Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (8-habis)

6 Mei 2012   07:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 288 0
(Sebelumnya ....) “Tidak semua orang bisa kamu beli, nona. Kupikir Dimas awalnya bagian dari kelompokmu juga, sindikat penipu yang membayar banyak orang untuk menjebak siapapun yang diinginkannya ikut bermain. Tapi semua orang bisa mengikuti nalurinya kan. Aku berdoa yang terbaik saja bagi anak itu.” Adam menggeleng kemudian ruangan itu hening sesaat. “Lady Papyrus. Itu nama yang bagus.” Adam bersuara lagi. “Kamu akan mudah dikenal sebagai perempuan hitam yang lebih mirip bayangan kelabu. Berdiri di arena abu-abu yang tak jelas apakah golongan jahat, atau penolong kebaikan. Aku kira kamu bisa berperan jadi keduanya dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya misteri  yang belum kupecahkan, adalah pertanyaan ‘mengapa’. Aku tidak habis pikir, seperti hidup duapuluh empat jam di dalam lembar-lembar fantasi. Untuk apa kamu melakukan ini semua?” Gadis itu berdeham, seperti ingin menertawakan lirih. Bibirnya mengguratkan senyuman tipis yang tersembunyi di balik kuasa yang sangat independen. “Adam Yafrizal.” Akhirnya suara itu keluar juga. “Sudah lama aku mengikuti jejakmu.” Kemudian topi dan kain penutup leher itu terbuka. Yang nampak kini jelas adalah wajah Marlistya. Beberapa lembar karet gelatin yang telah sobek kemudian jatuh berserakan di lantai, bersama serat pembentuk rambut yang dilekati sisa-sisa lem di permukaannya. Gadis itu kemudian meregangkan tubuhnya seperti akan senam. Jas itu terbuka di bagian dada memperlihatkan bagian feminin yang tak bisa disangkal kecantikannya. Bentuk tubuh langsing dengan lekukan rapi di dua sisi pinggangnya serasi dengan posisi dua tungkai yang ditegakkan agak merapat. “Aku sadari tidak memperhitungkan banyak hal dalam rencana ini. Terlalu banyak orang, terlalu banyak detil. Dan aku yakin kamu lebih mengerti cara mengatasi detil-detil.” “Terima kasih pujiannya.” “Setelah mendengar kabar bahwa ada seorang detektif yang kembali menghebohkan kota kecil, aku lalu tertarik untuk mengikutimu. Tentu, kebanyakan orang menganggap detektif, investigator, apapun itu namanya,  hanya ada di buku-buku Sir Arthur Conan Doyle atau Mara Gd. Tapi aku, selalu menganggap bahwa akan seru jika terlibat dalam petualangan misteri yang bisa ditunjukkan kepada orang-orang bodoh itu. Memperlihatkan di depan mata mereka bahwa betapa hal-hal kecil jika dipikirkan serius akan bisa membuka mata terhadap kemungkinan-kemuningkinan. Begitu yang kamu pelajari, Adam?” Adam mengangguk sambil tersenyum. Marlistya kemudian mendesah pelan. “Aku sebetulnya tak berniat membunuh ayahku sendiri, jika kamu berpikir sejauh itu. Aku hanya ingin memberinya pelajaran betapa hidup sebagai anak kecil dari seorang rentenir tidaklah mudah di lingkungan. Sejak SMP aku sudah jarang keluar rumah, menghindari hujatan dan olok-olok teman dan cibiran tetangga setiap kali aku melintas sepulang sekolah. Orang-orang kampung yang tak berpendidikan hanya bisa mencibir tanpa naluri mereka bekerja untuk mengedepankan perasaan seorang gadis kecil yang malu terhadap ayahnya.” “Kenapa kamu tidak meminta saja langsung kepada ayahmu untuk berhenti menjahati orang-orang?” Gadis itu kemudian terdiam menatap langit-langit. “Kamu tidak akan bisa meminta ayahmu sendiri tidak melakukan kejahatan yang terlanjur dilakukannya, Adam.” Adam terheran dengan jawaban itu. “Jauh sebelum aku tumbuh besar, aku melihat bayangan menjadi seorang perempuan dewasa tidaklah begitu menyenangkan. Merasakan tubuh bagian depanmu terasa makin berat dan langkahmu semakin tegap dan diperhatikan banyak laki-laki, aku menyadari itu bukanlah sesuatu yang mudah diatasi di awal masa puber. Sayangnya, ayahku tidak menyadari perasaan itu.” “Perasaan?” “Ibuku menikah dengan laki-laki lain saat aku hampir lulus SMA. Itu bukan tanpa alasan. Ayahku tertarik dengan seorang perempuan, dan mencoba merayu perempuan itu. Ibuku, sebagai perempuan dan sosok ibu yang menyimpan perasaan mendalam terhadap komitmen berkeluarga, tentu tidak menerima itu.” “Siapa perempuan yang digoda ayahmu itu?” Sebersik senyuman di bibir Mar, lesap tiba-tiba. Matanya menunduk dan bibirnya lemas. Matanya kemudian nanar dan jari-jarinya diangkat sampai menyentuh lemas bibirnya. Adam menyadari bahasa tubuh perempuan kian jelas untuk pertama kali dalam hidupnya. Pandangannya menangkap ketakutan dari tubuh gadis itu, rasa menyesal, dan rasa benci yang bercampur dengan dendam yang tersisa. “Ayahmu berbuat macam-macam kepadamu? Kamu?” Lalu ruangan itu kembali hening. “Aku kira kamu sudah mengerti alasan utama aku membenci laki-laki itu, Adam. Walaupun kamu pakai sudut pandang seorang laki-laki.” Adam hanya memandang namun kata-katanya tak bisa keluar. Pikirannya tiba-tiba dibelokkan untuk meraba-raba bagaimana perempuan itu bisa melancarkan semua rencananya jauh sebelum semuanya terlihat sempurna. Perempuan itu, di pikirannya kini, bisa jadi lebih berbahaya daripada yang nampak. Dendam antara dua orang yang memiliki hubungan darah jauh berbahaya daripada dendam mereka yang berjauhan sejak lama. Investigator itu lalu bangkit dari kursinya kemudian mendekat kepada Mar. Tapi gadis itu justru tertawa lirih. “Sayang sekali, Adam,” kata Mar lalu tertawa seperti merendahkan. “Perasaanmu mudah sekali terbawa oleh cerita-cerita gadis yang sedang menangis. Semudah itukah seorang detektif dibodohi penjahat?” Adam terkesiap. “Tidak semua air mata perempuan itu tulus, sayang.” Lalu Adam melangkah mundur. Mar mengangkat tangan dan mengarahkan benda berbentuk pistol itu di tangannya, tepat di ketinggian dada. Adam mengangkat kedua telapak tangannya sambil melangkah mundur. “Aku bisa saja membunuhmu sejak awal, Adam. Kukira perjalanan kelompok kami akan lebih mudah membodohi banyak orang. Tapi …,” Pistol itu meletus, dan Adam berkedip. Yang terlontar hanyalah batang karet dengan pelontar pegas yang ikut jatuh ke lantai. Mar tertawa sambil memegang perutnya ketika Adam justru nampak seperti orang bodoh. “Tidak perlu main-main lagi, Mar. Sebaiknya lepaskan gadis itu.” “Gadis?” “Evelyn. Dia yang disekap di kamar sebelah kan?” “Oh, dia hanya figuran untuk sinetronku ini, Adam. Nanti pasti kulepas. Aku juga akan pergi dari sini sebentar lagi. Kurasa episode pertama permainan kita disudahi saja. Kamu bawa saja gadis kampung itu. Sejak awal memang dia tidak pantas jadi adik tiri.” “Siapa dia sebenarnya?” “Hanya pembantu. Tujuh tahun setia bersamaku.” “Lepaskan dia.” “Iya. Iya. Baiklah. Kamu bisa apa? Anak buahku banyak di sini. Sedangkan kamu sendirian.” “Jangan yakin dulu.” Tiba-tiba terdengar mobil mendekat dari dua arah gang di depan rumah itu. Eno bergegas turun dari mobil polisi berbentuk SUV yang tiba paling depan. Setidaknya sepuluh petugas kepolisian Sektor Waru tiba dipimpin seorang komisaris berjaket hitam. Salah satu petugas berteriak dari teropong meminta semua tetap di tempat sementara petugas lainnya mengarahkan lampu sorotnya ke satu ruangan. Marlistya menutup matanya karena cahaya sorot itu begitu tajam. Terdengar langkah dari luar yang lalu membuka pintu. Dengan langkah lincahnya gadis itu kemudian membuka pintu sehingga tiba-tiba Eno terhempas tanpa halangan ke dalam ruangan itu dan terjatuh di lantai. Sesaat kemudian terdengar bunyi kaleng jatuh dan memantul di lantai. Asap mengepul tebal dan menyesakkan. Eno memegang wajahnya  karena matanya perih, sementara Adam berusaha menarik rekannya itu ke sudut lain ruangan dan membuka jendela. Beberapa petugas yang berlari dari arah gerbang kemudian membebaskan mereka dari sana. Gadis itu telah menghilang. Empat penjaga yang semuanya laki-laki paruh baya kemudian ditangkap atas kasus penculikan. Mereka bungkam di depan polisi. Evelyn bebas dan sementara diamankan sebagai saksi korban. Saat rumah kecil itu kembali aman, Adam memeriksa beberapa bagiannya. Di dalam sebuah buku agenda yang berisi tulisan-tulisan tangan di atas kertas berwarna sama dengan yang pernah dilihatnya berisi pesan-pesan peringatan singkat, ia menemukan satu kata yang membuatnya berpikir dalam.

ANONIM, Tentang satu nama. Lady Papyrus.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun