Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Surat Terakhir dari Perbatasan

16 April 2011   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:44 197 3
Desa Kahuliyat, 26 April 2011. Sahabatku Ardi. Gerimis tak akan rela berlama-lama menyapu desa ini. Ruang kelas SD terlalu rapuh untuk menaungi Bu Martini dan 50 murid. Mereka sejatinya tidak meminta, Ardi. Mereka justru menawarkan kita kesempatan, untuk memberi, dan untuk mengasihi satu sama lain. Sejak tak kau angkat teleponku waktu itu, jujur aku sempat kehilangan harapan. Hatiku sebetulnya tak begitu gusar, andai saja kabar itu tidak datang. Kau tahu, Ardi? Tepat dihari aku berusaha menghubungimu itu, serombongan pemerintah daerah datang ke desa ini. Ya, Ardi. Mereka datang, dan kau tahu apa yang dikatakan mereka? "Janganlah terlalu sering meminta. Kita bukan masyarakat desa yang cengeng. Kita tidak akan meminta lagi. Mulai sekarang, desa kita bergantung pada negeri seberang. Semua hasil panen wajib dijual ke seberang. Uang Ringgit harus dipakai sehari-hari, agar pendapatan daerah kita meningkat. Anak-anak boleh bersekolah, tapi tidak usah melanjutkan setelah satu angkatan ini lulus. Akan ada gedung sekolah baru yang dibangun di sini, dan kalau sampai akhir tahun ini pemerintah pusat tidak membetulkan sekolah kita, maka terpaksa nama sekolah ini akan berganti, menjadi Sekolah Melayu, karena yang mendanai adalah rekanan kita dari negeri tetangga." Ya, itulah. Kau tahu bagaimana perasaanku saat aku mendengar pidato semacam itu, Ardi? Ingin rasanya aku tikam pejabat itu lalu kembali ke kota. Itu aku yang putus asa. Jadi, sahabatku Ardi. Sekarang pilihannya ada di tanganmu. Aku terus berusaha meyakinkan Bu Martini yang sudah mulai gusar. Bu guru itu jauh lebih nasionalis daripada presiden kita, aku yakin itu. Lalu mengapa aku harus mengorbankan keteguhannya? Sudahlah. Hentikan saja negosiasimu itu dengan kementerian. Aku yakin masih lebih banyak orang yang meu bergerak atas dasar kemauan hati sendiri untuk menolong, bukan karena tugas-tugasnya terpampang di dinding kamarnya sebagai program kerja. Selama ini aku selalu yakin padamu, Ardi. Tapi kalau kau berlama-lama begini, aku tak tahu harus mempercayaimu sampai kapan. Aku tahu tidak mudah meyakinkan orang untuk dirogoh kantongnya. Tapi please, paling tidak beritahu mereka bahwa di sini ada 50 murid yang pandai, dan mau tetap bersekolah. Balaslah surat ini, sahabatku Ardi, bukan dengan tulisan, tapi dengan perbuatan. Sahabatmu, Satria.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun