Prolog
TERDENGAR sesuatu yang disebut keseimbangan. Kadang terlihat ketika hal-hal yang tidak diinginkan justru datang paling sering. Kadang ketika menyukuri hal paling indah yang tiba-tiba menghampiri. Rasanya seperti hadiah dari langit. Untuk kita saja dan bukan orang atau makhluk lainnya. Pemberian langsung tanpa tanda terima. Saat itulah tercipta kata ‘terima kasih’.
Sama seperti semut-semut yang berterima kasih atas rumput dan tanah. Atau bahkan yang lebih abstrak, ketika kain-kain di tali jemuran berterima kasih kepada angin dan sinar matahari siang. Tatanan hidup yang begitu teratur seperti apa adanya. Meski dimulai dengar pergulatan mahadahsyat yang sampai saat ini jadi perdebatan para cendekia, bumi tak pernah mendahului para penghuninya. Manusialah, yang paling sering mencoba mendahului apapun, melebihi apapun.
Sama seperti pada pagi cerah itu.
Pukul sembilan. Sekolah Menengah Atas PADMAYASA baru saja hening setelah bel berhenti berdentang. Daun-daun pohon Angsana di halamannya saling berbisik, bercengkerama sambil mengintip matahari. Jauh di dalam jendela kaca bangunan yang berdiri paling timur itu, Denis, anak belia yang belum mengetahui akan jadi orang seperti apa dirinya kelak, kembali dipaksa berpikir tentang hal-hal yang tidak menyenangkan. Setidaknya pikirannya berbicara seperti itu.
“Harus kuapakan kau, Nak,” kata Pak Guru sembari menggeleng. Kedua lengannya dilipat saling menindih di bidang kaca meja kerja itu. Bajunya bersih namun nasinya terlalu pendek. Lemak yang mengelilingi nyaris setengah bobot tubuhnya membuat lehernya seperti tenggelam. Suaranya berat meski menyimpan kelembutan. Matanya lebih sering berkedip dari orang normal, sudah lama seperti itu. Pandangannya dalam seiring kata-katanya yang terdengar sumbang di telinga. Denis tertunduk dan sesekali melirik takut.
“Geografi itu mudah, Denis. Bagaimana bisa nilaimu serendah ini?”
Denis menyela, “Nilai saya enam puluh lima, Pak?.”
“Tapi nilai teman-temanmu sembilan puluh!” balas Pak Guru sengit. Denis nyaris terperanjat andai saja tak ada pulpen merah itu di tangannya. Pulpen kesayangannya itu, ia sangka teman paling setia. Alangkah lucunya ia merasa terkadang ketika melihat angka-angka di rapornya, kebanyakan ditulis dengan warna tinta yang sama.
“Apa kau tidak malu, Nak? Kami semua sayang padamu. Kami percaya, Denis, bahwa geografi bisa jadi penuntun hidupmu kelak.”
Penuntun hidup? Ah, kata itu lagi, pikir Denis. Entah dari siapa saja kata itu pernah ia dengar, lupa persisnya. Yang jelas, ia tak begitu suka kata itu. Belum waktunya.
Bunyi jarum jam berdetak terdengar semakin nyaring. Sementara Pak Guru sudah mengepak-ngepakkan kerah bajunya karena kipas angin tak bekerja.
“Ada-ada saja. Cuma karena gempa bumi listrik sampai dibiarkan mati-menyala begini.” Pak Guru bangkit dari kursinya dan menenggak segelas penuh air putih. Ia duduk kembali untuk menatap dalam-dalam mata siswanya itu.
“Kau bisa jadi seorang ilmuwan kalau mau, Denis. Atau penulis, atau apapun. Kau sebut saja. Tapi jangan terus-menerus jadi anak malas begini. Kami sebagai gurumu di sini yang justru malu kepada orang tuamu, Nak. Kau tahu rasanya gagal mendidik orang? Oke, tidak usah jawab. Bapak yakin kau tak tahu jawabannya.”
Guru itu menghela napas sekembalinya dari menatap jarum jam. Buku-buku geografi yang berbaris menumpuk rak di depannya seperti mengiyakan setiap kalimat guru itu. Mendengar dan mencerna. Seperti titah raja kepada prajuritnya.
“Aku sempat berpikir kelak kau akan jadi penulis buku terkenal.” Guru itu akhirnya bergumam pada dirinya sendiri. Arah pembicaraan berubah dari konsuling, menjadi curahan perasaan. Lucunya, sang guru yang lebih banyak menunjukkan dirinya.
“Terima kasih, Pak.”
Pak Guru yang kini terheran dengan kalimat yang tiba-tiba ia dengar.
“Terima kasih, kenapa kau ngomong begitu?”
Denis tersenyum. Untuk pertama kalinya, bagi guru itu, senyuman senyuman itu tampak lebih manis. Entah karena anak ini sudah sadar atau memang lelah diceramahi selama setengah jam terakhir, setidaknya kalimat itu jadi angin segar peredam amarah.
“Terima kasih, Pak Husein. Untuk air putihnya.”
Pak Guru itu sempat lupa. Amarah sesaat memanggil penyakit pikunnya. Ia baru saja meletakkan gelasnya yang berisi air putih terlalu dekat dengan tangan Denis. Sibuk berceramah menghadap foto presiden, ia tak sadari anak itu kehausan. Air lantas lesap, tak berbekas. Gelas itu nampak lebih bening daripada kepala sang guru yang mengkilap di bagian depannya.
Menggeleng. “Tidak ada harapan. Tidak ada harapan.”
Sang guru akhirnya luluh. Suasana menjadi lebih sejuk, bukan karena dua kerai jendela akhirnya dibuka setelah sekian lama. Denis menenggak dua gelas air disaksikan Pak Guru Husein yang sudah bisa tersenyum. Sembari mengoreksi beberapa hasil kerjaan siswanya, Pak Guru itu menyeletuk.
“Apa kabar ayahmu?”
Denis menatap dalam. Perasaannya bertanya sekilas. Sementara di ujung lain meja, menyadari ada sesuatu, guru itu balas menatap.
“Pak, Ayah saya sudah meninggal.”
Pikun.
Bel berbunyi nyaring. Gelombang listrik kembali diingat sebagai anugerah terbesar dalam peradaban manusia. Siswa-siswa berhamburan keluar. Ada yang berlari mengejar guru untuk mengumpulkan tugas telatnya; ada yang berjalan malu-malu di belakang salah seorang temannya untuk menyatakan perasaan; ada juga yang tinggal di dalam kelas dan dengan lihai membuka internet tanpa ketahuan.
Denis?
Anak itu selalu percaya pada ritual rutinnya. Berjalan di koridor sembari menunduk. Dua tangannya terselip rapat di saku celana. “Tentang geografi, gempa dan makin paraunya suara Pak Husein. Hidup terkadang lebih indah di luar sana,” pikirnya berkali-kali. Luar sana, berarti, luar sekolah itu. Kalau perlu, ia ingin ke suatu tempat yang tak pernah dikunjungi orang lain. Tempat di mana tak ada geografi, tak ada bunyi bel, atau tak ada suara Pak Husein sedang menumpahkan curahan hati.
Denis melihat ujung sepatunya bergerak bergantian menutupi lantai. Saat dirinya hampir tiba di gerbang, panggilan itu datang lengkap dengan tepukan telapak tangan di pundaknya.
“Azora!”
Suara itu tak asing lagi. Intonasinya tidak menyenangkan, seperti biasa. Tekanan pada kata yang diucapkannya sama sekali tak mencerminkan pertemanan. Apalagi tekanan telapak tangan di pundak. Lagi-lagi orang ini.
“Zen ….”
“Wah kau ini. Apa kabar Pak Husein? Orang tua itu memang cocok dengan kau. Kalian seperti ayah dan anak!” Zen tertawa lepas. Di belakangnya, dua pengawalnya justru memaksa diri mereka ikut tertawa, meski sejatinya tak sama sekali mengetahui apa yang dibicarakan orang ini. Kesetiaan buta, begitu orang-orang dewasa menyebutnya.
“Jangan singgung apapun soal ayah. Bukannya kau sudah mendapatkan apa yang kau mau?” kata Denis hati-hati.
Mendengar balasan itu Zen mengangguk sambil melengkungkan bibirnya ke bawah. Kedua pengawalnya ikut mengangguk dan melengkungkan bibir ke bawah. Dari jauh, kepala mereka mirip boneka yang bergoyang panel kabin depan mobil. Bedanya, kepala mereka lebih mirip bola bulu daripada mahkota. Lebih mirip helm hitam daripada rambut mahapatih.
“Boleh juga. Terima kasih kalau begitu, Azora.”
“Jangan panggil Azora! Namaku Denis!”
Zen terdiam sejenak, tergelak sejenak. Kedua pengawalnya saling pandang namun mereka lagi-lagi tertawa. Puas mengeluarkan celaan sampai terlihat bulir air mata, mereka pun berlalu.
“Baiklah. Baiklah. Denis Azora. Sang anak hilang!”
Baru saja Denis ingin menyergap anak-anak itu, sudah terdengar lagi teriakan dari bagian lain koridor sekolah. Mengkilap dalam kegelapan lorong, nampak kepala Pak Husein paling tinggi. Mendekat dan mendekat. Denis tahu ini tidak baik. Ia menghilang ke luar.
Tak banyak yang bisa dilakukan di kanting sekolah selama rehat. Gerbang utama di kunci membuat siswa tak mungkin menginjakkan kaki di bahu jalan apalagi menggapai warung bakso di seberang. Dua satpam berkumis dan tak banyak bicara juga tampaknya tak begitu menguntungkan bahkan untuk disogok dengan dua batang rokok filter. Denis hanya terpekur. Menopang dagunya dengan telapak tangan. Buku ensiklopedia Kerajaan Indonesia tertutup di atas meja beton itu. Pohon Ketapang setia meneduhi. Bikin dia mengantuk dan nyaris tertidur.
“Tidak sarapan lagi ya tadi, Denis?”
Sapaan itu membangunkannya. Denis mengusap bibir sekadar memastikan tidak ada air liur yang meleleh. Ia merasa malu sejadi-jadinya, meski Irda bukanlah tipe gadis yang suka mengejek. Setahunya gadis satu ini tidak begitu. Yang ia tahu hanya satu, bahwa ia dan gadis ini berteman baik saja. Tidak lebih dan ia tak perlu menyembunyikan apapun.
“Eh, Irda.”
Gadis itu tersenyum. Denis cuek saja. Diseruputnya es teh manis yang mulai tak berasa. Ampas di dasar gelas sempat membuatnya terbatuk beberapa kali. Irda terkekeh.
“Kulihat kau makin suka baca ensiklopedi akhir-akhir ini,” kata Irda membuka perbincangan. “Pasti Pak Husein habis memberimu wejangan lagi ya.”
Lagi-lagi guru itu, Denis pikir. Ia tersenyum saja dan tak mau menunjukkan perasaan gelinya setiap kali mendengar nama wali kelasnya itu. Bukan benci sebetulnya, hanya saja telinganya terasa ngilu tiba-tiba jika mengingat wajah, atau mendengar sesuatu yang menyinggung guru yang satu itu.
“Apa pentingnya ….”
“Lo, buktinya kau makin rajin membaca. Ensiklopedia lagi. Tebal lo itu.”
“Iya tahu. Pak Husein yang memberikannya. Katanya biar aku ada minat belajar. Siapa tahu kalau tahu masa lalu, aku bisa sedikit berpikir tentang masa depan.
Irda tersenyum.
“Memang harus begitu.”
“Apa.”
“Berpikir masa depan.”
Denis menggeleng sambil menghembuskan tawa kecilnya, mengejek apa yang barusan ia dengar.
“Kita masih SMA, belum saatnya. Lagipula aku menikmati hidupku begini. Tak perlu susah payah pelajari masa lalu atau kemungkinan-kemungkinan di masa depan,” balasnya mantap.
“Aku tetap akan jadi seperti ini. Lebih asyik, tanpa beban, tanpa saingan. Aku ya aku. Tidak kurang tidak lebih.”
Mendengar alasan itu, Irda berpikir sejenak, lalu tersenyum lagi. Sambil menyergap bibir sedotan yang membawa jus jambu ke dalam rongga mulutnya, ia mengangguk.
“Apa kau tak merasa tertantang untuk jadi orang lain?”
“Jadi orang lain? Maksudmu?”
“Ya …. Jadi orang yang lebih rajin, misalnya? Yang mendapatkan pujian setiap hari?”
Denis lagi-lagi menggeleng. “Pujian …,” lirihnya. “Tak pernah kujumpai hal semacam itu sejak lama. Lupa rasanya.”
Irda mengerti tentang jawaban itu. Tapi jauh di dalam benaknya, ia mengerti betul bahwa temannya itu bisa menjadi seseorang yang lebih baik, kelak. Entah bagaimana mekanisme alam bekerja untuknya.
“Entahlah, Denis. Tapi menurutku kau tak bisa terus begini. Orang-orang terus berkembang, dan kau akan kalah jika …”
“Jika apa?” Denis bertanya dengan nada yang lebih tajam. Entah jawaban seperti apa yang diharapkannya. Namun melihat ekspresi Irda yang datar dan biasa saja, perasaannya justru semakin bingung. Ketakutan lamanya muncul kembali.
Irda tak menjawab sampai akhirnya mengalihkan pandangannya ke sebuah sudut yang jauh dari meja itu.
“Menurutku kau bisa mengalahkan Zen.”
“Zen?”
Irda menggerakkan kepalanya sebagai isyarat tunjuk ke suatu tempat. Saat Denis menoleh, ia buru-buru mengembalikan posisi kepalanya. Ia tak tahan, atau lebih tepatnya, tidak berani melihat pemandangan itu.
“Oh ayolah, Denis. Tidak mungkin kau menyerahkan orang yang kau suka begitu saja kepada pesaingmu.”
“Sudahlah. Biarkan mereka.”
“Zen mengalahkanmu. Dua kali.”
“Apa pentingnya.”
“Apa pentingnya? Denis, dia mengambil Ningsih darimu!”
Kalimat itu tak berbalas. Anak laki-laki itu tak bisa membalas. Hanya terdiam dan memandangi butir embun mengalir pelan dari bibir gelasnya. Kemudian gantian melihat biji delima berwarna merah yang tergambar persis di tengah mahkota Gadjah Mada yang tergambar di sampul bukunya. Irda menyadari telah mengatakan sesuatu yang tidak semestinya. Ia meminta maaf.
Sore hari, di depan jendela.
Anak itu sudah setengah jam duduk. Ibu tirinya sedang keluar. Ia tak mau mengingat banyak tentang pengasuhnya itu. Tak juga bahkan ia tertarik untuk menuliskannya di lembar kertas kosong yang kini terhempar di atas mejanya, menunggu coretan pertama.
“Aku memintamu satu hal saja, Nak.” Tiba-tiba terngiang lagi kalimat Pak Husein saat ia masih berada di ruang itu tadi siang. “Buatlah tulisan. Tentang apapun yang ingin kau lakukan. Apa saja, yang kau impikan. Semua yang ingin kau lawan dan semua yang ingin kau dapatkan. Tulis semua, rangkailah dengan perasaan, dan biarkan saya membacanya besok. Mungkin dengan begitu saya bisa lebih mengerti perasaanmu.”
Kalimat yang terngiang di telinganya sampai sore ini. Kalimat sama yang membuatnya duduk terpekur di atas meja batu kantin. Kalimat sama pula yang membuatnya terus menunduk sepanjang langkah kakinya di koridor sekolah. Kalimat ini entah punya kekuatan apa. Tapi ia berani memegang pensilnya sore ini.
Laba-laba kecil melintas di bidang luar kaca.
Denis meraba pikirannya sendiri. Ia mencemplungkan imajinasinya jauh lebih dalam, menusuknya jauh lebih tajam, tapi tak kunjung ia menemukan kata pertamanya.
Menjelang magrib saat matahari perlahan meluncur.
Dennis kembali ke sekolah. Melalui dua satpam yang tak banyak bicara, ia berbelok ke timur dan memilih lapangan kecil di bawah pohon Angsana berumur dua puluh tahun. Sejuk di ruang terbuka kecil itu. Ia harus melewati pagar bambu mungil yang membuatnya memasuki taman yang menyejukkan. Di belakang pagar itu ada sebuah bukit berbatu tempat pohon besar itu tegak berdiri. Denis tersenyum sambil melangkah daki. Di lengannya terselip buku gambar yang ia pakai sebagai lembar tulis. Ia membenci garis-garis yang bisa membuat kepalanya pusing. Saat tiba di depan mulut sebuah gua kecil, ia pun duduk merapatkan pantatnya di tanah berumput. Angin berhembus membawa keheningan, tapi entah apa yang membuat Denis terganggu ketenangannya. Ada bunyi gemerisik dari belakang pohon. Rumput seperti bergerak-gerak, pikirnya.
Saat Denis memberanikan diri bangkit kemudian merangkak mengitar badan pohon, ia terkejut luar biasa ketika menyadari apa yang dilihatnya.
Zen mendekatkan bibirnya ke arah pipi Ningsih yang tak bergerak!
“Bajingan kau!” Dengan cepat Denis langsung menyergap Zen, merebahkannya ke tanah, berusaha memukulnya namun tiba-tiba merasakan dentuman keras di tulang iganya. Telapak kaki Zen mendarat persis di tengah dadanya. Ia terpelanting ke belakang dan bukunya terlempar bersama pulpen ke arah yang berlawanan. Zen bangkit membiarkan Ningsih tergeletak begitu saja di kaki pohon.
“Mau apa kau kemari, Azora?”
Menahan sakit, Denis bangkit. “Sudah cukup, Zen!”
Mereka lalu beradu dan berguling di rumput. Tubuh Zen lebih tinggi beberapa senti membuat Denis kewalahan. Kaki-kaki mereka beradu dan meronta-ronta tanpa kena sasaran. Hanya pukulan tinju Denis yang sekali mendarat di pelipis kiri Zen sementara anak itu menerima tamparan keras di hidungnya. Darah mengalir dan terhambur ke udara. Saat pergulatan itu nyaris usai, terdengar teriakan dan bunyi langkah mendekat menaiki bukit. Denis lalu merasakan tubuhnya ditarik beberapa kali sembari telinganya menangkap ucapan minta tolong dan seruan untuk berhenti. Zen kelelahan, ia tak memukul lagi. Ketika kedua pemuda itu berhasil dilerai, barulah tiap-tiapnya menerima tamparan di pipi dengan sangat keras. Menyisakan panas di kulit dan bunyi mengiang di kuping.
“Apa-apaan kalian!”
Irda yang datang memisahkan. Entah apa yang membawanya ke mari.
“Denis!” bentaknya. “Kau ada tugas dari Pak Husein, kenapa masih ada di sini?”
Belum sempat menjawab, Irda sudah menghardik lagi. “Dan kau! Zen, anak kepala sekolah! Mau membuat malu keluarga dan sekola ini ya? Apa tidak cukup kenakalan yang kalian buat?”
Zen pergi menjauh. Membalik badan kemudian melangkah. Suasana jadi panas. Ningsih siuman, tapi Zen malah mengacuhkannya. Denis kembali marah dan meminta Zen untuk meminta maaf kepada pacarnya itu. Kebingungan melihat apa yang terjadi, Ningsih hanya bertanya lalu berlindung di belakang Denis.
Melihat reaksi kekasihnya yang justru memilih punggung yang lain tempat berlindung, Zen berang dan ingin pergi. Saat bersamaan Denis kembali menyergap tangannya.
“Minta maaf!”
Tapi apa yang mau dikata. Zen terlalu kuat untuk ditahan. Alih-alih menjauh, pemuda tinggi itu justru mendorong Denis dengan keras. Ningsih ikut terdorong hingga badannya oleng. Ia menjerit menyadari apa yang ada di belakang mereka. Denis cepat menyergap tangan Zen dan akhirnya mereka semua menghilang dari permukaan tanah.
Jatuh ke lubang di mulut gua.
Irda panik. Ia mencari dan berteriak memanggil-manggil nama kawannya, tapi tak ada balasan. Lubang itu dua kali lebih besar dari lubang sumur normal di rumah-rumah. Hitam tak kelihatan dasarnya. Pinggirannya hanya ditumbuhi rumput liar dan sebagian lubangnya ditutupi ranting dan sarang beragam serangga.
Anak-anak itu menghilang.
Tak ada bunyi udara, tak ada bunyi tetes air. Bahkan tak ada lagi suara burung dan hembusan angin di sekeliling. Kegelapan total. Saat kembali bisa menyadari napas, Denis membuka matanya. Seperti tidur yang panjang sekali, ia merasakan pegal di sekujur tubuhnya.
Ada cahaya di kejauhan. Jingga, kuning, dan biru. Seperti titik-titik kristal yang tersembunyi di balik tirai kain. Tapi tak jelas. Kemudian cahaya-cahaya itu bergoyang, berayun, lalu pergi menjauh. Menghilang. Kini gelap lagi. Hanya ada satu tonggak putih tempat cahaya yang dikiranya matahari menyeruak.
Anak itu mengerang kesakitan. Telapak tangannya lecet, ia merasakan sakit luar biasa di pergelangan kakinya.
“Ningsih ….” Ia bergumam. Tapi tak ada suara.
Saat menyadari situasi yang dihadapinya, Denis bangkit, berjalan perlahan sambil menyeret kakinya. Ningsih terbaring beberapa meter dari situ, namun ia tak menemukan Zen. Mungkin tak ikut terjatuh.
Denis melihat ke arah atas, tapi tak ada lubang cahaya sebagaimana diharapkannya. Ia mencari-cari pohon, tapi tak ditemukannya. Bahkan dindingpun tidak ada. Di dalam kebingungan ia berusaha menyadarkan Ningsih. Nampaknya keadaan gadis itu jauh lebih baik tanpa luka sedikitpun.
“Di mana kita, Denis?” tanya Ningsih.
“Tidak tahu, Ningsih. Tadi kita jatuh, kurasa.”
Ningsih ikut melihat sekeliling, tapi tak ada sumber cahaya dilihatnya. Hanya tampak ada pantulan sinar dari kejauhan yang membuat ruangan tempat mereka berpijak sedikit temaram berwarna merah muda. Saat berusaha berdiri dengan bantuan Denis, Ningsih berseru, “Lihat! Ada seseorang di sana!”
Denis mencari-cari ke arah yang ditunjuk Ningsih, tapi tidak ada apa-apa yang dilihatnya.
Jauh dari tempat anak-anak itu berpijak, di dalam kegelapan, sebuah tudung berdiri tegak. Tudung merah yang diam di balik tembok tak jelas bentuknya. Tangan berkuku terangkat, udara bergumul di sekeliling jari-jari itu, berputar dan membuat badai berwarna jingga yang lalu bercahaya. Saat warna jingga itu berubah jadi hitam, sepasang mata lalu terbuka.
Denis berjalan menuruni anak-anak tangga batu yang melengkung jauh. Mereka sudah berada di tengah ketinggian tangga itu tanpa tahu arah. Tanah yang kering, pikir mereka. Ningsih yang memapah pundak Denis tak bisa banyak bicara, hanya berusaha menangkap berkas-berkas cahaya tempat mereka bisa menemukan jalan keluar. Tiba-tiba terdengar bunyi gemerisik dari arah belakang.
Mereka berbalik, tapi tidak ada apapun di sana. Setelah melangkah beberapa meter lagi dan melihat lubang yang jauh lebih hitam, mereka tiba-tiba berteriak. Ningsih menjerit karena tiba-tiba ia merasakan panas di sekeliling mereka. Seperti api yang menyambar dan membungkus tubuh mereka berdua. Membelai dari telapak kaki sampai ujung kepala. Saat merasakan sakitnya pelukan aneh itu, tubuh mereka jatuh dalam kecepatan tinggi, terus ke bawah, tak menyentuh apa-apa dan terus melaju tanpa mereka tahu sedang melihat apa. Mata hanya bisa tertutup. Denis berteriak.
Saat nyaris menyerah, tiba-tiba mereka mendengar bunyi benda keras beradu. Saling hantam beberapa kali. Terdengar pula seperti badai tiba-tiba berputar dan berbalik arah. Tubuh mereka perlahan mendingin, tiba-tiba kembali panas dalam laju mereka yang makin rendah. Saat akhirnya mereka mendengar kepakan yang menyilaukan pandangan, akhirnya mereka merasa tubuh mereka berhenti. Kini kulit mereka terasa sejuk, meski tidak basah. Bola api itu menjauh.
Dalam silau cahaya berwarna putih kebiruan, Denis tak percaya apa yang dilihatnya. Sesuatu terbang dengan ekor terbakar, menjauh menjadi titik cahaya yang kemudian menghilang. Di depannya kini, sesosok tubuh tinggi dengan pakainnya yang aneh. Seperti gamis namun coraknya yang ramai di sepanjang atasan dan bawahan. Jenggot dan kumis yang hitam namun bersih menggantung dan menutupi hampir ke dada. Saat akhirnya sebuah tongkat diturunkan dan sejenak mereka merasakan getaran hebat yang lalu berhenti jadi gerak lembut, akhirnya mereka menghela napas.
Saat cahaya putih dari tongkat itu menghilang, Denis dan Ningsih saling pandang. Dengan sesuatu yang baru saja yang mereka alami, akhirnya mincul kesadaran yang tiba-tiba. Sulit dipercaya namun ada di depan mata mereka.
“Nyaris saja kalian mati.” Kata sosok berjenggot itu.
Denis tidak paham. Ningsih apatah lagi. Seperti mimpi, tapi benar-benar terjadi.
“Jumhur makhluk yang menjengkelkan. Ekornya selalu saja membuatku gatal dan bersin-bersin.”
Anak-anak itu semakin tidak mengerti. Jumhur, makhluk apa itu?
“Ah, maaf.” Sosok berjengggot itu mendekat, tersenyum kemudian dengan ramah membantu kedua anak itu bangkit. Bersin. Merasa tak paham yang dilihatnya, ia mengetuk-ngetukkan ujung kuku telunjuknya ke batang tongkat. Melihat penampilan Deni dan Ningsih yang menggunakan kemeja dan celana bahan denim, sosok tua itu menggaruk dagunya. Jenggotnya seperti melawan goresan kuku. Denis bisa melihatnya. Tapi topi segitiga yang patah nampak lucu di mata anak-anak itu. Apalagi badan orang tua yang tingginya hampir dua meter, membuat Denis dan Nngsih harus mendongak untuk bisa melihat mata sosok yang menolongnya.
“Jadi kalian bukan dari sini, ya. Penampilan kalian ... sedikit berbeda.”
Denis terheran kemudian memerhatiakan perbedaan yang dimaksud orang tua itu. “Pak Tua, bisa beri tahu sedang ada di mana kami?”
“Di mana? Di mana lagi! Kalian ada di Azora! Bumi ketiga, tepatnya.”
“Bumi ketiga?” Ningsih melihat sekeliling yang ditelan kegelapan. Hanya pijakan yang bisa ia rasakan paling dekat dengan penjelasan yang benar tentang kata “bumi”.
Sosok tua itu kemudian menegakkan badan sembari mengangkat telunjuk. “Ah, maaf. Harusnya saya buka dari tadi.” Lalu dengan gerakan memutar tongkatnya yang tetap dalam posisi tegak, seperti mengaduk adonan di mangkuk besar, sosok tua itu mengucap kalimat aneh yang bahkan Ningsih sebagai siswi terpintar pun tak bisa mengerti.
“Kupareka Passungke Na Ozum. Hikka!”
Lalu dengan sepersekian detik menutup kelopak mata karena cahaya silau kembali berpendar, Denis perlahan membuka mata dan mendapati diri mereka berada di tempat yang sungguh aneh. Ia merasakan kain tebal di kaki mereka, dengan cahaya temaram dari bola-bola yang seperti digantung begitu saja di atas langit-langit.
Ruangan itu cukup kecil namun hangat. Denis bisa melihat ada cahaya berpendar-pendar di bawah balkon tempat mereka berpijak.
“Ini …” Ningsih bergumam ketika kakinya melangkah perlahan.
Mereka berada di atas balkon yang tingginya lebih dari setengah kilometer di atas permukaan tanah. Saat bunyi gemuruh terdengar, terlihatlah benda menyerupai kapal yang melayang mengikuti lengkungan besi rel yang melekat di lambungnya. Di atasnya bersorak ratusan orang yang saling bercakap di antara bumbungan asap. Di bawahnya, terdapat taman berbatu dengan tumbuhan rambat dan sistem pengairan yang aneh. Air tidak mengalir seperti selokan, melainkan terjun di sekeliling dinding kota.
Adalah konstruksi sebuah kota. Di mana cahaya-cahaya melayang seperti burung yang berpindah dari sana ke mari. Turun ke satu rumah kemudian naik lagi, terbang jauh lagi untuk turun di rumah lain. Di jalan-jalan sempit orang-orang tinggi berjalan beriringan. Ada yang berdagang kain, ada pula yang berdagang senjata. Sebagian lain berdagang bola-bola cahaya yang bisa saja lepas dan lari ke sebuah rumah. Saat Denis tak bisa mengatupkan mulutnya, ia mengarahkan matanya ke sudut terjauh kota itu.
Seperti sebuah air terjun, namun pandangan mata bisa menembus airnya. Tak ada buih ataupun gelombang riak. Hanya aliran turun sebesar empat kali lebar gedung sekolah. Bergemuruh dalam keheningan. Ada bukit bertingkat tempat beberapa rumah yang lebih besar bertengger seperti sarang burung yang melekat di pohon. Ningsih mengagumi ribuan bola cahaya yang berpindah-pindah itu, ketika di saat yang sama pandangan Dennis terus-terus mencari beberapa makhluk kerdil mirip burung unta yang menghilang di beberapa sudut kota.
Sang sosok berjenggot yang sedari tadi berdiri di samping mereka, tersenyum. Pikirannya ikut bertanya-tanya, tapi ia mengizinkan situasi tetap seperti ini, ketika kedua tamunya itu menikmati kekaguman mereka. Jenggot itu berubah warna jadi perak bersih.
“Nama saya Gigantis. Si penjaga lubang. Denis dan Ningsih, selamat datang di Bumi Tingkat Ketiga.”
Kedua anak itu merasakan angin yang sejuk sampai ke daun telinga mereka. Perut mereka tiba-tiba terasa kenyang. Semua rasa sakit hilang. Bahkan keseleo di pergelangan kaki Denis lenyap tak bersisa. Tubuh mereka jadi tegap, meski tak sampai setengah dari tinggi Gigantis.
Bumi tingkat ketiga. Tempat yang tak pernah ada di dalam benak mereka sebelumnya. Petualangan dimulai.