Apakah :) benar-benar berarti ‘senang’, dan :P berarti ‘usil’?
Hasil penelitian Dr. Owen Churches dari fakultas psikologi University of Flinders Australia mengungkapkan bahwa apa-yang-disebut ‘emoticon’ merupakan perwakilan bahasa simbol sebagai alat terjemahan bahasa verbal atau tubuh. Penelitian yang hasilnya diterbitkan Februari lalu itu menegaskan ide utama Dr. Churches bahwa, alih-alih berfungsi sebagai pengganti, ‘emoticon’ atau ‘smiley’ yang kerap dipakai dalam percakapan internet bekerja sebagaimana kita mempelajari bentuk-bentuk benda, dan menginterpretasikan maknanya dalam arti yang sebenarnya.
Sebanyak 20 orang diteliti dengan ditunjukkan sejumlah ‘emoticon’ dan diperiksa reaksi otaknya melalui alat tertentu. Hasilnya, hampir semua dari mereka bereaksi sebagaimana menghadapi emosi asli dari wajah manusia. Meski demikian, Dr. Churches menjelaskan, “Otak memproses simbol-simbol itu berbeda-beda (dengan cara kerja senyuman yang sebenarnya)--di mana sebenarnya mereka lebih mewakili kata, sebagaimana dalam abjad Tiongkok,” sebagaimana dilansir Metro.co.uk.
Peneliti lain, mahasiswa Ph.D. Cambridge University Alex Davies, mengatakan bahwa dalam praktiknya, penerjemahan otak manusia terhadap bentuk-bentuk emoticon tertentu bisa bervariasi lantaran faktor-faktor geografis, budaya, termasuk asupan tren teknologi informasi.
Davies mengambil contoh: orang-orang Barat kebanyakan menggunakan smiley :) untuk mengungkapkan rasa senang, sementara orang-orang Asia (diperkirakan bermula dari tradisi ikonografi Jepang), lebih sering memakai ^_^ secara eksklusif di banyak platform gadget ataupun tulisan tangan. “Ini karena orang-orang Barat memusatkan ekspresi lawan komunikasinya pada mulut/bibir, sementara orang-orang di Timur menangkap pesan lewat mata,” jelasnya.
Google, Facebook, dan Blackberry Messenger termasuk landasan media sosial yang telah mengakomodasi bentuk penggunaan emoticon dalam dua gaya sekaligus, barat dan timur. Ketika kita ketikkan :) di Google Plus, maka simbol yang akan keluar akan sama atau setidak-tidaknya mirip dengan jika kita mengetik ^_^, begitu pula di ruang obrolan Facebook. Hal berbeda terjadi di jendela aplikasi obrolan gaek Yahoo! Messenger, di mana ^_^ belum bisa dikonversi penuh menjadi ☺. Di Twitter dan beberapa app obrolan baru, bentuk ketikan asli malah bertahan tanpa konversi apa pun, kecuali berupa tagar tertentu yang populer sejak hashflag Piala Dunia lalu.
Penggunaan emoticon dalam obrolan internet bisa jadi sekadar gaya ketik, preferensi bahasa atau alasan keringkasan komunikasi gadget yang mengakomodasi teknologi grafis sederhana namun efektif. Hanya saja, menarik jika kita sesekali mempertanyakan apakah bentuk-bentuk wajah tertentu yang diwakili emoticon menggambarkan suasana hati sebenarnya dari lawan “bicara” kita.
Ada beberapa hipotesis sederhana yang bisa ditarik meski tanpa kajian akademik. Pertama, emoticon utamanya mewakili keringkasan teknis penyaluran bahasa. Orang-orang mengetik :) alih-alih “saya senang!” karena sebagian besar dari kita terbiasa dengan beragam simplisitas yang ditawarkan teknologi grafis sejak era keyboard (1870-an) hingga layar capacitive sentuh di awal dekade ini. Emoticon di layar nyaris tidak memerlukan energi meskipun beberapa penelitian menyebutkan "tetap bisa memicu mimik di wajahmu, walaupun kecil."
Hal yang sama terjadi ketika kata bahasa Inggris ‘thank you’ ditulis dengan ‘tq’ atau ‘thx’; atau bahasa Indonesia ‘terima kasih’ ditulis ‘trims’. Contoh-contoh lainnya sudah termuat di Kamus Besar Oxford sebagai singkatan seperti ‘OMG’, ‘LOL’, atau ‘CMIIW’.
Kedua, teknologi informasi memungkinkan orang-orang untuk saling berkomunikasi dari mana pun, dan dalam keadaan apa pun. Sejak era world wide web ditemukan Tim Berners-Lee pada 1991, pola komunikasi manusia di bumi berubah dari sebelumnya mengandalkan pancaindera dan komunikasi verbal, ke pertukaran informasi audio-visual yang terpaket dalam bahasa program.
Orang-orang kini bisa melakukan bisnis dan urusan keluarganya di benua berbeda tanpa kehilangan esensi yang diinginkan. Hal inilah yang paling masuk akal, mengapa orang “terpaksa” mewakilkan ekspresi pancainderanya ke bentuk-bentuk visual yang paling mendekati suasana hati sebenarnya.
Meski catatan Wiki percaya bahwa smiley :-) baru pertama kali ditemukan ahli komputer Scot Fahlman pada 1982, akan tetapi beberapa spekulasi menunjukkan bahwa dalam sejarah komunikasi modern, gabungan tanda-tanda baca tertentu sudah digunakan dalam persuratan. Sebuah salinan pidato Abraham Lincoln pada tahun 1862 yang kemudian diungkap harian New York Times mengandung tanda baca ;), diduga mewakili ‘tawa dan atau rasa haru’. Sungguhpun, hal itu berujung pada perdebatan panjang karena kalangan skeptisme menganggap itu kesalahan ketik semata.
Akan tetapi, dua alasan mendasar di atas tidak menampik kecurigaan kita terhadap kejujuran atau ketulusan yang terkandung dalam emoticon. Komunikasi internet bagaimanapun terjadi di atas permukaan platform dan lahir untuk pemenuhan unsur visualisasi, sementara otak manusia bekerja merespons lebih komprehensif karena melibatkan fungsi psikologis perasaan dan emosi.
Ketika seorang cowok mengetik melalui BBM kepada kekasihnya:
Hon, rasa-rasanya kok aku bosan ya… ☹
Si cewek, dengan emosional, mungkin akan merespons ringan terlebih dahulu, dan berpikir mungkin cowoknya punya masalah dengan pekerjaan, lingkungan tempat tinggal yang garing, atau lama tidak menghasilkan sesuatu. Rasa empati si cewek mengalir begitu memahami bahwa cowoknya mungkin sedih, atau kecewa pada dirinya sendiri.
Akan tetapi, jika si cewek adalah tipe intuitif dan bukannya komunikatif, mungkin ia akan lebih riskan mengartikan kalimat cowoknya tersebut sebagai perasaan bosan terhadap hubungan mereka (dalam arti berpikir lebih makro), alih-alih menjurus pada kondisi tunggal pada batin si cowok.
Hal lebih kompleks lagi ketika di akhir kalimat tersebut si cowok menggunakan simbol-simbol emoticon lain yang sulit ditebak, atau mungkin tidak relevan, semisal ☺, :|, atau :-/.
Dari contoh di atas, kompleksitas makna dalam suatu emoticon bukan hanya mewakili beragamnya perasaan manusia yang dapat berubah sewaktu-waktu, tetapi juga menimbulkan ambiguitas pemahaman pada si penerima pesan. Jika si pengirim adalah orang yang ekspresif namun kurang stabil, maka pesan yang diterima akan lebih sulit dimengerti, berpotensi ambigu, dan memerlukan kalimat-kalimat pertanyaan lanjutan yang beragam pula, mulai dari “Apa maksudnya, sayang?” hingga “Kamu kenapa sih?”
Berbagai kecurigaan lain terhadap pemakaian emoticon bisa kita klasifikasikan sederhana ke dalam rasa-rasa curiga, ekspresi berlebihan (lebai), perubahan sikap yang mendadak, atau kebingungan akan kata-kata. Emoticon ☺ bisa dipakai untuk mengekspresikan senang, simpati, penerimaan (atas pelecehan/penghinaan), bahkan rasa miris yang tegar.
Oleh karena itu, baik pengirim maupun penerima emoticon harus memahami pola komunikasi yang sedang mereka gunakan, setidak-tidaknya mengenali apakah perbincangan itu adalah suatu pembahasan serius, ataukah santai sebagaimana banyak terjadi. Untuk selebihnya, akan sangat baik jika para pengguna emoticon memahami latar-latar yang membentuk pola komunikasi seseorang di media sosial. Apakah itu budaya, suku, preferensi agama, ikonografi, ras, bahkan sampai merek ponsel favorit.
Pertanyaan-pertanyaan yang lebih jauh seperti "Apakah emoticon menggambarkan kualitas hidup?" atau "Bagaimana cara menilai emoticon orang-orang dengan kecenderungan bipolar?" berada pada tingkat pemahaman yang lanjut dan spesifik.
Emoticon hanya satu bagian kecil dari berkembangnya cara komunikasi kita sehari-hari, mengikuti rasa haus akan informasi dan pergaulan. Apakah itu mewakili atau malah menyamarkan kejujuran bahasa kita, teknologi belum mampu menjangkau itu. Kebanyakan dari kita mungkin punya cara komunikasi yang tidak digunakan orang mana pun, dan mungkin kita terbiasa tidak begitu merepotkan bagaimana orang menilai kita dari sebuah ketikan :-).
*