[caption id="attachment_118022" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu hanggar di ruang utama museum. Nampak beberapa pesawat dijejer menghadapkan moncongnya yang tangguh. (Gbr: Pribadi)"][/caption] Setelah lama tertunda, akhirnya rencana perjalan saya ke Museum Angkasa Yogyakarta bisa terwujud. Pagi ini (21/6/2011) sekitar pukul 10.00 WIB langkah saya menembus gerbang penjagaan Akademi Angkatan Udara di jalan arteri Janti. Beberapa polisi militer nampak berjaga di sebuah pos penjagaan. Setelah menjawab pertanyaan singkat tentang tujuan kunjungan saya, polisi penjaga akhirnya membukakan palang jalan. Memasuki ruas jalan penghubung menuju gerbang museum yang berjarak sekitar 300 meter dari bahu jalan utama, pemandangan pertama yang tertangkap adalah barisan rumah-rumah dinas perwira TNI-AU bergaya
Fort de Kock warna biru muda dengan halaman rumput yang merata. Salah satu bukti integrasi yang berhasil dicanangkan sejak zaman ABRI dulu adalah bahwa sekolah dari tingkatan SD hingga SMA dan SMK berdiri di satu kompleks yang sama dengan pemukiman keluarga militer. Pantas saja pengamanan ketat, karena termasuk melindungi ribuan anak sekolah yang lalu-lalang di jalan kecil itu. Di kiri jalan, papan nama MUSEUM ANGKASA sudah terpampang tinggi, dan di lapangan parkirnya berbaris puluhan bus pariwisata yang membawa rombongan pengunjung. Anak-anak berlarian di lapangan di di sekitar beberapa badan pesawat yang dipajang di halaman luar.
Museum Angkasa Museum Angkasa Adisutjipto, atau biasa disebut Museum Angkasa, merupakan tempat penyimpanan beberapa instrumen tentara militer udara Indonesia dari masa ke masa. Wilayah Yogyakarta yang menyimpan banyak sejarah perkembangan dan perjuangan Indonesia menjadi strategis sebagai pusat dokumentasi sejarah yang akurat. Begitu memasuki pintu utama hanggar yang merupakan gedung utama museum, saya langsung disambut dua staf berseragam biru muda, yang salah seorang di antaranya perempuan, menawarkan tiket masuk. Setelah membayar sebesar Rp 4.000,-, saya sudah langsung menapaki ubin-ubin lantai klasik berwarna kelabu yang khas. Hidung saya langsung menyergap aroma besi tua yang dipoles oleh aroma pengharum ruangan khusus. Melihat keramaian museum yang didominasi anak-anak, remaja, dan para guru pendamping, saya merasa tidak sabar melihat apa di ruangan dalam, dan bagaaimana kisah perjuangan dirgantara Indonesia dimulai lalu diperjuangkan. Museum Angkasa Yogyakarta diresmikan oleh Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi pada 19 Juli 1978, bertepatan dengan Hari Bakti TNI. Sejarah panjang mengiringi dibukanya museum ini yang tujuan awalnya adalah pusat dokumentasi militer Indonesia pasca-kemerdekaan. Awalnya, museum TNI berlokasi di Jakarta hingga akhirnya demi peningkatan pendidikan AKABRI dan kedirgantaraan, dipindahkan ke Yogyakarta, berdekatan dengan Lapangan Udara Adisutjipto yang dulunya bernama Lapangan Udara Maguwo.
Akademi Angkatan Udara Memasuki lorong pertama di sebelah kiri, pemandangan yang nampak langsung memberi kesan "terjun ke masa lalu" bersama bayangan-bayangan instrumen militer beserta orang-orang yang melancarkannya. Diorama pertama yang terpampang di sisi kiri ruangan itu menggambarkan saat-saat dilaksanakannya penerbangan pertama menggunakan identitas Indonesia pasca-perebutan Kotabaru pada 7 Oktober 1945. Setelah berhasil menaklukkan tentara Jepang di Kotabaru, para penerbang Indonesia dengan menggunakan pesawat ringan jenis "Cureng" melakukan penerbangan perdana dengan membawa bendera Merah Putih di bagian ekor pesawat, tepat pada siang hari 27 Oktober 1945. Lanud Maguwo pun dikukuhkan sebagai pangakalan utama pertahanan udara Indonesia saat itu. Penerbangan tersebut lalu menjadi inspirasi bagi beberapa koordinator tentara saat itu, termasuk Komodor Agustinus Adisutjipto. Setelah melihat bukti bahwa orang Indonesia bisa mengendalikan instrumen aviasi militer, Adisutjipto bersama beberapa koordinator tentara Bugis, Morokrembangan, dan Maguwo merintis lembaga pendidikan penerbangan bagi para pemuda Tanah Air agar bisa membangun kaderisasi penerbangan sendiri. Akhirnya, setelah melalui beberapa proses, pada 15 November 1945 meresmikan berdirinya Akademi Angkatan Udara. Di antara beberapa nama yang masuk angkatan pertama AAU adalah Kolonel Iswahyudi dan Abdulrachman Saleh. Di bagian lain museum, terpampang deretan nama para kadet lulusan AAU dari angkatan pertama pada tahun 1945 hingga angkatan ketujuhpuluh delapan pada 2009. Ada hampir seribu nama di dinding itu, diukir di atas keramik khusus dengan tinta berwarna emas. Beberapa meter di bidang paling kanan terdapat beberapa kolom yang masih kosong, kemungkinan akan diisi dengan nama-nama lulusan AAU angkatan 2010 dan seterusnya. Tepat di tengah ruangan itu, ditegakkan beberapa foto berbingkai dengan potret setengah badan perwira berseragam. Satu di antara foto tersebut bertuliskan nama Komodor Udara (Mayor Jenderal). R. Soerjadi Soerjadarma, Kepala Staf pertama TNI (dulu bernama TRI) AU.
Komunikasi Militer Satu pusat komunikasi militer pada masa pertahanan kemerdekaan adalah Stasiun Radio AURI yang berlokasi di Gunungkidul. Stasiun radio ini berperan penting dalam berbagai operasi penerbangan militer tentara Indonesia. Dibekali sebuah bangunan rumah yang terletak persis di tengah jalur operasi Maguwo menuju selatan Jawa, stasiun ini beroperasi mengabarkan berita dan hal-hal penting lainnya ke pesawat-pesawat yang terbang, ataupun pangkalan-pangkalan yang terletak di pulau lain. Beberapa peristiwa penting yang melibatkan radio komunikasi adalah operasi pengintaian alur serangan tentara Belanda pada Agresi Militer kedua, sehingga satu-satunya pangkalan udara yang tidak direbut musuh adalah Lanud Maguwo, dan setahun setelahnya Belanda menyerah. Peristiwa lain adalah ketika pesawat C-47 Dakota ditembak jatuh oleh tentara belanda, lalu pecah dan menewaskan hampir semua penumpangnya. Berita tersebut diteruskan dari stasiun radio di Gunungkidul ke Aceh, lalu dilanjutkan melintasi samudera sehingga perwakilan RI yang berada di Birma berhasil memasukkan isu tembak jatuh ini ke Konferensi Internasional yang dihadiri negara Asia tenggara dan Belanda. Sejak itu, komunikasi militer tentara Indonesia terus mengalami kemajuan, hingga akhirnya diresmikannya Radar "Decca" pada 1962 yang menjadi tonggak mula kemajuan teknologi komunikasi jarak jauh penerbangan Tanah Air. Bahkan, replika Satelit Palapa A dan Palapa B ikut dipajang di salah satu bagian museum, bersandingan dengan model mini pesawat antariksa Challenger yang membawanya mengorbit sejak tahun 1976.
Pesawat-pesawat buatan Indonesia Lebih ke dalam lagi, di bagian tengah Museum Angkasa pandangan saya langsung melebar, menyaksikan deretan pesawat-pesawat militer Indonesia dari masa ke masa. Tentu saja, sesuai catatan sejarah jenis pesawat yang digunakan Indonesia didominasi buatan Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Jepang. Namun, ternyata ada beberapa pesawat yang terpajang dengan kondisi baik, yang ternyata adalah hasil karya industri penerbangan dalam negeri. Pesawat pertama yang benar-benar menarik perhatian saya adalah WEL-I/RI-X. Keterangan yang tertulis di situ menunjukkan tahun pembuatannya pada 1948, dan berupa pesawat uji coba pertama buatan RI, dan digunakan sebagai instrumen latihan penerbangan. Pesawat berwarna kuning dan merah ini diberi nama "
Wiweko Experimental Light Plane". Pesawat lain di barisan tengah hanggar bertuliskan "Glider Kampret". Nama yang unik untuk sebuah pesawat pengintai sekaligus pengebom. Ternyata, pesawat satu ini dibuat setelah tahun 1951 oleh teknisi-teknisi penerbangan RI berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun terhadap pabrik Father milik Belanda di Amsterdam dan beberapa model pesawat Jepang. Akhirnya, dengan mesin Mustang P-51 buatan Amerika Serikat, pesawat ini menjadi andalan pada operasi Trikora dan Dwikora. Ada juga LT 200 buatan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanirwo (Lipnur) yang diujicoba pada November 1974, dan PZL-PO4 "Wilga Gelatik" yang dianggap sebagai pesawat perintis untuk kepentingan riset dan pengembangan pertanian (
agroaircraft). Selain pesawat, terdapat pula peluncur roket Hispano model Star Lite PK-SLX berfungsi untuk serangan darat-ke-udara, melengkapi barisan rudal-rudal yang sebagian memang dibuat oleh industri asing seperti USSR Uni Soviet dan USAF. [caption id="attachment_115456" align="aligncenter" width="640" caption="Pesawat bertuliskan AURI, singkatan dari Angkatan Udara Republik Indonesia."][/caption]
Agustinus Adisutjipto Inilah yang saya tangkap sebagai kekuatan dirgantara Indonesia zaman dulu. Ada banyak pemuda bangsa yang visioner, strategis, dan berjiwa kepemimpinan yang berani berinisiatif. Sebut saja Agustinus Adisutjipto. Pemuda berwajah lonjong dan perawakan tegap lagi tegas ini memang pantas diabadikan sebagai nama sebuah Bandar Udara masa kini. Perjuangannya menginisasi terbentuknya Akademi Angkatan Udara bersama rekan-rekannya telah membuktikan betapa sekelompok pemuda masa itu mampu membuat perubahan yang mendasar di bidang pertahanan militer, berdasarkan pemikiran yang tak pernah dialami oleh orang lain sebelumnya. Adisutjipto bersama tentara gabungan Bugis, Morokrambangan, dan Maguwo berkumpul di lanud Maguwo selama beberapa bulan untuk mendiskusikan pembentukan akademi penerbangan tentara Indonesia, hingga akhirnya AAU terbentuk pada November 1945 dan bertahan hingga sekarang. Bertahun-tahun setelah itu Adisutjipto dipercaya sebagai komodor udara dan pemimpin penerbangan di beberapa pertempuran berikutnya, hingga akhirnya ia tewas dalam penerbangan membawa logistik dan pesawat mereka tertembak jatuh di Ngoto pada 29 Juli 1947. Turut dalam rombongan tewas adalah Kolonel Adisumarmo dan Kolonel Profesor Abdulrachman Saleh. Tugu Ngoto kemudian dibangun di Maguwoharjo guna mengenang jasa Adisutjipto dkk dan penerbangan dramatis itu. Di Museum Angkasa, potongan bagian belakang pesawat Dakota itu dipajang, agar saya bisa menginjak lantainya yang terpotong tepat di bagian tengah. Sungguh terbayang bagaimana riuhnya kejadian hari itu, bagaimana teriakan-teriakan mereka atau suara-suara gemerisik dari radio panggil di kokpit, ketika hari ini tangan saya memegang potongan baja yang sudah dicat ulang itu. Mengagumkan.
Puluhan Pesawat Ada puluhan pesawat terpajang di sebuah hanggar di bagian utama museum. Pesawat-pesawat dari jenis latih militer hingga pesawat kepresidenan RI yang merupakan hadiah dari presiden AS ikut terpajang dengan rapi. Ada juga pesawat "Vampire" jenis DH 115/J-701 yang merupakan pesawat jet pertama penerbangan RI. Diterbangkan pertama kali di atas langit RI pada 21 Januari 1956, pesawat ini kemudian menjadi instrumen andalan akademi AU di tingkat latihan lanjutan yang menempuh jarak menengah hingga ke beberapa negara tetangga. Penerbangan perdana waktu itu lepas landas dari Pangkalan AU Husein Sastranegara menuju ke Jakarta, lalu kembali ke Yogyakarta. Salah satu pesawat kepresidenan yang merupakan pemberian presiden AS kepada Presiden RI adalah UH 34 Sikorsky berjenis jet, yang tiba di Tanah Air pada 1961. Pesawat itu kemudian dilimpahkan ke TNI-AU dan digunakan dalam beberapa operasi, hingga akhirnya direhabilitasi pada Februari 1985 dan saat ini berada di Museum Angkasa. Nampak roda-roda pesawat itu masih mulus dan kokoh, menopang sepasang sayapnya yang pipih dan nampak elegan sesuai masanya. Di bagian luar bodi terdapat lukisan bendera mini dari tujuh negara ASEAN.
Dokumentasi Dirgantara Selain memamerkan pesawat-pesawatn dan perangkat alutsista TNI-AU dari masa ke masa, Museum Angkasa juga memajang beberapa instrumen dokumentasi yang digunakan selama masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di sebuah lemari di bagian ujung ruangan sebelum pintu keluar terpajang beberapa kamera tangan untuk gambar dan video. Alat-alat ini menjadi bukti logis terabadikannya banyak gambar-gambar menakjubkan di seluruh dinding museum, yang juga menjadi inspirasi faktual disusunnya diorama-diorama tiga dimensi yang bercerita tentang masa lalu. Beberapa kamera merk Nikon disimpan dalam lemari kaca dalam keadaan yang masih utuh, entah masih berfungsi atau tidak. Selain kamera, ada pula deretan buku-buku perjalanan dirgantara Indonesia yang khusus diterbitkan oleh TNI-AU. Beberapa tokoh terkenal seperti Kolonel Iswahyudi, Wiweko Supono, dan Adisutjipto diceritakan di beberapa buku. Ada pula yang menuliskan kisah armada-armada tempur berupa pesawat dan helikopter, termasuk buku tentang riwayat pesawat F-5 yang dibukukan oleh Joko Suyanto. *** Akhirnya, setelah sekitar satu jam menikmati sajian pemandangan sejarah dengan perjalanan panjangnya yang belum pernah saya ketahui sebelumnya, semakin terasa bahwa masa kini kita tidak lebih baik daripada masa lalu, setidaknya di bidang inisiatif sistem pertahanan. Saya memang awam dan tidak tahu ujung-pangkal kebijakan, tapi sebagai warga negara, saya heran kenapa kita tak punya banyak inovasi di bidang kedirgantaraan, seperti saat Adisutjipto membentuk AAU dan merebut Lanud Maguwo, lebih dari enam dekade lalu. Langkah saya terasa ringan saat meninggalkan museum. Belum puas, namun beberapa catatan kecil saya menunjukkan banyak fakta bahwa bangsa kita kuat sejak dulu, namun harus dipertahankan kalau tidak ingin terperosok dalam kemunduran teknologi penerbangan. Bertahannya AAU hingga angkatan 2011 setidaknya akan menjadi harapan baru industri dan sistem pertahanan kebangsaan kita, sebagai bangsa yang telah merdeka. Setidaknya, itu pula yang kulihat di wajah anak-anak sekolah di kompleks ini, atau para tamu pariwisata yang nampak bersemangat ingin melihat bagian dalam pesawat Dakota di dalam hanggar. Luar biasa. *** Untuk menuju ke Museum Angkasa, pengunjung bisa mengambil jalur Janti dan berbelok ke timur di samping SMK Penerbangan Adisutjipto. Harga tiket masuk adalah Rp 3.000,- hingga Rp 4.000,-. Waktu berkunjung yang disarankan antara pukul 09.00 hingga 15.00. Selain museum, terdapat pula musola, kantin, dan beberapa lapak dagangan suvenir khas angkatan udara.
KEMBALI KE ARTIKEL