Nyonya Nela Saputri Kuandow duduk dalam kegugupan yang coba ia tahan. Sudah hampir setengah jam ia menceritakan kejadian yang menimpanya selama tujuh belas tahun menikah dengan suaminya. Ruangan itu berjendela kecil-kecil dan hanya ada satu salib menggantung di sudut koridor. Karpet Persia dan perabotan dari mahoni menghiasi bagian tengah. Di seberang meja, Profesor Hukum-Psikologi I Wayan Candra mencoba mengarahkan tamunya. Seorang konselor ibarat obat, setiap perkataannya haruslah menyembuhkan.
“Yah, Bu Nela. Kalau saya boleh bilang, sejauh ini semua hasil konseling saya berhasil. Dan pun dengan kasus Anda, akan saya usut. Sekarang, katakan, apa yang Anda hadapi?”
Sebisa mungkin kontak mata dengan tamunya tidak terganggu. Saat profesor itu merasa mulai mengetuk ruang ketenangan batin tamunya, ia justru tiba-tiba tidak mengerti.
“Raksasa.”
Nela Kuandow malah semakin tidak tenang setelah mengungkapkan ketakutan yang kini makin jelas dari dua bola matanya. Pandangannya basah dan berganti-ganti tidak keruan. Kendali batin jauh dari harapan, pasien itu semakin gelisah dan mulai meremas-remas tasnya. Profesor I Wayan Candra menarik badannya bersandar ke kursi. Raksasa yang dimaksud pastilah sangat besar, melebihi bayangan ketakutan seorang perempuan.
Bel dari jam dinding berdentang begitu saja.
***
Keluarga itu dulunya bahagia. Mereka membeli rumah bergaya Georgia di tenggara kaki Merbabu dan merasakan hawa sejuk pegunungan, cocok untuk peribadatan yang tenang dan masa tumbuh yang sehat. Anak-anak mereka didik dengan disiplin tinggi meski tak ada latar militer sama sekali dari garis buyut mereka. Hans Kuandow dan istrinya terbiasa dengan hidup berderma karena mereka sepakat bahwa kebahagiaan orang-orang lain merupakan janji surga. Oleh para tetangga, keluarga kecil ini sering dijuluki Keluarga Putih, karena memberi tanpa maksud apa-apa. Kehidupan kaya mereka yang ibarat jarum emas di antara tumpukan jerami dianggap sebuah kewajaran. Sebagaimana kisah Gideon, Tuhan selalu menunjuk hamba terbaiknya untuk membantu hamba-hamba lain yang tidak beruntung.
Hans Kuandow bekerja ganda sebagai pengacara perdata, filantropis, dan anggota majelis gereja. Luas-luwes pergaulan melambungkan namanya di banyak daerah, dan mengganjarnya penghormatan tinggi dari orang-orang di lingkungannya. Ia dianggap inspirator di gereja, mesin penggerak di sekolah, dan seorang penasihat hukum yang independen. Nela Kuandow mendampingi suaminya dengan kepatuhan naluriah. Dengan jaminan finansial kehidupan yang lebih dari cukup, Nela Saputri Kuandow paham mengapa ia harus memenuhi arahan suaminya untuk meninggalkan pekerjaan dan mengurusi anak di rumah. Kecantikanmu lebih dibutuhkan anak-anak daripada orang lain, sayang. Kalimat rayuan itu tertulis di sebuah kertas marun berbingkai, tersembunyi di kamar tempat mereka sering memadu kasih.
“Tapi keharmonisan rumah tidak bertahan lama…” Nela, dengan kelemahan hati seorang istri dan ibu, akhirnya bercerita soal akar masalahnya. Di ruangan konseling Profesor I Wayan Candra, Nela terdampar. Ia tidak tahu harus mengadu ke siapa lagi, setelah semua tempat yang paling mungkin bisa menolongnya, malah melepas tangan. “Dua tahun belakangan, suami saya mulai terlalu sibuk dengan Fresko --kami mendirikan sebuah sekolah ksederhana untuk anak-anak kelas atas, di Solo. Bisnis itu berkembang cepat karena banyak orang rela membayar berapapun untuk membanggakan anaknya yang juara kelas atau olimpiade. Sebagai risiko, waktu suamiku banyak tersita di sana, sampai saya mulai merasa dia lebih senang menyibukkan diri mengurusi orang lain ketimbang keluarganya sendiri, ketimbang… anak-anaknya sendiri.
“Suatu malam, saya mulai menegurnya. Tapi entah karena waktunya kurang tepat atau dia kelewat lelah, akhirnya kami malah bertengkar. Saya terus mengingatkannya tentang tujuan kami berderma, anak-anak kami, dan apa yang pernah disebutnya prioritas keluarga. Akan tetapi dia malah berkata bahwa kesibukannya juga untuk keluarga --yang tidak bisa saya terima karena dia selama duapuluh empat jam lebih banyak di luar rumah ketimbang menemani keluarganya. Jedi, anak kami yang bungsu, mulai sering menangis setiap melihat ayahnya marah. Sebelum-sebelumnya, bahkan pe-er sampai mainan Jedi diurusi suami saya, sebagai ayah-anak mereka akrab sekali. Tapi entahlah, Profesor, pikiran seorang laki-laki dewasa siapa yang tahu. Mungkin suami saya jenuh, atau ada sesuatu yang berat yang dipendamnya. Yang jelas, aku ingat betul bagaimana tamparan pertamanya mendarat di pipi saya.”
Profesor I Wayan Candra menyodorkan tisu.
Nela berusaha mengatur bicaranya di antara isak tangis. “Sejak malam itu, tidak terhitung lagi berapa kali ia menampar, memukul, menginjaki tubuh saya. Bahkan saat kami berpisah kamar, ia kerap tiba-tiba datang dan marah-marah, menyeret saya dan bilang ‘aku kepingin bicara!’ tapi bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saya berusaha memenuhi kewajiban tapi sepertinya pikirian suami saya selalu kalut, dan saya terus menerima pukulan, tamparan, tendangan.”
Gerak tangan Nela sempat terhenti karena melihat reaksi khawatir dari profesor di depannya yang tampak malu, tetapi ia akhirnya membuat konselor itu mengerti. Dua kancing baju atasnya ia buka, ia tarik kerah kemejanya ke samping melewati pundak, dan terpampanglah dua memar biru kemerahan di bagian dada atasnya itu. Profesor Candra tak kuasa melihat lama-lama sebelum akhirnya Nela merapikan kemejanya kembali.
“Tolong saya, profesor. Setelah semua upaya pertolongan yang saya coba, Anda adalah jalan terakhir saya. Kalau tidak…” Nela kembali menangis, ditutupinya matanya dengan kedua telapak tangan. “Saya tidak pernah ingin bercerai, Prof. Tidak, untuk anak-anak saya. Tapi kekerasan ini terlanjur menyiksa saya, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Saya tidak ingin… anak-anak saya mewarisi kenangan yang buruk.”
Profesor I Wayan Candra menggaruk dagunya. Ia sudah mengirimkan pesan saya akan membantu Anda. Tapi pikirannya masih terngiang-ngiang, raksasa.
***
GPIB Amartoyudan dijalankan dengan “saham” publik yang besar. Setidaknya hal itu tergambar dari kompleks peribadatan persegi empat sayap, cat putih gading yang selalu diperbarui setiap enam bulan, plasa tengah yang diteduhi pohon-pohon beringin tua, dan lapangan rumput yang tak alpa dirawati oleh empat-lima tenaga lepas berseragam oranye. Di bagian dalamnya, jendela-jendela besar dengan ukiran akrilik dan fresko di langit-langit mendominasi beberapa bagian utamanya. Lantai sebagian marmer putih dan sebagian lainnya tegel tua yang dijaga kerapiannya, membentang dari semua penjuru hingga ke ruang tunggu dengan internet gratis bagi para tamu. Profesor I Wayan Candra duduk di sebuah bangku panjang di sisi dinding ruang tunggu itu, membaca National Geographic dari ponselnya ketika seorang staf perempuan menyapanya dari satu pintu yang baru saja terbuka.
“Silakan, Profesor. Pendeta sudah menunggu.”
Pendeta Kirmanto Yesa berdiri menghadap ke dinding belakang kursinya, menghadap lemari plakat dan berbagai penghargaan yang memenuhi semua pandangan. Dua tangannya ditautkan di belakang badan sementara kepalanya mengikuti sejarah perjuangan gereja itu tahun demi tahun dari foto, sertifikat, piala, atau sekadar cinderamata di atas sana. Cahaya matahari pagi yang jatuh dari samping melengkapi kilau kebanggaan yang terpancar dari suaranya. Di belakangnya, Profesor I Wayan Candra memperkenalkan diri sambil tetap berdiri. Maksud kedatangannya sudah lebih dulu diketahui.
“Saya rasa kita berdua sepakat, Profesor…,” ujar Pendeta sebelum membalik badan. “bahwa niat baik akan selalu disambut baik. Niat buruk…, sebagaimana ajaran Kristus,” Pendeta itu tersenyum, memperlihatkan lipatan bibirnya yang terawat, hidung yang tegak, dan kening yang bersih dengan sedikit kerutan. Ia mempersilakan tamunya duduk sembari ia menarik kursinya sendiri, menautkan jari-jarinya di permukaan meja dan menyorotkan pandangannya fokus dari balik kacamata kecil berantai emas. “Sebagaimana ajaran Kristus… Niat buruk… tetap kita balas dengan niat baik.” Senyumannya semakin terkembang ketika seorang pelayan menyela masuk dan mengantarkan dua cangkir teh hijau hangat.
“Saya yakin, masalah yang membawa Anda kemari selalu bisa diselesaikan dengan diplomatis. Ajaran gereja kami selalu menekankan pada jalan diskusi, bukan anarki. Sekarang, Profesor, apa yang bisa saya bantu?”
Profesor Candra menyesap teh. “Sederhana saja,” ujarnya. “Saya tertarik mempelajari nilai-nilai keadilan yang diajarkan gereja ini. GPBI Amartoyudan, gereja Protestan terbesar di Yogyakarta, tentu punya integritas cukup yang memaknakan nilai-nilai keadilan bagi setiap jemaatnya.”
“Tentu saja.” Pendeta Kirmanto Yesa mengangguk paham. “Kami percaya pada nilai keadilan Tuhan. Confessio fidei. Semuanya telah termaktub dalam Kredo, Jalan Pengakuan Iman. Kami percaya bahwa keadilan, kesetaraan, kepercayaan, keteguhan, penderitaan, kedaulatan iman yang disampaikan oleh Kristus, terjalin hingga zaman kita saat ini. Dari para buyut hingga cicit-cicit kami kelak, ajaran itu tidak akan berubah. Firman-firman Allah menyebar lewat udara, air, dan tanah yang kita hidup, makan dan minum setiap hari. Kami melayani umat tanpa membebani hidup mereka. Kami memberikan bantuan kemanusiaan tanpa pendataan bertele-tele. Bukankah konsep dan nilai keadilan seperti itu yang Anda maksud?”
Profesor I Wayan Candra mengangguk. “Saya percaya itu.” Dalam ajaran Hindu sekalipun, konsep keadilan dijabarkan dengan rumus abadi yang diwariskan berabad-abad. “Tapi bagaimana jika… ada seorang umat, yang dekat dengan gereja ini, hidup dengan kepercayaan Kristus yang dalam akan kredo yang baru saja Anda sebutkan, harus menjalani hari-hari pahit karena tidak merasakan keadilan itu?”
“Oh, saya paham apa yang Anda maksudkan.” Keramahan di wajah pendeta ini pudar sudah. Sorot matanya nampak lebih gelap dan kehilangan simpati. Gerak-gerik tangannya jadi gelisah.
“Nela Saputri Kuandow, harus menutupi banyak cerita dari anak-anaknya tentang luka-luka, memar, dan air mata yang dia alami dari kekerasan yang dilakukan suaminya, Hans Kuandow, jemaat Anda. Oh, atau saya lupa menyebutkan, diaken?”
“Saya sarankan Anda menjaga tutur kata, Profesor.” Pendeta Yesa mencondongkan badannya ke depan dan mengirimkan sinyal ancaman lewat tatapan matanya. Meski senyum masih tergurat dari sudut bibirnya, maknanya sudah lain. Senyuman itu menyampaikan ketidaknyamanan yang meninggi, dihantui ketakutan yang samar. “Sebelum Anda mulai mempertaruhkan gelar Anda untuk tuduhan yang belum terbukti, baiknya kita bincangkan hal yang lebih berguna.”
Tiga lembar kertas foto dilemparkan ke atas meja begitu saja oleh profesor itu, dan tampaknya pendeta tidak menyangka tamunya akan melakukan itu. Ia pandangi foto-foto itu. “Apa ini?”
“Foto-foto.”
“Ya. Saya tahu apa ini. Tapi foto apa? Anda telah menghina saya dan gereja dengan memperlihatkan foto-foto bagian tubuh perempuan tanpa peringatan. Anda…”
“Itu foto pundak, punggung, dan kaki Nyonya Kuandow melengkapi cerita yang ia utarakan kepada saya perihal kekerasan yang dilakukan suaminya. Saya tahu Hans Kuandow adalah orang penting bagi gereja ini --dan mungkin juga bagi kelangsungan karir Anda, tetapi apa yang telah dilakukannya telah melanggar banyak garis ajaran Kristus yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Anda pastinya juga berpikiran itu tetapi mengabaikan begitu saja semua laporan!”
“Desas-desus, Profesor…”
“Desas-desus? Apakah foto-foto ini tidak membuktikan apa-apa, dan apakah hasil visum et repertum di tas saya bahkan belum akan meyakinkan Anda? Ada bukti sidik jari di benda-benda yang ditunjuk oleh Nyonya Kuandow dan semuanya merujuk pada suaminya.”
“Tapi itu tidak membuktikan tuduhan kepada orang tertentu, bukan? Nyonya Kuandow orang penting bagi gereja ini, juga jemaat kami. Begitu pula suaminya, dia penyandang dana terbesar kami selama setidaknya…. Sebelas tahun. Bagian penting majelis, seorang diaken. Tidak ada yang melampaui kesetiaannya pada gereja dan Kristus. Di banyak waktu mereka datang kemari dalam keharmonisan yang membuat iri siapapun, dan dengan kewibawaan yang tiada tandingannya. Saya tidak berpikir sama sekali bahwa Tuan Hans, sebagaimana Profesor bilang, benar melakukan hal mengerikan. Itu… bagaimanapun, bukan wewenang kami?” Pendeta Yesa lalu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, kembali menyilakan tamunya menikmati minuman. “Pernahkah terlintas di pikiran Anda, Profesor… mengapa Nyonya Nela melaporkan kejadian yang menimpanya kepada ‘orang luar’, seperti Anda? Saya yakin Anda tidak ada hubungan keluarga, pekerjaan sebelumnya, atau komunitas tertentu dengan Keluarga Kuandow?”
“Karena Gereja Anda tidak melayani perempuan lemah seperti dia!” Profesor Candra memukul meja, tapi tampaknya pendeta itu tidak terganggu sama sekali. Pendeta itu hanya menggeleng.
“Lalu Anda pikir, mengapa Nyonya Nela malah sibuk mencari ‘pihak lain’ dan tidak melapor ke polisi?”
Profesor Candra sejenak tak bisa membalas. Ia sama sekali belum kepikiran jawaban untuk itu. “Em… saya yakin Nyonya Kuandow punya pertimbangan tersendiri untuk itu. Anak-anak mereka menanyakan banyak hal, bahkan hal-hal paling kecil yang tidak bisa dijawab oleh seorang ibu. Nyonya Kuandow bahkan tidak berniat menceraikan suaminya. Dia hanya ingin gereja tahu yang sebenarnya, dia ingin perlindungan dari sekelilingnya.”
Pendeta Yesa tetap menggeleng.
“Katakan, sudah berapa kali Nyonya Kuandow datang kemari, tujuh, delapan? Saya yakin sudah puluhan kali ia melaporkan kasus KDRT ini kepada Anda, kepada majelis diaken, atau mungkin para pekerja di sini juga sudah sependapat. Mengapa Anda, pemimpin gereja, seperti tikus kecil yang menghadapi harimau yang rela membayar lebih?”
“Kami tidak tunduk pada uang, jika itu yang Profesor maksudkan. Sumbangan lima milyar setiap dua tahun tidaklah terlalu besar sebetulnya, tapi tidak ada orang yang punya kelebihan dana seperti Keluarga Kuandow. Seperti yang sudah saya bilang, Profesor. Tugas gereja adalah menjamin nilai-nilai jemaat. Kami bertanggung jawab atas umat lebih banyak ketimbang mengurusi rumah tangga orang. Kami selalu menasihatkan perdamaian setiap kali Nyonya Nela melapor, tapi itupun kami meminta dia berpikir tenang dan mungkin akan membantunya menghilangkan dosa-dosa. Di majelis, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif. Meski saya secara pribadi bersimpati kepada Nyonya Nela, kuasa saya tidak sebesar keputusan majelis yang dapat menentukan siapa yang masuk dan yang keluar.
“ Jika Anda meminta solusi atas masalah ini kepada saya, sejauh yang bisa saya bantu, adalah menyarankan Anda untuk menanam pengaruh pada diaken. Jika tidak bisa secara finansial, mungkin gelar Anda bisa dipakai. Hanya saja, saya tidak jamin tembok tebal di dalam sana bisa Anda luluhkan begitu saja dengan pidato ilmiah. Masalah ini, Profesor, telah kami jaga selama beberapa bulan terakhir hanya agar jemaat bisa beribadah seperti biasa. Kami menghindari skandal dan risiko yang lebih besar. Jikapun lima milyar tidak terlalu besar, ada jaminan kami akan timpang tanpa bantuan dana itu.”
Pendeta Yesa akhirnya melepaskan ketakutannya tertumpah di atas meja. Kekhawatirannya terpancar jelas kini. Bukan polemik kekuasaan atau paradoks nilai-nilai keadilan yang menghalanginya, tetapi bayang-bayang kehancuran institusi yang dipimpinnya. Ia memajukan badannya sekali lagi, kali ini dengan ketenangan biasa. “Saya, atas nama gereja, berterima kasih atas perhatian Profesor. Tapi… saya benar-benar tidak bisa membantu. Selamat siang.”
“Ohoho… manusia memang lemah.” Profesor Candra mengambil ketiga foto di atas meja kemudian bangkit mengemasi tasnya. “Mengapa Anda tidak menghadap ke dinding satu itu kemudian memohon agar Anda diberikan kekuatan mempertahankan kejujuran yang anda bangun berpuluh-puluh tahun. Saya yakin Tuhanpun kecewa, jika melihat Anda mengajari umat sekali lagi tapi menyadari gugup-takut dari wajah Anda yang semakin tua. Hidup ini singkat, Pendeta. Bertobatlah selagi sempat.”
Yesus Kristus diam saja dari tenggeran salib mahoni di atas dinding samping. Kirmanto Yesa tetap di kursi saat tamunya pergi.
Koridor gereja yang berseberangan dengan semacam gedung tinggal itu tidak terlalu ramai. Profesor I Wayan Candra berbelok keluar dan mendapati Nela Saputri berdiri di sana, di bawah pohon di dekat tukang kebun menyiram rerumputan.
“Nyonya, kan saya bilang silakan tunggu di rumah.”
Nela masih gugup, menyilangkan dua lengannya di depan dada. Baju hangat merah jambu dilapisi kaus putih di dalam seperti tidak menahannya dari terpaan angin. “Bagaimana hasilnya, Prof?”
Profesor Candra menggeleng, dan dengan tutur kata sopan menjelaskan apa yang telah dibincangkannya bersama pendeta beberapa saat lalu. Mendengar jawaban itu Nela Saputri menangis, menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Gereja ini seperti telah asing baginya. Setiap mata yang memandang padanya seakan-akan ingin menerkam. Dan baru saja ketika pundaknya coba ditepuk-tenang oleh profesor, sebuah SUV putih merapat rapi ke lahan parkir. Dari balik pintu-pintunya muncul dua orang --seorang berpakaian jas tertutup dengan dasi merah, dan satunya lagi berkemeja abu-abu dengan kancing paling atas dibiarkan terlepas. Jadi inilah sosok-sosok kekuatan besar yang menghidupi banyak gereja. Diaken, badan mereka tegap dengan wibawa tak tertandingi di balik senyuman palsu. Nela memberi isyarat kepada profesor Candra untuk segera melarikannya ke mobil.
Laki-laki dengan kemeja abu-abu itu berpisah dengan rekannya kemudian mengikuti ke sudut taman, memanggil-manggil. “Mama… mama!” Senyuman itu dipasang selebar mungkin tapi nampak seperti seringai raksasa bermata merah di benak Nela. Ia lalu meminta profesor bergegas. Sedan Corolla itu berbunyi membuka central lock, dam mereka berdua melompat masuk nyaris bersamaan. Deru mesin membawa mereka menjauh ketika lewat jendela belakang, Nela melihat serigala itu meraung-raung, mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara dan menyentak-nyentakkan kakinya ke tanah. Mangsa lepas. Di kursi penumpang Nela menangis.
Dan meski berupaya menenangkan pasiennya, Profesor I Wayan Candra tidak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya sendiri teringat sebuah jawaban atas pertanyaan, jadi raksasa inilah yang ditakutkan, juga sebuah institusi yang buta dengan masalah di dalam tubuh mereka.
---------------------
Ilustrasi: live.viva.co.id
**