Peterpan sebagai band telah mengangkat standar musik pop Tanah Air dalam satu dekade terakhir. Bagaimanapun saya berpikir popularitas Peterpan yang meredup di 2010 akan terganti oleh kelompok pop beraliran khas lain seperti D’Masiv dan Nidji, kedua band ini sama sekali mengambil arah yang berbeda. D’Masiv melahirkan musik yang jauh lebih sentimentil dan gamblang, lalu terhempas skandal plagiasi. Sementara produktivitas Nidji berkembang relatif lambat dan bergerilya kuat hanya lewat lagu-lagu tunggal, lagu latar film, bukan album. Walhasil, pesona Peterpan sebagai tokoh musik nyatanya belum tertandingi, sekalipun oleh “jelmaannya”, Noah.
Dalam perjalanannya, Peterpan serupa katarsis bagi band-band yang baru tumbuh. Selain gelayut cengeng band-band beraliran melayu sekitar 2010-an, sebagian grup lain nampak berupaya melahirkan pesona serupa Peterpan. “Mimpi yang Sempurna” seperti doktrin akan cita-cita kesuksesan di dapur rekaman kala itu.
Hanya saja, perjalanan Peterpan sejak lahir dari sebuah emrbio band kafe asal Bandung bernama TOPI, pada 1997-2000, harus kandas begitu saja karena skandal, mulai dari kriminalitas seksual sang vokalis, sampai sengketa penamaan oleh dua mantan anggotanya. Padahal, standar tinggi yang kadung diukir Peterpan dalam jagad musik pop Tanah Air sangat layak dijadikan studi fenomena produksi, bisnis, sampai sosial-budaya para pendengar dan pengamat musik. Apa yang kita lihat kini?
Meski lagu-lagu dari album Taman Langit (2003), Bintang di Surga (2004), dan Alexandria (2005) masih bisa kita dengar lewat radio kini, ada banyak lagu baru substitusi yang membenarkan zaman keemasan Peterpan telah lewat, seiring tenggelamnya popularitas band-band seangkatan seperti Ungu, Kerispatih, Samsons, dan lain-lain. Boleh dikata, masa-masa antara 2004 hingga 2006 inilah lagu-lagu dan musik pop “berbobot” hadir di Tanah Air, dan dapur rekaman pun memanen banyak di tahun-tahun itu.
Peterpan lewat album Bintang di Surga yang memenangkan beraneka penghargaan, mengambil pucuk pimpinan penjualan dengan rekor ‘double platinum’ 2,7 juta kopi di tahun 2005 yang belum terpecahkan hingga kini (ataukah sudah?). Setelahnya, fakta perpecahan tubuh band dan sengketa atas nama Peterpan perlahan-lahan menggeser minat pasar, tapi tidak di mata penggemar mereka. Setelah sang vokalis Ariel menyelesaikan masa kurungan atas skandal seksnya, Peterpan disangka mati. Barulah pada 2012 mereka resmi muncul kembali dengan nama Noah.
Kerinduan terhadap Peterpan sifatnya sangat sosial dan mungkin sentimentil. Meski muncul dengan nama baru Noah, Peterpan mengandung daya magis yang kental karena produktivitas dan karakter lewat tiga album mereka antara 2003 hingga 2005 itu seperti menembus roh pendengar. Noah bisa diterima sekadar pelega bahwa band ini akan tetap berkarya, akan tetapi itu belum cukup mengingat pada kenyataannya banyak gejolak sporadis yang ikut berpengaruh pada produktivitas Noah pasca-kasus Ariel. Meski begitu, dasar kerinduan para penggemar terhadap satu-satunya Peterpan setidaknya bisa ditilik dari dua perspektif berikut.
Pertama: Peterpan sebagai industri.
Adalah Noey, seorang produser rekaman yang kepincut karisma Ariel dan kualitas band Peterpan pertama kali, saat mereka masih berjualan suara dari kafe ke kafe di Bandung, 2002 silam. Noey yang berniat menyusun album kompilasi pop saat itu, langsung meminta Peterpan menyetor tiga lagu mereka untuk diseleksi ke dalam Mimpi 2002 Malam, dan terpilihlah “Mimpi yang Sempurna” lagu yang langsung menjuarai tangga lagu radio kala itu. Lewat titik loncat inilah, Peterpan mengibarkan panji kebesaran mereka di persaingan musik pop Indonesia, setelah akhirnya bergabung dengan studio kenamaan Musica. Dua lagu yang sebelumnya terdepak dari kompilasi Noey “Sahabat” dan “Taman Langit” laris belakangan setelah digabung ke dalam album tunggal.
Sebagai subjek industrialis, Peterpan terbukti berhasil mengomunikasikan karya mereka menembus minat pasar yang kala itu sudah mulai lupa dengan band-band ’90-an seperti Slank, Ungu, dan Dewa 19. Unsur-unsur kebaruan lirik, kreativitas musik, dan kesetiaan para personelnya mengajarkan Peterpan apa yang disebut “kedaulatan pasar”. Saat mengetahui Bintang di Surga laris dan nyaris menembus rekor penjualan, Ariel dkk. mulai menyiapkan album berikutnya, seakan-akan rugi jika mengendapkan ide lagu yang terlanjur ada. Musica Stu. Sebagai atap produksi berani menjual Peterpan sampai ke luar negeri mengikuti minat publik pada kebaruan musik yang ditawarkan mereka.
Sebagai industrialis, Peterpan adalah koin emas bagi banyak bisnis hilir musik Indonesia kala itu, mulai dari radio, acara variety show dan konser televisi, hingga acara-acara temu penggemar yang digerek aneka merek produk. Peterpan dan Ariel, kala itu, adalah mesin uang yang relevan dengan citra produktivitas yang menggairahkan.
Kedua: Peterpan sebagai tokoh.
Meski di banyak analisis informal Peterpan selalu diidentikkan dengan karisma personal seorang Ariel, dalam kenyataannya musikalitas sebuah band tetap bergantung pada efektivitas kerja semua personelnya. Lukman adalah melodis andal yang sudah sama bernilainya dengan pemetik terampil lain seperti Dewa Bujana (Gigi) atau Abdee (Slank). Lukman juga seorang pencipta lagu andal yang menyandingkannya dengan Onci (Ungu), dan kibordis Badai (Kerispatih). Iwan Fals bahkan pernah menyeletuk bahwa seorang Lukman adalah inti dari musik mistis Peterpan.
Di sisi lain, Ariel sebagai vokalis kerap dicitrakan sebagai tokoh sentral dan sang pemikir. Luna Maya (yang pernah terkait skandal asmara dengan sang vokalis) pernah menggambarkan Ariel sebagai thinker, pemikir. Sang vokalis kerap hemat bicara jika sedang memikirkan sesuatu, sementara personel lain konon tidak berani mengganggu kala Ariel sudah berkonsentrasi menyusun puisi untuk lirik-lirik lagu mereka.
Dalam kategori sederhana teori pemetaan pikiran (mindmapping), Ariel tergolong persona seorang thought leader(pemimpin pemikiran), berseberangan dengan karakter do leader (pemimpin perbuatan). Ariel adalah seorang konseptor yang kaya akan ide-ide beda, terampil mengelaborasi pengalaman dan mimpi menjadi narasi, dan cakap mengomunikasikan konsep pemikirannya dengan kepemimpinan yang tidak tegas namun akrab. Di sisi lain, konsekuensi seorang pemimpin pemikiran adalah kecenderungan emosional, tertutup, dan misterius. Orang-orang seperti Ariel melahirkan banyak keajaiban dari ruang pemikirannya sendiri, dan muncul di permukaan sebagai sosok yang secara metaforis sulit disentuh (Between Minds, Mindjet & Jess, 2004).
Lirik-lirik lagu dalam album Bintang di Surga dan Alexandria setidaknya mengonfirmasi cara berpikir Ariel yang berbeda ini.
Peterpan selain memiliki Ariel, ternyata juga berhasil mengirimkan pesan konsistensi kepada para penggemarnya, terutama setiap kali mereka didera isu miring. Saat Indra dan Andika hengkang November 2006 membentuk The Titans, Ariel bersama Peterpan hanya perlu waktu kurang dari setahun untuk kembali menggebrak lewat albumHari yang Cerah. Ada perbedaan kecil dari komposisi musik mereka, bukti masa-masa perbaikan yang dilakukan pasca hilangnya sentuhan kibordis dan gitar yang sangat kental di album-album sebelumnya. Akan tetapi, penurunan kualitas tipis di album keempat ini toh tidak jadi cela, karena di sisi lain band-band kompetitor mereka tidak banyak menonjol.
Peterpan sebagai tokoh perlahan-lahan menapaki ladang legenda musik, sebagaimana yang pernah diutarakan pengamat dan apresiator musik sekelas Bens Leo, “Peterpan tidak akan tergantikan, baik dari segi musikalitas, maupun karakternya”. Penilaian objektif seperti itu sulit disanggah, lantaran di banyak dimensi personalitas Peterpan sebagai kelompok musik maupun para pemainnya, citra Mimpi yang Sempurna benar-benar terjadi. Di dunia luar mereka terutama para kompetitor, tidak ada jalan lain menyalip popularitas band ini kecuali menggubah aliran musik baru dengan karakter yang sangat berlainan, seperti Melayu, Pop-Dangdut, ataupun Pop Disko.
Hubungan sentimentil
Sebagai bonus dari produktivitas industri, kekuatan karakter, dan teknis musikalitas yang konsisten inilah, Peterpan layak disebut sebagai duta revolusi musik pop di Tanah Air. Terlebih lagi, di mata penggemar-penggemarnya, Peterpan seperti role model, teladan yang sulit tertandingi. Meskipun skandal dan sengketa tidak bisa diputus dari sejarah perjalanan band ini, para penggemar mereka masih rela antre dan menjerit-jerit setiap kali Ariel dkk. bergerak keluar kandang. Hubungan sentimentil ini kemudian yang layak diramu ke dalam studi sosial-dan-budaya.
Hannah Carswell, Master Seni dari Georgia State University pada tahun 2013 khusus melingkup Peterpan dalam studinya berjudul “Feminity and Masculinity in Indonesian Popular Music Videos”, mengutarakan hipotesis dan pandangan akademisnya terkait hubungan presepsi maskulinitas seorang sosok dan atau produk seni, dengan cara pandang para penggemarnya, publik luas, juga pemerintah.
Lewat tesis ini, Hannah mengangkat klip video Peterpan “Tak Ada yang Abadi”, sebuah lagu pamungkas dalam album Sebuah Nama Sebuah Cerita, di masa-masa mereka mulai berencana menanggalkan nama Peterpan. Hannah membedah keterkaitan konsep maskulinitas yang ditonjolkan klip video tersebut, feminisme urban, dan tak kalah menarik adalah merangkum sejumlah komentar penggemar Peterpan (yang mayoritasnya remaja perempuan), terutama pandangan mereka tentang materi musik dan tokoh pemerannya. Hasilnya, Hannah menemukan tidak ada kekhawatiran khusus antara anarki atau kesalahan hukum di dunia nyata, dengan penghargaan terhadap musik musisi yang bersangkutan. (Laporan lengkapnya bisa dibaca di sini)
Penemuan Hannah yang bersuami seorang Bali ini menarik, karena membenarkan bahwa kebanyakan penggemar grup musik di Tanah Air, tidak terkecuali mereka fans Peterpan, bahkan tidak melihat kecacatan personalitas atau rekam jejak karakter dalam band sebagai cela bagi karya-karya mereka. Ini juga menegaskan pandangan kolektif orang-orang di Tanah Air bahwa musik yang baik akan selalu diterima sebagai "pemenang" di dalam belantara industri hiburan yang lebih banyak "mengganggu" dan "cengeng".
“Ada suara-suara minor tentang perbuatan Ariel di dunia nyata, tetapi bagaimanapun para responden sepakat bahwa karya [musik] seseorang harus dipisahkan dari skandalnya,” demikian satu simpulan Hannah terkait komentar para penggemar Peterpan. Ia mewawancarai sejumlah orang secara langsung, dan menyitir komentar-komentar di bawah video “Tak Ada yang Abadi”. Hasil ini terlihat sederhana: karena kebanyakan penggemarmemang cenderung irasional saat berhubungan dengan isu legal dan moral. Hanya saja, di sisi lain penemuan ini mengonfirmasi hipoteses umum bahwa Peterpan, sama seperti band berpengaruh lainnya, akan sulit untuk dilupakan, apalagi ditinggalkan.
Hubungan sentimentil yang terpatri dalam ingatan publik Tanah Air tentang sebuah band “Negeri Dongeng” dan “Bintang di Surga” hanya terwakili oleh Peterpan. Band-band lain datang dan pergi atau grup-grup vokal Korea mulai membanjiri, tetapi Peterpan tidak akan terganti, begitu kira-kira pandangan umumnya.
Dalam kenyataan pasar musik dan pengamatan sosial masyarakat kita terhadap budaya pop, Peterpan muncul sebagai anchor, jangkar memori yang terlalu kuat untuk diabaikan begitu lagu-lagu seperi “Sahabat”, “Yang “Terdalam”, atau “Semua tentang Kita” disisipkan di antara deretan lagu “lebih baru” masa kini. Jauh di dalam hati, Peterpan seperti masih hidup, dan hanya tidur untuk bangkit kembali. Noah mungkin akan mengobati dengan serpihan tokoh yang serupa, tapi keterkaitan perasaan banyak orang hanya pada Peterpan. Meski cinta seperti hal lainnya “tak abadi”, sosok misterius yang menggugah itu tidak pernah terganti.
*