ataupun jejak-jejak lainnya, sehingga tuduhan kepolisian buyar dengan sendirinya. Untung saja si pelapor adalah seorang yang murah hati, atau setidaknya orang yang sabar.
Baru saja Adam menikmati halaman tigapuluhan dari roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, membayangkan senyum manis Mas Nganten empat belas tahun itu tatkala mengenakan kalung emas dan liontin berbentuk hati di depan cermin kamar Bendoro, tiba-tiba ia terperanjat dan merasakan getaran menggelikan dari bagian belakangnya. Ponselnya berdering begitu meriah, menguapkan jauh-jauh ke udara bayangan aroma sirih dan kembang mawar karesidenan Rembang yang sedari tadi memenuhi rongga pikirannya. Setelah melihat siapa yang memanggil, ia berpikir sejenak, menunggu, sebelum akhirnya mengangkat.
“Halo?”
“Halo, om Adam?”
“Ya. Ada apa, Mila?”
“Em … maaf, om. Terkait pesanku kemarin.”
Adam meraba-raba ingatannya. Tapi tak satu petunjukpun ia peroleh berkaitan dengan keterangan ‘pesanku kemarin’ itu. Setelah hening sejenak akhirnya ia putuskan untuk bertanya lebih jelas.
“Kemarin yang mana ya?”
“Yang aku SMS-kan. Minta tolong saya ditemani acara temu wali siswa. Di Kotagede. Bisa?”
Adam diam. Gawat, pikirnya. Karena tak sedikitpun ia membaca pesan masuk itu. Ia ingat sekitar pukul sembilan pagi hari sebelumnya ponselnya bergetar di tangan saat sedang mengetik pesan kepada Alina mantan istrinya, tapi ia langsung menekan tombol tutup, membuat pesan itu langsung terdaftar di kotak masuk, dan hanya ia baca sekilas. Urusan kemarin itu jauh lebih penting daripada sebuah pesan.
Dan sore ini, ia baru sadar apa sebenarnya isi pesan kemarin itu. Mila adalah keponakannya dari Alina. Kedua orang tua siswi kelas dua SMA itu meninggal karena kecelakaan kereta api dua tahun silam, membuatnya tinggal berpindah-pindah hingga terakhir ia ketahui anak itu tinggal bersama neneknya. Adam sama sekali tak menyangka anak itu memintanya menjadi walinya. Kalau semua hal sudah sampai padanya, itu berarti orang lain sudah tak bisa diandalkan, dan kemungkinan Mila tak menemukan tante atau om lain yang bisa dimintai perihal ini.
“Om?” suara itu memanggil lagi dari seberang sana.
“Em, ya. Ya, Mila. SMS darimu itu ya? Jadi bagaimana?”
“Bisa tidak om? Acaranya nanti malam lo!”
“Emmm … Ya, Mila. Sebetulnya, maaf, Mil. Tapi om sudah ada janji dengan tante Alina. Dia minta tolong sesuatu yang harus om kerjakan di sana. Coba nanti om minta izin dulu ya ke tantemu. Tapi om tidak bisa janji.” Adam mengatakan alasan itu dengan perasaan kurang nyaman.
Kemudian terasa keheningan sesaat dari seberang sana. Adam merasakan angin kembali bertiup lembut tapi di pikirannya ombak mulai berdesir lebih tinggi. Ia pikir telah menyakiti perasaan anak itu, tapi ia yakin jawabannya beralasan. Belum juga ia bisa menebak apa reaksi anak itu, sudah terdengar lagi balasan dari seberang sana.
“Ya sudah, om. Maaf mengganggu.”
Kalimat itu membuat Adam benar-benar menyesal telah mengatakan sesuatu yang salah. Atau, setidak-tidaknya telah menyampaikan alasannya dengan nada atau pilihan kata yang kurang tepat. Sudah lama ia kenal Mila sebagai gadis yang sensitif. Tragedi nyaris mengubah karakter seorang anak di masa pertumbuhan.
“Aku tidak usah ikut saja acaranya. Lagipula tidak begitu penting. Terima kasih, om Adam. Selamat sore.”
Setelah panggilan itu, Adam sudah tak bersemangat lagi melanjutkan bacaannya. Ia bangkit dari kursi malasnya dan langsung bergegas meninggalkan kontrakan.
***
Pukul 19.00
Adam menghindari gerimis dengan berjalan di bawah kanopi deretan toko. Sepatunya basah tapi hanya karena menginjak beberapa genangan air setelah menghindari lalu lintas yang padat di jalan Affandi. Jaketnya sengaja tidak dikancing agar dua tangannya bisa diselipkan ke dalam saku di sisi kanan dan kiri. Pikiran mengikuti gerak langkah yang lambatnya, masih coba menarik lagi bayang-bayang suasana astana tempat Bendoro bupati Rembang menginap, sisa-sisa deskripsi klasik dari buku yang dibacanya tadi sore. Ia baru saja menyelesaikan kunjungan singkatnya ke mantan istri, tapi pikirannya tidak setenang yang ia harapkan.
Setelah berjalan kaki selama sepuluh menit dan tiba di gang yang paling dikenalnya, ia berhenti di tengah jalan. Menatap ke arah pintu rumah kontrakannya dengan seksama. Sesosok bayangan berdiri di sana, dengan rambut hitam bengkilap dan sikap tubuh yang tegak menggulung lengan. Ia lalu mendekat dan menyapa tamu mendadaknya itu.
“Mila?”
Yang disapa itu tak menjawab, hanya coba menghangatkan badannya dengan usapan-usapan telapak tangan sendiri di lengan. Adam lalu membuka jaket, memberikannya kepada gadis yang kini nyaris setinggi pundaknya itu, kemudian membukakan pintu. Ia tak langsung ikut ke dalam tapi menuju gerbang kecil yang menghubungkan halaman sempitnya dengan rumah Bu Yati di sebelah barat, induk semangnya. Semenit kemudian ia kembali dan lalu mempersilakan tamunya itu duduk. Dua gelas coklat panas lalu disediakan di atas meja bundar berkaki pendek dan televisi tetap diam dalam pendar-pendar kaburnya.
Yang disebut Mila itu diam saja. Seperti berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Adam menyilakannya untuk minum, dan setelah beberapa menit barulah anak itu nampak lebih hangat dan melepaskan pelukan lengannya di dada. Baju kaos hijau terang berlapis kardigan warna coklat kemerahannya itu lembab di bagian luar, tapi ia baik-baik saja. Hanya ujung kaki celana denimnya yang basah karena percikan air dari jalan. Rambut hitamnya basah dan ikut terayun-ayun sebahu. Badannya yang relatif langsing dengan jarak pundak yang sempit, nampak seimbang dengan tungkainya yang lurus dan mulai membentuk.
“Kau tak SMS kalau mau kemari tadi, om pikir …”
Mila mengangguk. “Maaf, om. Aku sebenarnya tadi memang tidak berniat kemari,” balasnya perlahan. “… juga sebenarnya tadi pikir tak perlu ikut acara temu wali itu. Tapi, aku ingat belakangan aku belum pernah sama sekali menghadiri acara yang diadakan kampus. Semua teman-teman berkumpul dan aku selalu mencari alasan ketidakhadiran. Karena itu …,”
Adam mengangguk paham. Walaupun ia tak langsung membalas dengan perkataan. Hanya membiarkan Mila melanjutkan kalimatnya.
“Maaf, om. Aku jadi merepotkan.”
Adam mengangguk pertanda tak mengapa. Ia sendiri berusaha menghangatkan tubuhnya dengan minuman kopi panas itu.
“Sebetulnya aku sudah minta om Darwis, tante Inge, sama Wildan untuk menemaniku malam ini ke acara di Kotaged itu, tapi semuanya berhalangan. Om Adamlah satu-satunya yang tadi kupikir mungkin bisa, tapi ternyata ada kegiatan juga. Jadi … daripada aku bingung di rumah, aku mau ke perpus kampus saja, tapi ternyata tutup juga, lagipula banyak cowok yang kurang ajar di jalan.”
Adam tersenyum. “Ya, om mengerti. Tidak apa, Mila. Om juga minta maaf, tadi sudah salah kata dan mengecewakan Mila. Tapi, ini juga om juga baru pulang kok dari rumah tante Alina. Dan kalau Mila mau, kita bisa ke Kotagede sama-sama. Nanti om temani sebagai wali.”
Mila mengangkat wajahnya. Sumringah seketika. Kedinginan itu seperti hilang begitu saja, dan ia melompat dari kursinya. Anak itu nyaris melompat dan memeluk, tapi kemudian kikuk dan malahan menjatuhkan badannya ke lantai dan memegang kaki omnya itu. Adam dibuat kikuk setengah mati dibuatnya. Anak ini masih SMP, belia dan mulai menikmati fase pubertasnya. Dan ia bisa membayangkan hal-hal semacam apa yang akan dihadapinya dalam fase ini.
Setengah jam bersiap, dan dengan beberapa panggilan telepon, Adam dan Mila sudah berdiri di luar pintu yang tertutup itu. Lampu kontrakannya sengaja dinyalakan agar terkesan tidak terlalu sepi, lalu mereka lalu melangkah ke mobil starlet merah tua yang sudah terparkir di sebelah gang.
Baru saja Adam ingin masuk ke kursi sopir, tiba-tiba ia mendengar panggilan yang nyaris bersamaan dengan pintu kontrakannya yang kembali terbuka.
“Oi!” Muncul dari balik pintu itu adalah Eno, rekan mudanya yang berkacamata bingkai tebal, mengacung-ngacungkan senter kecil dan juga buku catatan yang Adam kenali betul.
“Terima kasih, saudaraku,” jawab Adam saat menyambut barang yang ketinggalan itu. “Maaf sudah membuatmu jadi satpam rumah lagi malam ini,” katanya basa-basi. Eno lantas menghalau udara dengan telapak tangannya sembari berkata, “Ah, tidak apa. Maya juga mau tidur gasik malam ini. Dan besok aku tidak harus masuk pagi. Hati-hatilah, STNK mobil ada di laci dasbor.”
“Terima kasih.” Akhirnya, tinggallah Eno di kontrakan itu. Penjaga semalam seperti beberapa kali malam sebelumnya. Adam langsung masuk ke mobil, menyelipkan buku dan senter ke saku jaketnya, lalu tersenyum ke arah Mila. Mereka melambaikan tangan dari dalam mobil itu, sementara Eno membalasnya dari balik kaca nako jendela kecil.
***
Jam delapan kurang lima menit, Adam dan Mila tiba di lahan parkir sebuah bangunan satu lantai dengan tujuh pintu bergaya abad kesembilan belas. Lalu lintas Kotagede padat bahkan di jalan sempit itu. Ujung belakang mobil kecil yang membawa mereka harus menonjol sedikit ke bahu jalan dan membuat beberapa pengendara harus membelokkan setir beberapa inci. Sementara di selatan mobil itu sudah berjejer puluhan sepeda motor yang nampaknya telah lama terparkir. Satu-dua juga baru tiba dan susah payah menemukan celah berhenti dengan aman.
Adam dan Mila langsung masuk melalui salah satu pintu terbuka yang dijaga dua perempuan muda berkaus seragam tanda salah satu sekolah menengah ternama di Yogyakarta. Acara malam itu lebih banyak bersifat formil, membahas kurikulum dan beberapa bayaran sangkutan dengan komite sekolah, rencana bakti budaya ke Ubud, dan juga penyerahan beberapa penghargaan untuk siswa berprestasi. Seorang muda berdagu kotak dan berambut tegak tersenyum lebar saat orang-orang bertepuk tangan.
Adam duduk di samping Mila, bersama beberapa siswa di barisan kursi belakang. Mereka bisa mendengar bunyi deru lalu lintas yang masuk menembus pintu. Mata Mila berbinar melihat yang di panggung itu, apalagi saat pemuda itu balas tersenyum dan mengangguk tanpa kata. Hati Mila berdesir, seperti ada semangat yang tiba-tiba masuk. Tapi ia sungguh tak berani menunjukkan tanda lebih jauh. Mozé, pemuda di panggung itu, adalah idola. Tapi tak ada orang yang lebih mengidolakan Mozé selain dirinya. Mila memilih diam, sampai waktu yang tepat untuk bicara tentang perasaannya.
Acara selesai sekitar pukul 22.00, dan dilanjutkan acara santai berupa ngobrol ringan beberapa remaja. Satu-dua orang tua juga baru saja beranjak pulang sampai akhirnya tinggal ada lima siswa-siswi dan juga Adam di ruang acara itu. Beberapa petugas listrik mulai merapikan perangkat sementara tiga perempuan paruh baya sedang sibuk memberihkan sisa-sisa acara makan. Tepat jam sebelas, rumah itu sudah benar-benar hening.
Mila melongok ke dalam rumah, tapi tak ada siapapun yang keluar dari dalam sana.
Sementara Adam sudah gelisah dan terus-menerus melihat jam tangannya, berdiri dan sesekali jalan mondar-mandir di pintu. Saat ia kembali masuk untuk memanggil keponakannya, ia menyingkir tiba-tiba dan duduk di kursi dekat dinding. Hanya melihat dari jauh, tapi ia tahu persis apa yang terjadi di dalam itu.
Mila dihampiri seorang pemuda. Adam merasa pernah melihat pemuda berdagu kotak itu entah di mana sebelumnya. Ia tak begitu menyimak pidato dan tetek bengek penyerahan hadiah. Keriuhan sekolah sudah jauh di masa lalunya. Setelah ia perhatikan lagi, sekilas ada kecocokan rasa antara pemuda itu dan keponakannya, tapi ada yang berbeda dari wajah pemuda itu. Senyumnya tak seramah sebelumnya, ketika tadi menghampiri Mila.
Mozé melipat bibir. “Maafkan aku, Mila. Tapi lebih baik kita berteman saja. Kau lihat sendiri, aku …”
Mila mengangguk tapi menunduk. Senyuman tersisa di sudut bibirnya tapi matanya berkaca-kaca. Mozé terdiam tapi hatinya kuat berlalu. Menghilang kembali ke dalam rumah, meninggalkan gadis itu di ruang tamu sendirian. Hampir lima menit berlalu. Mila yang hanya bisa memandangi ujung kakinya sejenak, lalu terkejut karena dua temannya lalu menghampiri. Mereka adalah Titis dan Desi, tak begitu dekat tapi kenal. Mereka nampaknya sempat mengintip juga apa yang terjadi barusan, sebelum akhirnya menenangkan Mila di kursi. Lalu lewat lagi sepasang muda-mudi yang nampak sangat mesra berangkul pundak. Mereka ikut rembuk tapi kata-katanya terdengar tak begitu menyenangkan. “Aduh Mila kenapa nangis? Ditolak oleh Mozé lagi ya? Sudah berapa kali sekarang? Tujuh? Sepuluh?” Kemudian tertawa. Titis dan Desi coba menghalau, tapi saat pasangan pacar itu berlalu ke arah pintu, salah satunya, yang perempuan, kembali berteriak seperi orang mabuk. “Cari cowok itu yang gampang-gampang saja. Mozé tidak mau pacaran, kau malah paksa.”
Mila terisak lagi. Dan dua teman perempuannya masih coba menghibur. Adam tak berani mendekat dan malah tertarik dengan gerak-gerik pasangan muda yang baru saja lewat terhuyung-huyung di depannya. Ia mencium bau alkohol, dan pikirannya terusik. Ia membiarkan sejenak dia teman Mila menghibur keponakannya itu. Urusan remaja baiknya diselesaikan oleh remaja itu sendiri. Kecuali sesuatu yang di luar jangkauan mereka terjadi.
Adam menajamkan pandangannya menembus remang-remang pinggir jalan kepada remaja laki-laki yang nampak diam-diam meraba pacarnya yang pasrah saja. Aneh, pikirnya. Karena itu adalah lahan parkir yang tidak terlalu sempit, dan siapapun yang memerhatikan akan langsung menyadari kenakalan yang dilakukan pasangan remaja itu. Ia belum habis pikir dan mengamati, ketika tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah. Suara itu begitu jelas hingga membuat orang-orang di jalan sempat menengok ke arah rumah.
Adam berjalan ke dalam, menemukan Mila dan dua temannya dengan wajah panik terkejut, lalu meminta mereka tetap di ruang tamu itu. Ia kemudian bergegas ke dalam melewati koridor sempit menuju dapur, lalu menemui seorang perempuan paruh baya menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Tolong, Pak. Tolong.”
“Ada apa?” tanya Adam. Lalu pekerja rumah itu menunjuk ke arah kamar mandi yang berada di sudut kanan belakang ruangan gelap itu. Lampu kuning enampuluh wat adalah satu-satunya penerangan di ruang kamar mandi berukuran setengah kamar kos itu. Dan Adam langsung mengeluarkan ponsel begitu menemukan apa yang dilihatnya kini.
Pemuda itu tergeletak di lantai. Darah mengucur dari perutnya, membasahi lantai hingga nyaris melewati ambang pintu. Sebuah komputer lipat terlipat di lantai seperti terjatuh begitu saja. Dan sebuah pisau tergenggem di tangan korban. Adam tahu siapa pemuda itu, dan ia langsung meminta semua pekerja itu agar berkumpul di sebuah ruangan dekat taman kecil di tengah bangunan. “Tunggu sampai polisi tiba, terima kasih.”
Adam baru saja ingin berbalik badan menuju ruang tamu ketika mendengar jeritan lagi berulang-ulang. Ia lalu langsung menarik tangan Mila menjauh dari kamar mandi. Begitu pula dua temannya. Mereka menjerit sejadi-jadinya. Mila menangis keras dan nyaris menjerit, sementara dua temannya itu hanya menggeleng takut. Ketiga remaja itu lalu dibawa ke ruang tamu dan dititipkan pada laki-laki paruh baya yang bertugas jaga parkir.
“Jangan ada yang kemana-mana dulu. Termasuk kalian berdua. Duduk di sini.” Adam sibuk seketika. Mengumpulkan semua remaja itu di ruang tamu, termasuk pasangan yang tadi saling meraba di pinggir jalan.
“Mila. Mila! Lihat om. Mila!”
Adam memegang erat lengan keponakannya itu dengan dua tangan. Remaja itu mengalami guncangan psikologis sesaat, kembali tak bisa bicara.