Mengapa masih sering nampang iklan televisi yang membalut persepsi perempuan bahwa cantik itu kulit putih dan tubuh langsing? Karena stereotip dalam iklan kita masih berlanjut. Penyeragaman semu atas perspektif bahwa cantik itu putih dengan rambut lurus adalah satu dari sekian banyak penyimpangan komunikasi massal yang nyaris diterima sebagai kebenaran semu.
Di Indonesia memang penindakan terhadap iklan-iklan stereotip baru sebatas standar-standar moral yang diadopsi masyarakat kebanyakan. Antipornografi atau adegan-adegan kekerasan, mispersepsi berlebihan, atau berbau tendensius secara politik. Iklan-iklan yang jelas-jelas melakukan tindakan penyeragaman opini semu atas perbedaan sosial masih belum ditindak sebagaimana mestinya. Pond’s masih teratas dengan slogan-slogan “cantik itu kulit cerah merona”, kemudian diikuti Citra dengan “Kulit Putih Sekilau Mutiara”, dan beberapa iklan kecantikan lain yang terang-terangan mengklaim dirinya sebagai krim pemutih. Belum lagi pandangan cantik dari segi lurus dan hitamnya rambut.
Apakah produk-produk itu salah? Tidak secara bisnis. Tapi iya salah secara komunikasi massal. Secara bisnis jelas menguntungkan, tapi secara sosiologis slogan-slogan itu bermasalah. Apakah produk-produk pemutih itu juga menyasar calon konsumen, katakanlah, orang-orang Indonesia Timur yang kulitnya secara alami berwarna gelap?
Untuk itulah kemudian M. Mufiz, peneliti komunikasi massa UMB menyusun tulisannya soal ini dalam “Stereoitip dalam Praktik Komunikasi”. Sebuah tinjauan yang mengemukakan pendapat empiris bahwa iklan adalah instrumen utama yang menegaskan stereotip cantik ideal itu utamanya akan dilihat dari daya tarik seksual. Sebuah pandangan yang lantas dianggap lumrah karena masyarakat mengonsumsinya secara simultan saban hari. “Stereotip cantik adalah putih-langsing ini pun diterima oleh alam pikiran individu secara alami tanpa paksaan,” tulisnya.
Realitas televisi sejatinya berbeda dengan realitas empiris. Namun media satu ini memiliki kemampuan lebih untuk menyisipkan perannya ke dalam realitas empiris. “Maka stereotip kecantikan pun menjadi kecantikan simulacrum, kecantikan yang diidentifikasikan sebagai cantik yang sebenarnya, padahal sebenarnya hanyalah kecantikan hasil produksi, yang menjadikan model sebagai tolok ukur kecantikan ideal,” lanjut paper itu. Karena jenisnya adalah media komunikasi massal, televisi jadi dilematis karena haluan kepentingan bisnis.
Chris Joseph dari Demand Media mengategorikan stereotip ke dalam beberapa jenis.
Pertama, secara gender. Laki-laki sering kali digambarkan kuat dan agresif, sedangkan perempuan diidentikkan dengan hal-hal yang feminin dan di balik layar. Sama halnya dengan contoh mendikotomikan warna merah muda dengan biru atau hitam.
Kedua, secara “jantan atau tidak”. Laki-laki kemudian oleh stereotip digambarkan harus maco, berotot menonjol, peminum bir merek tertentu, dan merokok. Selainnya digolongkan laki-laki yang “kurang seimbang”.
Ketiga, perempuan lokal. Dalam perspektif ini stereotip memosisikan status sosial perempuan di dalam rumah. Pelayan suami ataupun pengurus anak. Iklan-iklan yang menampilkan adegan seperti memasak atau mencuci disebut-sebut termasuk dalam jenis stereotip ini, meski dalam perkembangannya muncul pemekaran baru yang membedakan perempuan karir dengan kelompok lain yang tidak.
Keempat, stereotip rasial. Jenis ini adalah yang paling banyak dihubung-hubungkan dengan kecantikan, warna kulit, kebiasaan dan adat lokal, aksen, budaya lokal suatu wilayah, dan hal-hal berbau ras lainnya. Iklan yang menampilkan adegan pedagang Cina pelit terhadap pembeli pribumi sudah melenceng dari esensi ras sejati yang berarti sebaliknya.
Tak berhenti di situ, stereotip juga ternyata diadopsi oleh iklan-iklan politik. Termin “wong cilik” kemudian diartikan sebagai masyarakat kalangan menengah ke bawah yang berusaha diidentikkan dengan beragam akses sosial seperti pertanian lokal dan UMKM, bukan pekerja kantoran di ibukota apalagi pejabat. Terbentuklah opini sosial-politik yang mengelompokkan para pemilih partai tertentu ke golongan strata sosial yang berbeda dengan para pemilih partai-partai yang mengusung isu lainnya, katakanlah, “umat partai X”.
Apakah stereotip dalam iklan yang dikonsumsi publik kita perlu ditegur atas dasar kelayakan tayang dan ekses sosial? Entahlah. Komisi Penyiaran Indonesia saat ini sedang gencar melakukan pengawasan di dua bidang saja: pornografi dan kekerasan. Padahal di negara-negara maju isu ini sudah jadi perhatian serius sejak J.M. Bardwick dan Sol Schumann pada tahun 1976 mengemukakan tesis tentang pandangan terhadap perempuan dalam media.
Meski terus berlanjut, ihwal stereotip dalam tayangan televisi kekinian nampaknya belumlah dianggap sebagai fenomena yang berbahaya di Tanah Air. Memang, karena sekejap pengaruhnya akan selalu dikembalikan ke sudut pandang preferensi seseorang dalam membeli produk. Belum pada aspek faktual yang jelas-jelas menonjolkan pandangan sosial tertentu dan mengesampingkan yang lainnya.
**
Baca juga: Dahsyatnya Foto Profil