Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (5)

5 Mei 2012   04:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:41 250 0
(Sebelumnya ...) Setengah jam tersandar sampai ketiduran di dinding teras rumah itu, Adam merasakan dirinya lelah. Kedua tangannya ia rebahkan ke samping dan kepalanya ia tempelkan begitu saja di tiang yang menjadi tempat janur berbentuk bunga itu diikat. Kondisi nol. Seperti seorang biksu yang mengosongkan kembali gelasnya yang sebelumnya nyaris penuh. Ia tertidur selama beberapa saat sebelum akhirnya merasakan ada dorongan benda tumpul di pahanya. “Bangun.” Suara itu terdengar dingin, tapi cukup jelas sehingga Adam terkesiap. Ia mengembalikan kesadarannya seketika pandangannya jelas melihat anak itu berdiri di depannya. “Sedang apa kamu?” tanyanya. Anak itu, dengan wajah dingin, hanya terdiam. Di dalam matanya terkurung banyak jawaban, tapi mulutnya masih terkunci. Adam yang akhirnya terbangun lalu menegakkan badannya. Ia mengguncang-guncang kepalanya sendiri ketika penglihatannya mulai jelas. Sesaat ia melihat ke arah anak itu, lalu memeluk lututnya sendiri. Dimas yang melihat kegundahan, akhirnya ikut merapatkan pantatnya ke lantai. Celana biru tua itu akhirnya berdebu semakin tebal. “Sebenarnya kamu mau apa, Dimas?” Adam seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Tak sedikitpun pandangannya mengarah ke anak yang lalu menunduk itu. “Jujur ya, dik. Aku capek sekali. Seharusnya aku sudah memecahkan masalah keluarga seseorang malam ini, tapi tidak ada satupun yang membuatku bisa menepati janji.” Laki-laki itu menghela napas panjang, bunyinya sangat tajam di tengah malam yang semakin larut. Jalan-jalan tak lagi dilewati pejalan kaki, hanya bunyi pentungan gerobak nasi goreng yang melintas di kejauhan beradu dengan suara jangkrik yang tak pernah putus. “Sekarang bahkan rumah ini jadi semakin berbahaya bagi siapapun.” Saat mereka akhirnya mengizinkan keheningan berlalu sekali lagi, anak itu mengucapkan sesuatu. “Mereka pantas mendapatkannya.” “Maksudmu?” Adam lagi-lagi dibuat  heran oleh perkataan singkat anak itu. Dimas terdiam lagi. Kedua tangannya ikut memeluk lututnya yang tertekuk ketika kedua kakinya merapat di anak tangga lantai. “Mereka pantas mati.” “Tunggu. Tunggu. Hati-hati kalau bicara.” “Memang benar kok. Pak Abdul Malik itu orang jahat, penindas, perampok orang-orang sini.” “Perampok?” “Dia rentenir. Apa bedanya dengan perampok?” Adam lalu menerawang lagi ke tengah langit yang hitam. Ada satu bintang di sana yang tiba-tiba terlihat oleh sorot matanya. Remah-remah jawaban itu mulai terkumpul. “Kamu bisa cerita semuanya kepadaku, dik. Tapi jangan di sini.” Memang tinggal mereka berdua yang ada di halaman itu. Lampu-lampu hias pun telah dimatikan agar tidak memancing orang untuk datang. “Apa yang akan om lakukan sekarang? Mar sudah menghilang.” Adam kembali lemas. “Aku tidak tahu.” “Bukankah pekerjaan ini membuat om harusnya tahu semuanya?” Adam melihat sinis ke mata anak itu. Dari mana anak seusia ini tahu tentang filosofi kerja dan profesionalisme? Pikirnya. “Ada banyak hal yang tidak kamu tahu tentang pekerjaan ini, dik.” “Tapi aku tahu bahwa om sendirian.” Adam mengalah. Ia mengangguk seperti mengakui kebenaran bahwa dirinya mencapai titik lemah. “Ya, memang benar.” “Lalu untuk apa om masih di sini?” “Maksud kamu?” “Kenapa tidak kejar penculik-penculik itu?” Adam menggeleng lalu tersenyum kering. “Aku tidak pernah bilang bahwa Mar diculik.” “Dari mana om tahu? Om punya bukti dia tidak diculik?” “Kalau itu …” “Belum ada kan. Lalu kenapa om berani menyimpulkan bahwa Mar diculik?” Adam tak kuasa menjawab. “Apakah karena om putus asa?” "Aku tidak ..." Adam lalu menatap anak itu seperti menyergap pandangannya. Tangannya tiba-tiba terangkat ke udara seperti ingin meremas kepalanya sendiri. Anak itu tak menunjukkan rasa takut sedikitpun, malah tersenyum. Perubahan sikap yang membuat laki-laki dewasa itu semakin tidak nyaman pada diri sendiri. “Aku bisa kasih tahu om rahasia kecil, kalau om mau percaya.” “Bagaimana aku bisa percaya. Kamu sudah menyerangku berkali-kali.” “Hanya sekali. Itu pun lukanya tidak parah kan.” Adam memeriksa lengannya. Permukaan luka masih ditutupi darah yang mengering dan berwarna hitam karena obat. “Sudahlah. Kamu mau ngomong apa?” Adam memerhatikan anak itu terdiam. Senyum kecil di bibirnya lebih mengantarkan kesan menakutkan daripada ramah. Matanya nanar menghadap ke tanah di depan kakinya. “Aku bisa jadi orang jahat om,” kata anak itu. “Tapi bukan berarti aku tidak bisa membantu orang melawan kejahatan.” Adam terheran-heran dengan kalimat pengantar itu. Untuk apa anak ini berkata demikian? “Kalau boleh kuberi petunjuk, ini yang akan kukatakan.” Adam menyimak. Namun alih-alih langsung memberi jawaban, Dimas hanya tersenyum kemudian berdiri. “Kukira kertas-kertas pesan untuk om siang kemarin dan malam tadi cukup jadi bahannya. Jangan lupa pula, yang paling penting adalah om harus mengalahkan yang tidak terlihat. Lady bukan orang sembarangan.” Adam hanya semakin bingung dengan petunjuk itu, tapi anak itu telah berlalu ke arah gerbang. Ia menyadari bahwa anak itu tahu lebih banyak daripada  yang ia duga. Fakta bahwa nama "Lady" baru saja disebutkan oleh anak itu, cukup jelas menyiratkan bahwa ada sesuatu yang harus ia gali lebih dalam, kalau tak mau pulang dengan tangan hampa dan membiarkan masalah semakin tidak menentu. “Tunggu! Kamu mau ke mana?” Sambil terus melangkah dengan tongkatnya, Dimas mengangkat tangannya. “Sudah waktunya aku keluar dari rumah ini, om. Orang-orang pentingnya sudah tidak di sini lagi. Sebaiknya om juga mengikuti ke mana orang-orang itu pergi. Dan jangan percaya pada siapapun.” Dalam sekejap sudah ada sepeda motor yang mendekat dan membawa anak itu pergi melintasi kegelapan. Dalam kesendirian yang kembali menyelimutinya di bawah janur melengkung, ia memaksa hatinya untuk mencoba mencerna kalimat-kalimat anak itu. “Memecahkan yang tidak terlihat? Apa maksudnya?” Ia menggumam. Terlalu banyak rangkaian kalimat absurd. Hanya menambah kesemrawutan pikirannya. Investigator itu lalu bangkit dan kembali ke dalam rumah. Beberapa pekerja telah tertidur. Hanya satpam dan beberapa perempuan paruh baya yang saling bercakap soal tragedi rumah itu. Adam lalu meminta satpan untuk menghubungi polisi, sekaligus pamit untuk meninggalkan rumah itu. Saat memasuki kamarnya kembali, Adam tak menemukan jejak yang ditinggalkan Eno rekannya. Dan nampak perlengkapannya sendiri sudah dirapikan di atas meja. Ia mendekat, lalu memerhatikan gulungan kertas yang membungkus benda keras itu. Pesan yang sama, pikirnya. Terlihat dari bahan kertas dan jenis tulisan tangan yang sama.

Kau ternyata lambat. Sebaiknya kuselesaikan sendiri teka-teki ini. Belahan jiwamu :D Lady Papyrus
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun