Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Optimisme Indonesia ala Anggito

31 Juli 2010   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 336 0
[caption id="attachment_192148" align="alignright" width="298" caption="Anggito Abimanyu (kontan.co.id)"][/caption] Saya akhirnya paham lebih dalam mengenai sosok Anggito Abimanyu. Thanks to Kompasiana MoDis Jogja yang baru saja digelar hari ini dan menghadirkan beliau sebagai narasumber. Saya mengaku kenal lebih dalam Bapak Anggito bukan hanya karena beliau saat ini adalah seorang dosen saya yang belakangan menjadi perbincangan hangat di kalangan birokrat keuangan, akan tetapi secara lebih luas, saya mengagumi beliau dari cara bicaranya, cara beliau mengklarifikasi sebuah isu, dan cara ia memandang sebuah obsesi akan perbaikan Indonesia secara luas. Diskusi yang diramu lebih mirip obrolan ringan tadi pagi hingga tengah hari bertempat di lantai 3 Gedung Telkom Yogyakarta itu semakin meyakinkan saya (mungkin juga orang lain yang sempat menyaksikan) bahwa seorang Anggito adalah sosok yang selalu menanamkan optimisme dan perbaikan sudut pandang kita dalam menghadapi sekelumit masalah negeri ini, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. "Saya keluar dan saya merasa menang, bukan kalah." Setidaknya kalimat itulah yang merangkaikan penjelasan seorang Anggito yang tidak pernah bosan menjawab setiap pertanyaan terkait kontroversi dirinya yang sempat menghebohkan itu. Beliau berpendapat bahwa pada zaman yang sekarang ini hal yang paling dibutuhkan oleh bangsa kita dalam reformasi birokrasi ada dua, yaitu PEMIMPIN YANG JUJUR dan SISTEM YANG BAIK. Kepemimpinan yang jujur selalu menjadi dambaan Anggito terkait pemerintahan negeri ini. Menurutnya, pemimpin ideal jauh lebih dibutuhkan daripada sistem yang apik. "Aset kita yang paling penting adalah manusia, baru sistem." demikian imbuhnya. Lebih lanjut, beliau  berpendapat bahwa saat ini banyak anak bangsa yang bisa memperbaiki keadaan karena memiliki good skill. Namun, warisan sistem rekrutmen birokrat yang merupakan warisan sejak hampir tiga dekade silam menyebabkan banyak orang pintar justru tidak terekrut karena kalah "tenar" daripada orang-orang dekat para petinggi birokrat saat itu, sehingga ujung-ujungnya ada permainan nepotisme dalam penerimaan karyawan hingga petinggi. Lebih jauh masalah kepemimpinan, Anggito menjelaskan bahwa fenomena rendahnya efektifitas kerja kebanyakan pejabat birokrasi sekarang adalah karena masih banyak pemangku jabatan penting memilih untuk "ngelaba" alias menjcari sumber penghasilan lain selain jabatan utamanya. Akibatnya, efektifitas dan totalitas kerja tidak tercapai. Sistem renumerasi yang belum sesuai juga masih menjadi faktor penyebab masih banyaknya pejabat "nakal" yang berimbas pada bengkaknya pengeluaran. Terkait masalah sistem birokrasi, Anggito kembali berpendapat bahwa kita masih bisa memperbaiki sistem birokrasi yang ada di Indonesia. Dosen FEB UGM yang sempat tampil bermain musik bersama band dari SMA 3 Yogyakarta tadi siang itu mengakui bahwa memang sistem birokrasi yang berbelit-belit saat ini butuh ditangani secara hati-hati karena bukan perkara mudah. "Birokrasi dan sistem ini juga adalah warisan dari rezim-rezim sebelumnya, jadi kita butuh penyesuaian.", katanya menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi. "Apakah saya liberal? Saya jawab tidak!" Beliau melontarkan pernyataan itu karena ditanya menggunakan beberapa statement oleh seorang peserta terkait beberapa kebijakannya di masa lalu bersama SMI dan Boediono. "Saya yang mengajukan penyusunan UU perbankan Syariah. Apakah itu liberal?", Anggito balik bertanya dan akhirnya puaslah sang penanya itu. Sejatinya, dari sudut pandang peserta Anggito Abimanyu nampak sebagai sosok bersahaja yang selalu optimis dalam memandang Indonesia. Terkait masalah ekonomi sektor riil pun beliau berulang kali mengatakan bahwa berdasarkan pengamtannya beberapa kali di lapangan nampak harapan bahwa sebenarnya orang-orang Indonesia bisa mengendalikan ekonomi dengan UMKM yang saat ini semakin kuat. Menurutnya pula, pemerintah saat ini bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan peluang bagi berkembangnya usaha dalam negeri, dan sebaiknya berhenti untuk terus-terusan mengagungkan pihak asing. "Saya tegaskan lagi, jangan terlalu mengagung-agungkan pihak asing. Tidak baik!" Ditanya terkait hal-hal yang lebih santai, sosok Anggito nampak lebih bersahaja. Bahkan, beliau mengaku ia kangen mengajar karena sambil memanfaatkan peluang mewujudkan obsesinya menyiapkan SDM indonesia yang lebih siap. Beliau juga mengaku akan terus memantau perjalanan anak-anak didiknya hingga bisa sukses lebih daripada apa beliau saat ini. Beliau juga merasa malu saat mengakui masih sering absen puasa Senin-Kamis, dan sempat kaget menyadari anak perempuannya bisa baris berbaris hingga akhirnya menjadi anggota taruna nasional dan menempuh pendidikan di Magelang. Seorang Anggito Abimanyu jelas orang yang optimis dan menekankan pada hal-hal yang lebih sederhana namun penting untuk dilakukan. Kunci kesuksesan diri dan bangsa Indonesia ke depan adalah menanamkan kejujuran sejak dini, komitmen pada hal-hal yang penting walaupun sederhana semacam sopan saat berbicara dan tidak pernah bolos kuliah atau kerja, mengembangkan jaringan seluas-luasnya, dan menghargai waktu. Ditanya mengenai sosok idolanya, Anggito dengan santun menjawab, "Saya sejak dulu kagum sama Gusdur." Monthly Discussion oleh Kompasiana hari ini terbilang sukses. Selain karena narasumbernya cakap, juga karena bisa memotivasi generasi muda untuk memiliki pandangan lebih terbuka dan positif terhadap bangsa Indonesia di balik sekelumit masalahnya saat ini. Semoga MoDis-MoDis berikutnya semakin baik dan terus mencerahkan Indonesia. Terima kasih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun