Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Mendidik Masyarakat Lewat Kebijakan

18 September 2014   17:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:20 347 4
[caption id="" align="alignnone" width="580" caption="Pekerja membongkar-muat ribuan tabung elpiji 12 kilogram di atas kapal yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. (Kompas.com/Heru Sri Kumoro)"][/caption]

Awal tahun 2000-an, sewaktu awal SMP, saya mangkel setiap kali disuruh mencabut selang, menukar tabung, dan membeli gas elpiji untuk dapur rumah. Mangkel yang wajar sebenarnya, karena jarak rumah dengan toko penyalur gas elpiji waktu itu, lebih 100 meter. Kalau tidak ngangkut dibantu becak (yang jarang saya pilih), maka tabung 12 kilogram itu saya gelindingkan di atas aspal. Pergi tabung kosong, pulang tabung isi. Waktu itu, saya ingat betul, harga elpiji 12 kilogram masih Rp29.000,-.

Di tahun-tahun itulah, sebagai remaja yang tiap hari dijejali televisi, saya mulai mengenal nama PER-TA-MI-NA --yang sebelumnya di sekitar daerah tempat tinggal saya dipakai untuk mengistilahkan ‘SPBU’ atau ‘pom bensin’. Saat itu pula saya tahu, ‘Pertamina’ ternyata adalah nama perusahaan skala nasional yang memonopoli “jualan minyak dan gas”. Tulisan berat bruto memang berbeda-beda angkanya di tiap tabung elpiji (ada yang 13, ada yang 15, 16). Di masa-masa itu, selain tabung gas, setiap perubahan harga bensin dan minyak tanah jadi perhatian karena keduanya digunakan setiap hari lewat sepeda motor dan kompor bersumbu duapuluh. Bensin seharga Rp2.500, minyak tanah seliter masih Rp1.400,-; sementara solar (yang waktu itu sering dioleskan ke lantai kayu rumah biar awet) masih seharga Rp400,-.

Di saat harga tabung gas naik menjadi Rp65.000,- banyak warga di kampung saya, sebuah kabupaten kecil yang baru berkembang di Sulawesi Selatan, kembali hijrah ke kompor minyak tanah. Kisaran harga itu terlalu mahal untuk keluarga yang hidup dari usaha rumah tangga atau warung-warung tidak seberapa besar. Apalagi, setiap ada isu langka bahan bakar, sering kali warga keduluan beli oleh beberapa agen “kampung sebelah” yang memborong kemudian menjualnya hingga 50% lebih mahal keesokan harinya.

Sepertinya waktu itu banyak warga khawatir, harga yang melewati angka Rp50 ribu sudah cukup mahal, dan setiap kenaikannya mendekati angka Rp100.000,- per tabung. Di lingkungan kalangan bawah, angka enam digit sangat njomplang dengan pendapatan dagang harian yang paling-paling hanya tiga kali dari itu. Akhirnya, keseharian dapur kembali akrab dengan kompor minyak tanah.

Kemudian suatu hari, petugas kecamatan mengarahkan agar kompor-kompor minyak tanah disingkirkan dari dapur dan digantikan dengan set tabung kecil berwarna hijau cerah. Sampai penempatan tabung dan jenis regulatornya pun diajarkan. Rupa-rupanya, lewat televisi bocor informasi bahwa minyak tanah--yang waktu itu harganya sudah di atas Rp2.400,---tidak lagi jadi prioritas Pertamina sebagai bahan bakar konsumsi.

Kini, dalam 2014 Pertamina kembali harus menjelaskan lewat media mengapa masyarakat harus menerima harga baru elpiji 12 kilogram menjadi sekira Rp119.000,-. Setelah kenaikan sesaat pada bulan Januari direvisi pemerintah dan kembali ke harga “normal”, nampaknya penyesuaian kali ini tidak tertahankan dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 5 Februari 2013 yang mengatakan: Pertamina menanggung kerugian 7,73 triliun atas penjualan elpiji 12 kilogram selama 2011-2012. Di mata Pertamina, kerugian hanya bisa ditutup dengan menaikkan harga jual mendekati keekonomian. Di mata masyarakat: beban biaya hidup semakin berat.

Dalam pemahaman saya, penyesuaian harga elpiji oleh Pertamina kali ini bisa diterima. Harga Indeks Pasar mudah dipahami setelah membaca buletin. Akan tetapi, di mata sebagian warga yang tidak terdedah informasi hitung-hitungan ini, atau warga dengan tingkat pemahaman rendah, kenaikan harga tetap saja berarti beban. Harga naik = hidup susah. Mereka ini yang tidak akrab dengan kata-kata ‘penyesuaian’, ‘konversi’, ‘harga acuan CP Aramco’, ‘audit’ atau sekadar ‘nonsubsidi’.

“Lo, iya tho? Sejak kapan?”

Tugiyo (80), seorang petani yang saya jumpai di teras rumahnya di sekitar Jalan Pemuda, Wonosari, Gunungkidul, Senin (15/9), tersontak kaget. Kepalanya tiba-tiba ditegakkan. Yang akan diwawancara malah balik bertanya-tanya. Pria tua dengan senyum lebar itu rupanya belum tahu, harga elpiji yang biasa ia pakai sehari-hari, naik sejak 9 September. “Jadi berapa harganya sekarang?” Saat saya jelaskan alur harga baru sejak dari Pertamina, agen, sampai eceran, Tugiyo baru manggut-manggut, melepas kacamatanya.

“Pemakaian saya dan mbah wedhok tidak seberapa. Cuma untuk sayur, lauk, sesekali.” Tugiyo ditemani istrinya menyambut saya di teras rumah. Harta yang disayanginya, Piaggio Vespa warna gading tahun ’82, terparkir rapi persis di depan tempat kami duduk. Katanya skuter itu menyedot dua liter bensin campuran yang habis setelah seminggu. Gaya Tugiyo lebih mirip seorang pensiunan direktur ketimbang seorang petani. Rupa-rupanya mereka tinggal sendirian. Ditinggal 2 anak yang bekerja di Australia dan Kanada, dan 1 anak bungsu yang mencari penghidupan di Bakauheni, Lampung. Satu dari lima cucunya bahkan sudah bekerja di sebuah bank ternama.

Tugiyo tergolong warga suburban kalangan menengah (kalau tidak mau disebut kalangan atas) --dia juga mengaku baru saja menjual Volkswagen Combi seharga 67 juta, dan beberapa kali terbang ke Amerika. Di samping rumahnya menempel toko kelontong luas yang pintunya sudah tertutup lantaran “tidak ada yang mengurusi”. Ketidaktahuan Tugiyo atas rencana korporasi Pertamina memberi isyarat, bahkan kelas masyarakat yang jadi sasaran utamanya, belum tahu latar dan seluk-beluk penyesuaian harga elpiji 12 kilogram. Mungkin televisi jarang ditonton sementara bahasa koran terlalu canggih. Tugiyo malah senang dengan penjelasan lembar komik bergrafik Serial Edukasi LPG yang saya tunjukkan padanya. “Ooo… begitu.” Selebihnya ia lebih tertarik mengobrol soal politik.

Warga lain, Sunarti (55) punya cerita beda lagi. Ibu dua anak dan istri seorang guru negeri mengaku sudah lama meninggalkan gas 12 kilogram. “Tabungnya ada, tapi tidak saya isi. Sudah lama, sejak naik di atas 50 ribu.” Menurutnya, harga di atas lima puluh ribu rupiah cukup berat padahal pemakaian sehari-harinya juga sedikit. Di teras rumahnya Sunarti membuka usaha kelontong, dan es. Ia juga berjualan tabung gas 3 kilogram meski tak seberapa banyaknya. Dari situ saya bisa lihat rumahnya sudah berubin sampai ke tembok, ada dua sepeda motor, dan kulkas dua pintu di dalam sana.

Demi kebutuhan dapur sehari-hari, Sunarti mengaku lebih memilih tabung gas 3 kilogram. Di samping ringkas, ia merasa juga lebih pas dengan pemakaiannya. Satu tabung 3 kilogram bisa ia habiskan dalam 2 minggu, kadang lebih lama. Tapi begitupun, Sunarti menyayangkan rencana Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. “Yo jelas memberatkan lah. Bisa jadi apa-apa naik, kalau elpiji naik.” Sunarti memahami kenaikan gas akan sama dengan kenaikan bensin, bisa memengaruhi harga banyak barang. Saat saya jelaskan beda naik gas dengan naik bensin, barulah juga ia menganga paham. “Tapi tetap saja memberatkan, Mas.”

Ditolak agen

Yang menarik, dari pengakuan Sunarti saya mendapatkan fakta baru. Saat saya tanya soal jual-beli tabung gas 3 kilogram, ia mengaku tidak bisa mengambil dari agen elpiji yang persis berada di samping rumahnya. “Tidak boleh sama agennya. Jadinya saya ambil di agen yang jauh dari sini, angkut motor.” Konon, setiap agen sudah mendapatkan jatah pembelinya sendiri-sendiri, apalagi pembeli untuk menjual kembali seperti Sunarti.

Agen juga menolak pembelian tabung 3 kilogram oleh pegawai negeri sipil, pembeli dengan mobil pikap, atau individu di luar penjatahan. Sunarti yang sejak awal tidak termasuk warga tidak berhak mendapatkan paket kompor dan elpiji 3 kilogram dari pemerintah, harus rela jika kapasitas elpiji di agennya minim. Saat wawancara, saya mendapati enam tabung elpiji hijau di warung Sunarti kosong melompong lantaran belum mendapat jatah.

Dari tiga agen elpiji yang sempat saya datangi di kawasan kota dan pinggiran Wonosari, hanya satu yang menyediakan tabung 12 kilogram. Konsumsi masyarakat pinggiran, kaya atau miskin, ternyata sama-sama memakai gas 3 kilogram. Terjawab sudah kebingungan saya mengapa Tugiyo dan beberapa orang lain bahkan tidak tahu ada info perubahan harga elpiji 12 kilogram. Sistem distribusi dan pasokan bergantung pada tingkat permintaan: hukum ekonomi sederhana.

Momentum untuk Mendidik masyarakat

Masyarakat kita majemuk, tapi punya kecenderungan mendasar: ingin hidup nyaman dan enggan perubahan. Pertamina sebagai BUMN sebetulnya punya banyak momentum untuk mengirimkan pesan pendidikannya bagi masyarakat, terkhusus semua hal terkait bijak-penggunaan energi. Meski sebetulnya sudah mengantisipasi “suatu saat harga (bensin, gas, listrik) akan naik ini”, tetap saja banyak orang akan kaget dan mengeluh saat waktu penyesuaian harganya tiba.

Kebijakan Pertamina membatasi kuota pengiriman bensin Agustus lalu saja, yang lewat media berkali-kali dijelaskan sebagai “langkah antisipatif melindungi kuota 56 juta kL agar aman hingga akhir tahun”, tetap membuat panik dan saling sikut. Di Yogyakarta, empat-lima SPBU jadi titik antrean mengular. Selain sepeda motor, makin banyak pula warga yang antre karena mendadak jadi pengecer dengan datang membawa dua-tiga jerry can. Artinya apa? Mental “tidak siap perubahan” kemudian memicu masyarakat berlaku curang, mementingkan diri sendiri, dan malas berhitung.

Masyarakat kita mayoritas kalangan menengah-ke-bawah, akan tetapi akal pikiran cerdik mudah terpicu dan memunculkan masalah baru di lapangan. Di sebuah pangkalan elpiji beberapa hari yang lalu saya saksikan jelas tertulis “Menyediakan tabung gas 3Kg.” Ini pasca-kenaikan harga elpiji 12 kilogram. Secara pribadi saya berasumsi, ada juga agen yang “cerdik” memanfaatkan momen dan berita. Mereka paham, masyarakat suka bersaing untuk mendapat keuntungan, dan bermain dalam kesempitan.

Di kota Yogya dan Sleman harga elpiji 3 kilogram masih berkisar Rp18.000,- hingga Rp19.000,-. Tapi jika yang nakal-nakal ini berhasil membujuk warga meninggalkan 12 kilogram, rantai pasokan lama-lama akan berubah sebagaimana terjadi di Wonosari. Kecerdikan dan bibit kecurangan masyarakat seperti ini mungkin sekadar bentuk spekulasi pasar, sebagaimana lazim dikenal di lantai bursa dengan uang giralnya.

Saran untuk Pertamina

Pertamina mesti menyadari bahwa spanduk BBM Bersubsidi Hanya untuk Kalangan Tidak Mampu sudah tidak efektif, sama halnya dengan stiker-stiker bertulis DILARANG MENGISI KE DALAM JERIGEN. Memang sulit mengamati praktik di lapangan, dengan 1.189 truk tangki ke 10.100 lebih SPBU, atau 97 stasiun pengisian gas. Pemerintah lewat kementerian ESDM juga jarang membantu sosialisasi penyesuaian harga, kecuali untuk bensin yang sarat dengan citra niatan politik.

Untuk itu, Pertamina juga mesti menunjukkan kemauan yang sama untuk menjangkau ketidakpahaman masyarakat atas setiap kebijakan. Kenaikan elpiji 12 kilogram ini jelas ditanggapi beragam, tapi citra (baik Pertamina maupun pemerintah) lewat momen ini di mata masyarakat sama-sama minus. Banyak masyarakat, saya yakin, tidak tahu atau bahkan tidak peduli dengan hitung-hitungan kerugian 2,81 triliun yang diderita Pertamina hingga Juni 2014, dan terancam menjadi 5 triliun di akhir tahun jika elpiji 12 kilogram tidak dinaikkan (Proyeksi kerugian korporasi Pertamina pasca-kenaikan turun hanya 542 milyar, masih jauh dari target).

Masyarakat kita pada dasarnya malas, tetapi mau diajak proaktif. Pertamina selama ini banyak menjelaskan dan mengklarifikasi, tapi jarang bertanya. Masyarakat ingin diberi kesempatan menyuarakan keluh kesahnya. Karen Agustiawan seorang direktur yang suka blusukan, tetapi mungkin kurang mendatangi dapur-dapur rumah tangga kalangan menengah ke atas.

Bahwa penggunaan elpiji 12 kilogram hanya berkisar 17% dari masyarakat, dan didominasi kalangan tengah-atas di Pulau Jawa; bahwa biaya elpiji hanya ¼ dari total belanja bulanan, dan masih lebih murah ketimbang biaya pulsa dan data telepon genggam; bahwa ketersediaan gas ukuran berapapun sangat terjamin lewat 8 tahap distribusi ketat. Pertamina perlu banyak mulut, telinga dan layar untuk menyampaikan statistik kepada masyarakat.

Untuk kebijakan penyesuaian harga ini, Pertamina bisa menggunakan media koran digital, televisi, SMS, atau bahkan media sosial sebagai jembatan komunikasi. Jangan lupa, kalangan menengah kita suka bersosialisasi dan rajin mengkritik, maka Pertamina perlu aktif sana. Spanduk dan stiker tergolong media komunikasi yang jadul. Bisa tetap dipakai, tapi harus didukung cara lebih efektif. Sementara untuk kampanye pengematan energi, Pertamina bisa meniru cara PLN yang menggandeng Sri Sultan H.B. X.

Di samping itu, masih ada juga masyarakat yang menyamakan Pertamina sebagai pemerintah. Jadi begitu gas elpiji atau bensin naik harga, mereka menunjukhidungnya ke kementerian atau presiden. Sebagai BUMN dengan kualitas komunikasi yang dinilai baik (dan VP Corp. Comm. Ali Mundakir yang bersahaja itu), Pertamina harus tegas menjauhkan citranya dari kepentingan pemerintah, dan membuat garis yang jelas di mata masyarakat bahwa Pertamina adalah perusahaan bisnis, sementara pemerintah sebatas regulator.

Pertamina harus mengerti bahwa hubungan perusahaannya dengan masyarakat berdasar pada kemauan kesejahteraan (economical will) yang ingin untung sama untung. Perusahaan terbantu, dan masyarakat tidak rugi. Toh sebenarnya masyarakat bisa memahami setiap perubahan selama komunikasi medianya baik. Sisakan niat politik (political will) untuk dicitrakan pemerintah saja.

Komik Seri Edukasi LPG yang diterbitkan Pertamina untuk kalangan media dan blogger bisa disebarluaskan dengan bahasa lebih sederhana. Bergairahnya Tugiyo di Wonosari ketika saya tunjukkan infografis itu membuktikan bahwa media kreatif bisa mengatasi kemelut salahpaham. Pertamina sebarlah sebanyak-banyaknya media itu dengan kesederhanaan bahasa. Spanduk hanya efektif di zaman saya SMP, sekarang tidak.

Biarkan perusahaan terbesar di Indonesia dipahami dari dapur, pangkalan ojek, atau dari kantor-kantor secara lebih akrab. Jika pemerintah sering arogan dan “palsu” menyosialisasikan kebijakan, setidaknya Pertamina bisa memberi kebaruan yang meyakinkan secara adil, sebagaimana slogannya.

*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun