Akhirnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia menunaikan putusannya mengeksekusi enam terpidana mati kejahatan narkotika di dua lapas berbeda di Pulau Nusakambangan Cilacap, dan Boyolali, Minggu (18/1/2015). Keenam terpidana yakni Ang Kiem Soei alias Tommi Wijaya (62, W.N. Belanda), Marco Archer Cardoso Moreira (52, Brasil), Tran Thi Bich Hanh (37, Vietnam), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (39, Cianjur, Indonesia), Daniel Enemuo (38, Nigeria), dan Namaona Denis (48, Malawi) dinyatakan meninggal dunia sekira pukul 00.41 WIB oleh tim dokter dan diumumkan secara resmi oleh Kejagung setengah jam kemudian.
Pagi harinya, berita “eksekusi telah dilaksanakan” dengan cepat memicu reaksi keras berbagai pihak yang kontra terhadap penjatuhan hukuman ini, tidak terkecuali Brasil dan Belanda (dua negara yang warganya meninggal di depan regu tembak) yang langsung menyatakan menarik Kedutaan Besar mereka di Jakarta. Presiden Brasil Dilma Rousseff mengaku “terguncang” dengan berita eksekusi, dan menyatakan “Ini (eksekusi mati) akan memengaruhi hubungan kedua negara.” (BBC Indonesia)
Di berbagai kolom berita dunia, lembaga advokasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia Amnesti Internasional mengkritik pedas Indonesia yang dianggap “menggunakankan pola penghukuman abad pertengahan” dan menuntut pencabutan hukuman mati untuk jenis pidana apapun. Peneliti yang juga aktivis Human Rights Watch Phelim Kine lewat artikelnya dua hari sebelum eksekusi bahkan menyebut Indonesia sedang menerapkan standar ganda dalam memandang hukuman mati. “Indonesia sedang berjuang mati-matian untuk mencegah Arab Saudi mengeksekusi warganya, Satinah binti Jumadi Ahmad [yang sejak 2010 divonis mati atas pembunuhan berencana], sedangkan menolak mengampuni warga negara asing yang terlibat narkotika,” tulis Phelim dalam artikel yang dimuat di laman hrw.org.
Tetapi suara-suara penolakan hukuman mati datang tidak hanya dari pihak amnesti dan beberapa negara “luar”. Di dalam negeri sendiri, baik lewat pantauan media utama ataupun media sosial, bangsa terbelah suaranya dalam ihwal yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai “langkah tegas dan tidak kompromi” atas eksekusi kasus pidana yang tergolong extraordinary crime ini. Pihak kontra mengedepankan penghargaan atas hak hidup dan hak asasi manusia, sementara pihak pro menganggap bahwa hukuman mati merupakan bagian dari kedaulatan hukum Indonesia dan dijamin dalam konstitusi negara.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, kecaman serta langkah diplomatis yang diambil Brasil dan Belanda tidak harus disikapi dengan kekhawatiran berlebihan dan dianggap “biasa saja”. Alasannya, seperti dilaporkan TribunNews, keputusan diplomasi seperti itu hanyalah bentuk protes atau ketidak-sukaan mereka, karena sejatinya pihak luar atau negara manapun sangat paham tidak akan bisa mencampuri kedaulatan hukum Indonesia.
Karni Ilyas, pemimpin redaksi TVOne yang juga mantan akademisi hukum menggambarkan, apa yang dianggap standar ganda oleh banyak pihak kontra sebetulnya justru menunjukkan ketegasan hukum yang sama antara negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Menjawab tweet seorang pengikut yang menyayangkan sikapnya mendukung hukuman mati, @KarniIlyas dengan singkat menjawab, “Bawa narkoba ke Saudi juga [dihukum] mati.”
Pihak kontra mendebat. Selain mengusik Hak Asasi Manusia yang diwakili oleh Hak Hidup (yang secara legal sangat dilindungi oleh hukum di banyak negara), mereka juga menganggap bahwa eksekusi mati bukanlah cara tepat untuk memunculkan efek jera, jika tujuannya memang demikian sebagaimana dimaksudkan presiden Jokowi dan Kejaksaaan Agung. Bahkan, jauh lebih penting dari itu, muncul anggapan bahwa putusan pidana mati tidak serta-merta lepas dari “kekhilafan dan kesalahan” proses peradilan dari tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pengadilan kasasi.