[caption id="attachment_149262" align="alignnone" width="630" caption="Tiga dari enam orang yang membuatku merasa aneh, Selasa sore (13/12/2011)"][/caption] Ada enam orang di dalam halte itu. Satu di antaranya adalah saya. Jalur TransJogja 3B ke arah utara baru tiba dalam 15 menit. Selama penantian itu, hal yang menggelitik saya adalah kesadaran bahwa secara fisik dan mental saya terjepit diam di antara bunyi-bunyi tombol
qwerty dan visual jari-jari mengelus layar sentuh. Sulit dipercaya, tapi saya tidak begitu heran melihatnya. Lima orang yang semuanya berada hanya beberapa jengkal dari saya itu, sama-sama memainkan telepon genggamnya. Saya merasa menjadi seorang asing di tengah rimba sore itu (13/12/2011).
Stranger in a jungle. Jika bukan karena pemahaman latah teknologi, saya sudah beranjak dari halte itu. Kejadian duduk di antara beberapa orang yang sedang asik memainkan telepon genggamnya bukanlah hal baru sebetulnya. Hanya saja, di dalam sebuah kotak tunggu yang tidak terlalu besar, dan hanya saya sendiri yang tak menyentuh telepon genggam, rasanya benar-benar terhenyak. Saya sadar, bahwa bangsa saya adalah bangsa pemakai. Dan untungnya, sangat hikmat dalam memakai. Mereka seperti sedang berlomba, atau berada di dunia yang sama-sama asiknya. Ada dua majalah wisata dan satu eksemplar surat kabar lokal di halte itu, tapi tak ada yang disentuh. Saya yang sudah merampungkan semua berita koran hari itu di halte sebelumnya memilih mengitarkan pandangan ke Rumah Sakit Dr. Yap yang sedang dibenahi tamannya dan beberapa sepeda motor yang lalu-lalang di jalan itu. Tak sampai lima menit, dua orang lagi masuk ke halte. Mereka jurusan timur menuju Ambarrukmo Plaza, setidaknya demikian saya dengar dari mulutnya saat membayar tiket. Dan lagi-lagi, telepon genggam keluar dari dua saku yang berbeda. Genap sudah tujuh orang bermain telepon genggam, dan saya terjepit duduk di tengah-tengahnya. Ada tiga wanita dan empat pria. Salah seorang wanita, muda, memainkan telepon berlogo mirip huruf B miliknya. Sedangkan dua pria, menggeser jari di atas layar sentuh telepon genggam bermerek sama dengan yang saya jepit di dalam saku celana. Hening. Akan terasa genap mungkin jika pria penjaga loket ikut memainkan telepon genggam. Tapi sepertinya ia masih menyimpan integritas kerja di dalam hatinya. Pandangan pegawai berseragam itu hanya seputar jalan dan televisi kecil di pojok loket. Dalam penantian lima belas menit itu, waktu berjalan begitu lembut. Lama sekali rasanya. Ingin mengintip layar qwerty dan layar sentuh orang-orang itu, berusaha mencari tahu warna-warna seperti apa yang membuat mereka bahkan untuk mengangkat wajah saja terasa kepalang tanggung. Sebegitu "asik"-nya kah aplikasi-aplikasi seluler zaman sekarang sehingga benda kecil berlayar itu jauh lebih menarik daripada koran berita terkini atau senyuman penumpang lain? Tentu ini pengalaman jarang bagi saya. Harap maklum. Sesungguhnya tak jarang pula kehangatan justru timbul di ruang tunggu halte semacam itu. Berbincang ringan dengan seorang tua yang menjinjing plastik belanjaan, atau sekadar melihat mahasiswi berkacamata berambut cokelat yang asik meresapi berita-berita koran terasa sangat berbeda. Pengalaman menunggu bis sore ini mengajarkan sesuatu. Setidaknya dari satu sisi. Bahwa selama ada hal yang lebih menarik dan membuat diri menjadi sedikit lebih pintar, maka pilihan itu diambil. Bentuk hiburan dalam kegiatan menunggu memang preferensi setiap orang. Hanya saja jika terjadi kebetulan-kebetulan yang nampak lucu, maka tak ada salahnya dijadikan catatan perenungan tentang fenomena sosial. Bahwa, terjepit diam di antara tujuh orang dengan qwerty dan layar sentuh bukanlah hal yang aneh saat ini. Pada akhirnya, tetap saja menarik untuk ikut menarik telepon genggam keluar dari saku dan mengutip beberapa gambar dari kamera 1,3 megapiksel. Yogyakarta, 13/12/2011.
KEMBALI KE ARTIKEL