Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Harpis dan "Cerebellum"

28 Oktober 2014   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:23 71 4

*

Cerita ini dimulai pada 1996, ketika peleton tak berseragam A.B.R.I. menyerbu kamp para astronom di Vila Cakra Winata, sebelas kilometer tenggara observatorium Bosscha. Acara reuni dan makan malam bubar begitu sepatu-sepatu laras berderap di atas rumput dan dentingan kokang M-16 memecah keramaian. Lagu Can’t Smile Without You akhirnya terabaikan. Operasi “pembersihan” yang dikomandoi langsung oleh Danjen Kopassus itu menyasar para peneliti yang dianggap “mengancam Repelita dengan teori Stephen Hawking tua”. Tiga dari enam astronom yang ditangkap dinyatakan meninggal setelah interogasi, sementara tiga lainnya diasingkan dari liputan publik, dipindahkan ke Rumah Sakit Kejiwaan Heerdjan sebagai orang terlantar tanpa hak politik sama sekali. Empat belas tahun kemudian, satu-satunya yang selamat dari perawatan kejiwaan itu, Hamdan Rasyidi, pulang dengan kursi roda. Lulusan  Max Planck Institute für Astronomie Heidelberg itu menahan sisa kehidupan di wajahnya yang tampak sepuluh tahun lebih tua dari yang semestinya.

**

Afina Rasyidi, enam belas. Gadis ini adalah malaikat. Ia serupa pusat semua pemecahan teka-teki kosmosis yang meliputi rasa penasaran, penemuan, perhitungan, perdebatan, dan rasa haus petualangan, unsur-unsur kekuatan pikiran dan perasaan manusia.Keberadaannya berangkat dari kebersatuan cinta dan kesepahaman, sementara pertumbuhannya dilingkupi kasih sayang penuh yang tak banyak bicara. Ibunya terpaksa bekerja di sebuah Yayasan Kanker dan nyambi menjadi petugas penyuluhan untuk membayar kebutuhan sehari-hari mereka, begitupun biaya sekolah. Afina tumbuh ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Yang ia dapatkan selama kepergian ayahnya tak lain adalah cerita bahwa “ayahmu bekerja untuk negara, dan ia melindungi kita semua.”

Usia remaja membuka mata Afina tentang pilihan-pilihan. Keberanian dan kepercayaan diri membawanya pikirannya begitu jatuh cinta pada musik. Hingga pada suatu malam, dengan cekikikan dan rona penuh misteri ala gadis remaja, anak ini mendekati ibunya yang baru saja tertidur. Ia berbisik dan memohon izin. “Ma, Fina ingin belajar Harpa.” Ibunya tersontak bangun. “Iya Ma. Boleh tidak… Fina jadi seorang Harpis?”

Tentu saja jawabannya ‘Iya’.

Impian yang sudah dipilih ibarat petak tanah yang telah terbeli. Yang dibutuhkan tinggal mengukur dan membangun. Dan begitu saja, berbulan-bulan kemudian, Afina akrab dengan harpa, ruangan besar yang lengang, dan seorang pelatih musik berpeci asal Nusa Tenggara Barat. Agak aneh, karena di dalam bayangan awalnya seorang guru harpa pastilah perempuan anggun dengan anggun gaun barat yang mahal, bukan seorang laki-laki berkulit legam yang senyumannya seperti pasar malam yang begitu meriah. Dari Pak Kusno --pelatihnya itu, Afina jatuh cinta dengan harpa. Ia mempelajari tiap jengkal dari instrumen setinggi 60 sentimeter, hingga mencoba memainkan yang tingginya nyaris dua kali badannya sendiri. Harpa triangular buatan Bremen adalah favoritnya, seberat 34 kilogram dengan 47 senar yang terbuat dari kombinasi baja, nilon, dan serat domba. Ia menikmati pundaknya menahan neck, kakinya memainkan pedal tiga tingkatan nada, dan tangannya memainkan teknik crescendo dan mencoba-coba nada pianississimo yang baginya begitu menggelitik.

Dalam tiga minggu Afina sudah  menguasai lagu Somewhere in Time, dan dalam tiga bulan ia sudah mengimprovisasi lagu-lagu dari komponis Rudy Marleen, Ruth Jonas, dan Maya Austen. Ia juga sudah menentukan pemain teladan favoritnya: Erika Sihombing. Tak tertandingi dan penuh daya juang, Afina masih malu-malu tatkala Pak Kusno akhirnya memanggilnya, ‘Sang Harpis’, sesaat setelah turun dari konser Jogja Harmony Orchestra: Kolaborasi Tunggal, pada malam pergantian tahun 2010. Seiring tepuk tangan meriah, di bangku penonton, ibunya terharu. Rona haru sontak berubah menjadi tangis pecah, ketika sebuah panggilan telepon masuk, mengabarkan kejutan yang sulit dipercaya. Afina menatap ibunya, bertanya-tanya apa yang datang tiba-tiba, saat ibunya berkata, “… tapi Itu MUSTAHIL!”

Banyak hal memang mustahil sebelum benar-benar ada di depan mata.

Nyonya Ernawati Rasyidi tertegun di depan pinggir jalan ketika staf Rumah Sakit Kejiwaan Heerdjan sudah menunggu di pintu rumahnya malam itu. Di belakangnya, baru saja turun dari mobil, Afina belum mengerti apa yang terjadi. Dua-tiga tetangga turut nimbrung dengan simpati dan rasa tidak percaya. Cahaya redup dari tiang-tiang properti jalan hanya menerangi sedikit bagian dari sudut depan rumahnya. Ernawati jalan tertatih, menjatuhkan tasnya ke atas aspal, melintasi rumput, dengan kedua matanya tak kuasa berkedip. Saat akhirnya ia menghambur, pasien yang duduk di kursi roda hanya bergeming. Memindah-mindahkan pandangannya yang kosong, bingung dan kering. Ernawati hanya menangis di pangkuan suaminya, seseorang yang ia kira telah mati. Dunia memberinya hadiah yang seakan sulit diterima, setelah 14 tahun yang hampa. Hujan turun, dan tak satupun dari mereka berkata-kata. Tidak staf rumah sakit itu, tidak Afina, para tetangga, dan tidak pula suami yang hanya menatap hampa, tidak punya gambaran soal masa lalu yang ditangisi.

**

Setelan jas putih yang menggantung hingga ke atas lutut serupa tanda kebanggaan bagi seorang dokter. Langkah tegap dan tatap mata yang bening adalah perwakilan sikap terbuka, dan senyum optimistis adalah penggambaran nasib baik. Terkadang sedikit ketegasan dibutuhkan di antara rasa kasih yang tulus. Terkadang keluhan ditunjukkan untuk mengirimkan harap kesejahteraan. Bagi ahli saraf Rumi Uswantoro, jas dan stetoskop hanyalah alat formal, pembeda identitas dan bonus kehormatan. Tangan dan jalan pikirannyalah senjata sebenarnya. Berbeda dengan kebanyakan dokter spesialis muda yang menganggap mobil pribadi dan pergaulan kelas atas adalah sebuah ‘hadiah atas kerja keras’, Rumi justru lebih senang dengan taksi dan gemar berjalan kaki. Kesehatan baginya bukanlah teori di kertas resep melainkan praktik hidup sehari-hari. Kerja pengabdian tidak memerlukan syarat, demikian semboyannya.

Cerebellum.

… dikenal sebagai Otak Kecil. Gumpalan bulat yang tak lebih besar dari kepalan orang dewasa ini terletak di belakang Cerebral Cortex, agak ke bawah dan bersentuhan langsung dengan batang leher. Ukurannya yang kecil tidak kalah penting dari dua belah otak besar  yang mengendalikan pikiran sistematis (kiri) dan kreativitas-visual (kanan). Cerebellum adalah pusat kendali informasi sistem gerak kedua sisi tubuh, penyeimbang fungsi motorik, dan pengendali ritme spontan di semua organ. Tanpa otak kecil (atau dengan otak kecil yang tidak bekerja), seseorang tak dapat berdiri, apalagi berjalan normal. Sistem gerak tangan dan kakinya menjadi rancu, dan gerak bicaranya menjadi acak, tidak sistematis, dan sulit dimengerti.

Serangan pada otak kecil seringnya dikenal sebagai stroke, tetapi kedatangan dr. Rumi Uswantoro ke kediaman Rasyidi adalah karena termin lain. Dokter itu diterima di ruang tamu yang hangat dengan karpet coklat bermotif burung dan kancil khas Pekalongan. Afina duduk agak menjauh dan membiarkan ibunya menemani sang tamu. Di samping mereka, kursi roda itu bergerak-gerak. Hamdan Rasyidi tidak stabil seperti bayi. Tangannya menekuk dan melayang ke sana kemari tanpa arah. Wajahnya terus menunduk karena lehernya menekuk agak ke kanan, menjepit dagu dan mulutnya nyaris bersentuhan, sampai-sampai lidahnya sering kali terjepit di luar. Matanya tidak bernyawa meski seakan ingin sekali  mengatakan sesuatu. Suara napas terengah-engah seperti sesuatu menyumbat faring, sementara kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan. Dalam balutan piyama putih yang sudah kotor karena air liur, sulit dipercaya bahwa dulunya orang ini adalah ilmuwan yang menebak tepat lintasan Stasiun Ruang Angkasa Internasional saat melewati Indonesia hingga teramati mata telanjang pada 1991.

“Em… Alzheimer.”

Rumi Uswantoro berusaha menjelaskan sehalus mungkin. Penerimaan adalah bagian paling berat bagi keluarga pasien, maka pengetahuan akan sedikit membantu pemahaman. Dokter itu menyeruput teh hangatnya sebelum menjelaskan.

“Ibu, Afina, bapak terkena Alzheimer.”

Hening. Tak ada balasan, bahkan anggukan. Afina hanya mengamati dari jauh tanpa merasakan tangannya mulai bergerak-gerak tidak tenang. Bayangannya soal sosok ayah yang selama ini ia hanya bisa dengar dari lingkungan mainnya kini semakin nyata. Ditinggal di usia 2 tahun tidak memberinya banyak ingatan.

“Tentu saja membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan,” lanjut dokter itu. “Tetapi dari sekian tanda yang saya periksa, hampir pasti demikian. Mungkin kalian pernah mendengar nama penyakit ini. Bagian dari penyakit yang disebut Dementia. Mirip-mirip stroke, tapi bentuknya agak lain. Alzheimer menyerang fungsi motorik otak; ada plak yang melingkupi saraf-saraf. Dan untuk kasus ini --sebagaimana laporan yang saya terima sebelumnya dari tim dokter di Heerdjan--kemungkinan yang diserang adalah bagian otak kecil, tempatnya di belakang sini, agak di atas tengkuk, namanya Cerebellum. Itu yang bikin bapak tidak bisa berdiri --tapi tidak lumpuh. Bapak cuma tidak bisa mengendalikan gerak kaki dan tangannya. Seperti komputer yang putaran disk-nya keluar sendiri, atau monitornya mati-menyala sendiri karena kerusakan pada processor atau perangkat inti. Inilah yang terjadi pada bapak. Gerak mulut dan matanya juga seperti itu karena pengaruh kerusakan otak.”

Dokter Rumi menghela napas dan menggeleng sejenak. Bayangan interogasi zaman Orba pernah juga menghantuinya, tapi ia tak percaya benar-benar melihat bukti nyata dari kekerasan tentara.

“Saya sudah mengupayakan penelusuran forensik atas apa yang terjadi pada Bapak sewaktu ditangkap empat belas tahun lalu. Tapi tidak mudah. Sebagian dokter sudah tidak bekerja di situ dan kebanyakan perawat tidak tahu apa-apa. Lagipula, mungkin bagian itu jadi tanggung jawab penyelidik kepolisian atau Propam.”

Ernawati mengangguk. Hanya segurat senyuman pemahaman yang ditunjukkannya. Sebagai seorang istri ia tidak bisa menyalahkan masa lalu atas apa yang terjadi pada suaminya. Keluarga ini religius, dan melihat apa yang menimpa suaminya, Ernawati tidak butuh banyak jawaban kecuali apa yang bisa ia terima dalam keadaan wajar. Dokter Rumi merelakan waktu pentingnya merawat Hamdan di rumah itu tiga-sampai empat kali dalam seminggu dalam bulan-bulan berikutnya, sementara Ernawati menyetujui prasyarat kebutuhan perawatan rumah sakit yang ditawarkan, dengan perhitungan biaya yang dihitung-hitung dengan wajar.

**

Malam-malam di rumah itu kemudian bergulir dengannya kekakuan yang aneh di hari-hari awal. Ernawati banyak merawat suaminya di kamar bahkan pada jam- jam ia seharusnya bekerja, menyiapkan makan malam dan air mandi. Sesekali mereka juga menerima kunjungan simpati dari tetangga dan beberapa kawan. Meski begitupun, tak banyak yang datang dari kerja masa lalu seorang Hamdan. Suami itu seperti orang yang baru kembali dari kematiannya, dan sebagian orang mungkin tidak senang dengan itu. Akan tetapi Erna percaya rumah akan menyembuhkan tuannya. Tidak ada tempat lebih baik --bahkan rumah sakit bagi suaminya untuk memulihkan diri. Beberapa kali ia coba berbincang, tetapi tak ada balasan dari mulut lemah itu kecuali gunakan yang pilu. Hamdan banyak ketakutan, dan menerima kegelapan menyelimutinya. Pada suatu malam,  lantar kelelahan Ernawati jatuh tertidur. Sementara di kamar sebelah, Hamdan mulai bergumam sendiri, tak mau naik ke ranjang.

Gumaman itu terdengar begitu jelas, sampai-sampai suaranya terdengar oleh Afina yang tidur di lantai bawah. Merasa prihatin dan penasaran, remaja itu keluar dari kamar, dan bermaksud memeriksa keadaan ayahnya. Ia berpikir, mungkin ini saatnya ia menggantikan tenaga ibunda ketika ayahnya memerlukan bantuan. Dibukanya pintu kamar itu, dan didapatinya sang ayah meraung-raung kesakitan, seperti sesuatu mencekik tenggorokannya. Afina iba, kemudian berusaha mengajak ayahnya berbicara. Ini yang pertama kali ia berada di jarak sedekat ini, dan masih tidak percaya bahwa ia memiliki seorang ayah seperti teman-temannya yang lain. Melihat kesakitan pada ayahnya seperti itu,a muncul juga rasa kasihan di hati Afina, lalu ia dekati ayahnya. Coba ia tenangkan tangan ayahnya yang melayang-layang, t etapi kekuatannya kalah. Kemudian tiba-tiba dengan satu hentakan, Afina merasakan  tubuhnya ditarik beg itu kuat, dan kedua tangan tua itu menyeretnya mendekat. Terkejut, ia berteriak memanggil ibunya. Hentakan tangan tadi menyakiti ya, sementara pegangan ayahnya tak mau lepas dari lengan dan lehernya. Air liur jatuh ke lantai dan Afina tak kuasa menahan. Impuls, ledakan motorik karena kelelahan saraf. Fase awal dari kejang.

"Tolong,  Ma! Tolong!" Ia berusaha melepaskan cengkeraman ayahnya yang meraung-raung. Afina merasa jijik, kedua mata tua itua seperti ingin menerkamnya. "MA, tolong...." Remaja itu menangis.

Hingga akhirnya Ernawati datang dalam kekhawatiran, Afina masih tergeletak di lantai.  Sang ibu menyingkirkan anaknya dari situ, kemudian menenangkan sang suami kembali ke pembaringan. Kejadian itu tidak membebaskan trauma, tetapi cukup bagi Ernawati untuk meminta jadwal pemeriksaan rutin kembali.

**

Suatu hari, Hamdan hanya duduk mengharap jendela. Di luar sana halaman rumputnya semakin menghijau, dan aspal baru saja disiram hujan bulan November. Kedua mata lelaki tua itu menembuskan pandangannya keluar, tampak jauh lebih tenang dari biasanya. Permukaan kaca berembun dan mungkin itu sedikit menghiburnya. Tangannya terkulai ke pegangan kursi roda, sementara pundaknya tak banyak bergetar. Mulutnya bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu, sementara kepalanya mulai mengangguk perlahan. Burung-burung beterbangan dan anak-anak berlarian. Lengkingan tawa-tawa mereka terdengar sampai ke tetangga. Pemandangan itu seperti indah, dan tak terjamah selama bertahun-tahun belakangan.

“Ada tanda-tanda semakin bagus. Em fungsi motorik semakin baik, Em… good. Hasil laboratorium dari dua minggu terakhir juga menunjukkan harapan, Bu.”

Dokter Rumi terus berbicara sekadar menghalau keheningan. “Em… kita bisa mengupayakan bapak lewat LSM, kalau Anda tidak keberatan,” ujarnya setelah keluar dari kamar rawat itu. “Ada banyak lembaga advokasi yang bisa membantu kita mengupayakan keadilan hukum bagi Bapak. Mungkin, entahlah, saya pikir… siapa tahu kalau para pelaku kekerasan itu tertangkap… minimal terungkap, ada kelegaan sedikit bagi kita, maaf maksud saya, bagi kelaurga ini?”

Ernawati tersenyum dan berterima kasih.

“Saya tidak yakin itu yang diinginkan bapak. Anda tahu, dokter? Saya masih bersyukur hari ini karena tetap bisa melihat sosok tua ini di rumah kami. Rasanya hebat ketika… satu kursi di meja makan kami kembali terisi --yang dulunya kosong. Saya akhirnya punya jawaban dan tidak harus terus-menerus berbohong kepada Afina tentang di mana ayahnya. Sekarang lihat… dia di sini! Ya Tuhan… saya bersyukur sebenarnya. Tapi, apa yang bisa saya perbuat lagi? Saya hanya ingin menemaninya setiap hari. Dan Afina…”

Pandangan mata keduanya menyorot jauh ke kamar dengan pintu terbuka di ujung koridor. Di dalam sana, berteman dengan beberapa bantal wortel dan stroberi dan beralas karpet Doraemon, Afina duduk menopang Harpanya.

“Em.. maaf, Bu.… kalau masalahnya adalah biaya…”

“Bukan. Bukan itu, dokter.” Ernawati menyanggah sopan. “Harta benda berharga terakhir di rumah ini mungkin hanya harpa itu,” Ernawati berbicara begitu saja, mengelap air mata dan mengisap kembali lelehan cairan di hidungnya. “Tapi keberadaan kami lengkap di rumah ini, sungguh tak bisa saya hitung nikmatnya.”

Rumi Uswantoro melipat bibirnya dan mengangguk simpatik. Tentu saja, apa yang bisa dilihat sebagai kekurangan dari sebuah keluarga yang utuh?

“Putri Anda akan jadi seorang Harpis yang besar dan memperkaya.”

Cahaya bening itu jatuh miring melewati ruang. Petikan ujung-ujung jemari Afina mulai menari di atas senar-senar. Terkecuali jari-jari kelingking, delapan jari lainnya mengombinasikan gerak motorik yang sempurna dan tertata, memilih posisi dan jarak petikan yang telah teratur di alam bawah sadar. Kaki-kaki kecil Afina memilih pas pedal yang diinjak dan ditariknya, beriringan dengan matanya yang menutup menikmati alunan harmoni yang pelan-pelan terbentuk. Gambar-gambar senyuman Pelatih Kusno kembali ke bayang-bayang di kepalanya, diselingi tawa kebahagiaan yang jadi impian keluarganya, dengan ayahanda yang sehat dan mereka mungkin bisa berlibur bersama di pantai nun jauh. Afina menikmati perasaannya terbawa. Nada harpa menaik dan menurun pada oktaf kedua, membuai siapapun yang mendengarnya… mencampur aduk emosi pada titik paling lemah kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi pada dentum-dentum yang bersemangat. Crescendo dan decrescendo dimainkan berganti-ganti…. Lagu Living Life karangan Joyce Thompson memenuhi ruangan itu.

Seiring dengan lantunan lagu yang terdengar semakin jelas dari jari-jemari Afina, di dekat jendela… kursi roda itu mulai berderit. Dokter Rumi membalik badan dan tak percaya apa yang dilihatnya.

Hamdan Rasyidi mulai menggerakkan tangannya --tidak dalam keacakan, tapi dalam gerakan teratur yang pelan. Lelaki itu mulai menggelengkan pula kepalanya pelan ke kanan, kemudian ia balas ke kiri pada irama yang sama. Denting suara harpa menembus telinganya. Ujung-ujung jemari kakinya bahkan mulai bergerak halus, sementara mulutnya telah mengatup rapat. Di kedua ujung bibirnya terangkat otot yang mulai melebar, dan matanya mulai lemas terkendali.

“Eureka!” Dokter Rumi mengepalkan tangannya ke udara. “Dia merespon!”

“Ya Tuhan…” Ernawati hanya bisa menutup mulutnya. Tak percaya, ini pertama kalinya ia melihat suaminya bisa duduk melepas dari sandaran, kemudian seperti menari-nari sendiri meski dalam gerak halus yang tak seberapa.

“Saya pernah membaca soal ini. Saya pernah baca ini, Bu Erna.”

Ernawati tidak paham, dan hanya terus meminta Afina memainkan musiknya.

“Musik. Musik! Ada penelitian… Ah… musik! Bapak merespon musik anak Anda! Teruslah memetik, dik Afina. Teruskan permainan lagunya.”

Seruan itu tidak terdengar sama sekali. Jari-jemari Afina menari dan remaja itu seperti tak ingin diganggu. Ia telah memasuki fase terdalam dari seorang harpis, perenungan dan hanyut pada nada-nada yang digulirkan. Vibrasi dari badan harpa menggemakan denting-denting tegas yang menggabungkan musik surgawi dengan tangga-tangga fisik. Kepalanya sampai naik turun dan punggungnya sesekali ditekuk kemudian ditegakkan lagi. Dedaunan beterbangan di luar sana seperti menemani nada-nada yang menyembur keluar dari jendela-jendela. Harpis telah masuk ke gelembungnya sendiri, tapi menghantarkan keajaiban ke siapapun yang mendengarnya. Setiap nada naik dan dentingan terdengar lebih keras, dapat teramati, gerak tangan dan kepala Hamdan di atas kursi roda mengikutinya.

**

Konser akbar, dan remaja Harpis dapat kehormatan. Lampu berkilauan menghidupkan dekorasi Bintang Bimasakti di langit-langit aula. Afina memainkan lagu “Damai Bersamamu” bekerja sama dengan Erika Sihombing, idolanya. Belasan remaja lain hanya bertepuk iri, sebagiannya di relung gelap mencibir dalam kepiluan yang tak bisa apa-apa. Nada-nada membius ribuan penonton, tak terkecuali sepasang suami istri yang bangga. Ernawati duduk mengapit tangan suaminya. Hamdan Rasyidi menutup mata dan mengangguk-angguk. Nada-nada telah menembus otaknya. Kakinya masih lumpuh tapi pikirannya mulai meraba-raba, sakit atas masa lalu tetapi lega untuk masa kini dan masa depan. Saat lagu selesai, hadirin berdiri sambil bertepuk tangan, dan Hamdan hanya terus mengangguk-angguk di kursinya, menutup mata dan mengangkat sedikit ujung bibirnya. Di tengah panggung Afina menangis.

Musik mengirimkan frekuensi Alpha dan Theta yang direspon lapisan otak yang bersinggungan dengan status ingatan dan perasaan bahagia. Nada-nada tertentu yang membahagiakan terbukti merangsang kerja corpus calossum, peranti yang menyambungkan kerja otak kanan dan otak kiri pada satu fase yang sama, dan menimbulkan persepsi sadar atas ingatan, harapan, dan kesenangan. Dengan musik, seseorang bisa terseret dari kenyataan di sekelilingnya, dan terbebas dari batasan waktu, melayang jauh pada keindahan bayang-bayang yang dipilih sendiri, atau yang datang dengan kisah berganti-ganti.

Berkilo-kilometer dari Balai Sarbini tempat pertunjukan itu dihelat, di dalam sebuah bilik kecil yang dipenuhi layar-layar monitor, Rumi Uswantoro lelah berkeringat. Dua gelas kopi lesap ditenggaknya. Di mejanya berserakan data dan berita, tentang Alzheimer, dan pengaruh tipisnya pada Cerebellum. Juga pengetahuan baru soal keajaiban musik dan penyembuhan. Dokter ini tenggelam dalam ekstasinya sendiri, menonton rekaman Oprah pada episode Woody Geist, pasien Alzheimer-Dementia yang sembuh karena lagu-lagu yang dibawakan putrinya.

**

Cerita ini mungkin terdengar biasa, karena memang hanya menggambarkan garis waktu dari keluarga yang biasa. Tapi kalian tentu percaya kekuatan cinta, merambah udara dan menghidupi apa saja yang dilewatinya. Mainkanlah musik kesenanganmu, dan rasakan apa yang terjadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun