Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Artikel Utama

Pesan-pesan dari Perbatasan (1)

6 April 2011   16:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04 1116 11
[caption id="attachment_100482" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Yogyakarta, Kamis sore. Adalah Ardi, pemudalulusan segar dari sebuah kampus seni, yang memutar haluan bekerja sebagai jurnalis lepas pada sebuah perusahaan surat kabar lokal. Perawakannya sedang, tutur katanya yang santun dan teratur mengantarkannya cukup dikenal di kalangan beberapa pejabat teras daerah bahkan pemerintah pusat. Para pejabat di "pusat" itu lebih banyak yang mengenalnya setelah senyum sungging mereka terangkat membaca opini kritis dan hasil riset sederhananya yang menampar para elite itu tepat di pipi kiri mereka satu-satu. "Beraninya dia!" kata salah satu staf menteri yang murka di depan tulisan opini Ardi, tanpa mengerti betul apa yang harus ditanggapinya sebagai pembelaan. Nihil. Ardi, dalam hal ini, lebih tahu betul siapa yang korup dan siapa yang pantas dibela. Ardi tak sendiri, di dalam kesetiaannya memperjuangkan hak-hak kesejahteraan rakyat kecil seperti apa yang pernah dialaminya semasa kanak-kanak, ia hanya ingin menuliskan apa yang bisa meringankan penderitaan "rakyat", istilah yang sering dipakai banyak orang yang mencerminkan objek ketidakadilan tata negara. Ardi sesungguhnya saat ini sedang sibuk berdebat dengan staf humas Kementerian Pendidikan, Bapak Puji Hananto, dalam hal pemberian bantuan gedung perpustakaan di desa Kahuliyat, kampung terluar perbatasan negeri sebelah utara.

Bpak yang bener saja dong Pak! Masak kementerian ngasi ratusan sak semen buat bangungedung perpus sementara guru yang ngajar cuman satu! Itu pelecahan namanya!
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun