Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kami Butuh Pengajar

10 Januari 2011   05:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 413 1
Kompasiana- Masih banyak bukti menunjukkan belum optimalnya pendidikan masyarakat desa kita. Desa atau kampung-kampung yang tempatnya relatif terpencil, walaupun secara geografis berjarak hanya beberapa kilometer dari ibukota kabupaten di sebuah provinsi besar. Hal inilah yang nampak oleh kami saat mengadakan kunjungan silaturahmi sekaligus penyakuran sumbangan renovasi masjid di Kampung Surowono Kidul, Desa Bumiharjo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Minggu (9/1). Suasana kampung itu cukup asri. Pola pengembangan tata letak desa menjadikan penampilan desa ini tak ubahnya sebuah kota besar dengan blok-blok kelompok KK (kepala keluarga) dan jalan batu berpetak-petak. Semuanya nampak teratur, jauh dari kesan kumuh. Bahkan drainasenya jauh lebih baik daripada beberapa ibukota provinsi yang becek, atau banyak genangan air. Kebiasaan masyarakat desa yang menyapu pekarangan rumahnya setiap menjelang sore hati yang menjaga perkampungan mereka tetap nyaman walaupun nampak melebur dengan kawasan perkebunan warga dan rumpun-rumpun bambu. Meski begitu, tetap saja taraf hidup masyarakat kampung yang mayoritas berprofesi petani ini masih sangat jauh dari memadai, apalagi masalah pendidikan warga. Doto, salah satu tokoh desa sekaligus pengurus masjid setempat, mengakui kesulitan mengembangkan pendidikan warga, khususnya pendidikan agama. Jumlah masjid seukuran mushala yang hanya satu untuk sekitar 50 KK ini jauh dari mencukupi. Ditambah lagi, kondisi bangunan masjid sendiri membutuhkan renovasi di sana-sini sehingga nyaris tak ada semangat ibadah dan belajar bagi warganya. Ia juga mengungkapkan bahwa taraf pendidikan masyarakat desa yang sangat rencah dipersulit lagi dengan jauhnya jarak tempuh ke sekolah-sekolah negeri terdekat. Lokasi kampung yang jaug dari jalan utama menjadi faktor utama dan sangat menghambat pendidikan generasi muda kampung ini. Sebagian kecil anak usia sekolah oleh orangtua mereka disekolahkan di kota kabupaten bahkan hingga harus ke Sleman yang jaraknya kurang lebih 30 km dari desa itu, diantar dan dijemput setiap hari ke sekolah negeri tempat mereka menimba ilmu. Anak-anak desa "dipaksa" dewasa lebih cepat karena pendidikan yang rendah. Sebagian diajak berjualan, sebagian lain harus berkebun, bahkan ada yang menjadi pengasuh bayi. Anak-anak di kampung ini bermain dengan pergaulan mereka sendiri dan dengan permainan desa mereka sendiri. Mereka enggan memuja-muja modern-nya gaya hidup kota luar, mereka bahkan belum pernah dan tidak mau kenal dengan "hedonisme". Mereka belum tahu apa-apa. Saat ini, menurut Doto, kebutuhan paling mendesak untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat kampung Surowono Kidul adalah tenaga pengajar, baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan agama. Mushala yang tersedia membutuhkan pengajar "ngaji" bagi anak-anak dan orang dewasa kampung yang ingin belajar. "Kami butuh tenaga pengajar sukarela. Pola pikir masyarkat desa ini harus diubah, dan mereka harus mau belajar, Doto menambahkan." Menurutnya lagi, program-program KKN (kuliah kerja nyata) yang beberapa kali singgah di kampung mereka hanya menyisakan hal-hal fisik yang sebetulnya tidak esensial seperti pos ronda, gapura, dan gerbang kawasan pemakaman umum. Di sisi lain, hal-hal prikologis, rohani, dan perbaikan pola pikir masyarakat yang sejatinya jauh lebih dibutuhkan sangat jarang dihasilkan oleh para mahasiswa KKN. Tidak mengherankan pula jika mereka terkesan enggan dan skeptis saat ditanya apakah desa ini masih membutuhkan KKN dari kampus-kampus yang ada. Selain itu, secara formal masyarakat desa ini juga jarang tersentuh manfaat birokrasi. Mereka tidak banyak tahu tentang program-program pemberdayaan masyarakat desa, PNPM, atau hal terkait program pemerintah lainnya. Lasana, salah seorang perangkat desa setempat mengakui bahwa jarang sekali ada bantuan pemerintah yang masuk ke kampung mereka. Bahkan untuk sekedar memastikan ketersediaan air bersih, mereka harus berinisiatif membangun tandon-tandon air berukuran sekitar 20 x 5 meter di beberapa titik kampung. Di tempat-tempat umum seperti mushala, warga memasang tong setinggi setengah meter yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi tempat berwudhu. Berdasarkan pengamatan, jumlah tong di mushala hanya ada satu, terisi sepertiganya, dan di dasarnya masih mengendap sisa-sisa abu vulkanik Merapi.

"Ya, kampung ini pasti rata dengan tanah jika saja wedhus gembel menyapu 2 kilomoter lagi lebih ke selatan." katanya saat ditanya tentang sapuan bencana Merapi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun