Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Permukaan

12 April 2011   11:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53 90 9
Adam atau hawa tak pernah digariskan sebagai sepasang kekasih yang berbulan madu di lembah Babilonia.

Cerita Yuri Gagarin mengarungi angkasa luar terpatri sebagai kisah patriotik yang belum jelas latar belakangnya.

Ortodoks.

Kekuasaan pikiran yang terdalam sejatinya masih ada di dalam.

Serangkai indera yang mendapati keadaan dunia tempat berpijak sekarang, sejatinya baru menangkap realita permukaan.

Apa yang ada di luar, belum membenarkan apa yang berlihai di dalam.

Kedalaman pencarian dilema, akhirnya lebih banyak menunjukkan keangkuhan.

Riak, namun tak dalam.

Semua baru permukaan.

Semua bisa jadi rekaan.

Butuh keberanian memang untuk menegakkan tiang yang menopang timbangan.

Tentang seimbang atau tidak, akan menuntut perjuangan menggali apa yang belum terlihat,

apa-apa yang belum tersajikan sempurna.

Dunia ini penuh dinding-dinding berpatri sejuta kisah.

Kecakapan mata atau ketajaman telinga sejatinya belum terbayar utuh.

Hari ini, tak ada yang tahu. Bahkan misteri dua kutub akan terus bergeser dari persendiannya.

Lintang masih akan tetap dilihat datar, kanan ke kiri.

Suara hanya akan tetap menjadi suara, sebelum gelombang ditemukan dalam susunan materi.

Janji hanya akan tetap sebagai janji, menawarkan banyak permen dan rasa damai.

Berhentilah prihatin.

Tak ada yang bisa bertahan lama dengan keprihatinan.

Masuklah lebih dalam.

Temukan ujung pangkalnya.

Kemanusiaan seharusnya menjadi tak terbataskan.

Kekuasaan seharusnya disusun dalam pundi, lalu dialirkan ke dalam gelas yang memuaskan.

Hati-hatilah, banyak telaga yang menjadi biang dahaga.

... banyak keyakinan menuntun pada kesesatan.

Berhentilah menangis, lalu tulislah.

Tanyakan pada dunia, ada apa di dasarnya.

Lalu berhentilah melihat hanya permukaan, yang tak jelas makna ujungnya.

Yogyakarta, 12 April 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun