"Sempurna," kata penata rias.
Tapi ia menggeleng. "Rasanya ada yang kurang."
Penata rias itu, berkecak pinggang sambil mencibirkan bibirnya. Kemayu yang diterima secara umum. "Oh, Arya. Sudah kubilang kau butuh sedikit senyuman. Orang-orang memujamu, mereka menunggumu di luar sana. Berilah sedikit senyuman."
Sambil pipi ditarik ke atas dan ke bawah. "Sudahlah. Jangan dipaksakan. Aku lupa caranya tersenyum."
Penata rias cemberut lagi. Bibirnya terlipat lagi.
***
"Cepaaat! Sudah jam lima!"
"Iya. Sebentar. Maaf." Gadis itu terangguk-angguk sambil berlari menyeret sepatunya. Riasan gelang flanel bahkan belum rapat terikat di pergelangan tangannya. Poninya disisir dengan jari juga pada akhirnya. Berlari. Naik bus.
Lima belas menit kemudian mereka tenggelam dalam keramaian yang menyesakkan. Lampu-lampu sorot berpijar dan laser berpendar. Bunyi dari pengeras suara mendentum berkali-kali mengejutkan dada.
"Nisa, itu!"
Gadis itu mendongak mencoba mendapatkan pandangan sempit di antara pundak orang-orang. Mukanya tersenyum meski dahinya mengernyit karena bau badan yang hangat di sekeliling. Saat lampu putih tersorot ke tengah panggung, barulah ia sadar benar-benar berada di tempat yang diinginkannya.
"Arya ..."
"Apa katamu?" tanya Lusi yang menemani.
"Ah, enggak."
Tersenyum.
Saat melodi pertama melantun, orang-orang bersorak. Sebagian berjingkrak. Saat memasuki bagian interlude sampai bridge, bahkan beberapa gadis sudah serak dan terbatuk-batuk. Seorang pingsan dan digotong. Tapi gadis satu itu sama sekali tak menghiraukannya. Diam begitu saja. Merapatkan jari-jari tangan sambil tersenyum. Hanya Arya yang ada di lorong pandangannya. Lengan yang bergerak-gerak itu. Kepala yang naik turun dan keringat yang terlempar dari ujung-ujung rambut. Semua gambaran tentang penabuh drum itu dilukiskan di memorinya.
"Nis. Nisa!"
"Eh? Iya?"
"Kamu memperhatikan Arya ya?"
Tak ada jawaban. Lusi mengangguk paham.
"Bukannya sudah pernah kau nyatakan perasaanmu ke dia?"
Mengangguk.
"Terus?"
Nisa menatap mata sahabatnya itu dengan pandangan penuh penerimaan. Matanya berkaca namun senyumnya masih di sana. Lusi paham apa yang dirasakannya. Lengannya lalu melilit ke pundak, memeluk tanda pemberian semangat.
Saat kau pergi, kunantikan satu detik lagi untuk kau berbalik.
Jangan pikir aku tak menunggu.
"Liriknya itu ..."
"Ini lagu kesukaanku."
"Oh iya? Apa judulnya?"
"Saat kembali."
"Mirip judul puisimu."
"Cuma mirip. Liriknya jauh beda."
Penonton kembali bersorak. Si penabuh drum bangkit dari kursi sembari mengangkat tinggi dua stik pemukulnya.
"Nisa, Lihat itu!"
Sepasang stik itu bersinar seperti pasangan melodi yang tak terpisahkan. Saat penyanyi utama mengucapkan terima kasih dan penonton kembali dibuat gila, Nisa justru mengangguk paham ke arah stik drum itu.
***
Detak jantung yang tak biasa. Di depan semua sambutan riuh yang menghargai ini, Arya hanya diam dan terus mengangkat kayu drum-nya. Mengangguk sambil mengedarkan pandangan. Bulir-bulir keringat jatuh dari pelipis turun ke kerah bajunya. Lulutnya gemetar ketika ia menemukan wajah itu di tengah kerumunan.
***
Sebuah surat.
Kertasnya biasa saja. Biru muda dengan gambar kucing di sudut atas.
Arya, aku terlalu malu untuk menyatakan ini.
Tapi aku suka padamu.
Eh, lupakan saja.