[caption id="attachment_127031" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Selama menikmati tayangan awal Ramadan yang dihiasi banyak program baru di berbagai media ini, saya terpancing untuk mengamati lebih dalam beberapa acara, khususnya acara humor yang sudah menjadi ciri khas waktu-waktu tertentu. Setiap menjelang berbuka dan saat sahur, hampir semua stasiun televisi (dan radio?) menampilkan acara humor dengan segala macam bentuk dan kreativitasnya. Namun, satu garis besar persamaan dari hampir semua tayangan itu, saya menyadari betapa bentul-bentuk humor dalam tayangan semakin sarkastis, atau berisi ejekan-ejekan yang dikemas sebagai bahan humor yang menarik. Ejekan-ejekan yang saya maksud tentunya aksi para pelakon acara humor tersebut yang (menurut saya) terlalu menyukai merendahkan lawan mainnya, dalam konteks dialog ataupun hal-hal di luar dialog. Acara-acara humor yang dikemas berbentuk panggung atau studio, dengan kebebasan berlebihan kepada pemainnya untuk melakukan improvisasi adegan lantas populer, tentu saja karena lebih mudah dilakukan ketimbang harus terpaku pada dialog. Pada kenyataannya, humor-humor sarat improvisasi tersebutlah yang menimbulkan bentuk-bentuk sasrkasme baru pada humor Indonesia yang sejak dulu diakui lucu oleh banyak negara.
KEMBALI KE ARTIKEL