Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

The Last Train

27 Juni 2024   17:55 Diperbarui: 27 Juni 2024   18:15 92 1
" .... Bro, kalau aku menjadi pekerja dari pemerintahan gimana?"

"Kalau gitu, aku akan jadi buruh atau petani. Dan mungkin akan mengeluhkan banyak hal padamu mengenai peraturan-peraturan yang melenceng."

"Ya, aku juga akan jadi rakyat biasa saja. Jadi aku bisa menjadi wasit di antara kalian berdua. Demi membangun negeri ini menjadi lebih baik, kan."

"Tapi kita bertiga saja tidak kuliah. Sekarang saja masih hidup dalam ketidak-tentuan. Ha-ha." Aku langsung menyeletuk demi membalikan posisi diri sendiri pada sebuah kenyataan. Tapi obrolan kami bertiga ini sebenarnya tidak cukup melenceng. Ya, bagaimana pun, sebentar lagi kami akan berpisah.

.......

Namaku Rano, kedua temanku ini bernama Mukhlis dan Dola. Kami bertiga tumbuh bersama sejak kecil di sebuah desa dan itulah mengapa hampir setiap hari selalu bersama-sama. Untuk sekedar bermain atau mendiskusikan sesuatu di luar jangkauan kami. Tapi aku sangat menyayangi mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.

Beberapa hari terakhir ini mungkin ikatan kami sedikit terguncang, bukan karena hal buruk juga melainkan demi masa depan kami sendiri. Sebab kami tahu betul kondisi desa ini, bagaimana kehidupannya, pekerjaan, bahkan pendapatannya. Maka dari itu kami sudah merencanakan akan bagaimana kehidupan kami ke depannya termasuk menyadari bahwa kalau tinggal di sini saja sepertinya tidak akan dapat mengubah keadaan.

Aku sudah memutuskan akan pergi ke tanah Jawa, Mukhlis ke tanah Sumatra, sedangkan Dola akan pergi ke ibu kota. Kami bertiga sudah siap ingin pergi merantau segera selagi masih muda dan berenergi. Tentu semata-mata bukan hanya mengubah masa depan, namun juga mengejar impian masing-masing. Walaupun di tanah desa ini sendiri kami tidak pernah kekurangan apa pun. Jadi akhir-akhir ini memang cukup menyedihkan juga.

Setelah panen ini berakhir, setelah kami menerima upah dari bekerja di pesawahan, segera setelah itu langkah kami akan menjadi kertas putih yang akan kami sendiri tuliskan dengan segala takdir kami.

"Bro, yok, lanjut lagi kalau sudah makan siangnya," ucap Mukhlis di tengah lamunan. Aku dan Dola hanya mengangguk dan mulai mengenakan kaos yang sudah dilepaskan karena cuaca hari ini sangatlah panas.

Kami sedang bekerja di sawah yang dimiliki salah satu juragan di desa. Upahnya lumayan untuk modal dan ongkos kami merantau. Juragan itu juga cukup baik dan dekat dengan kami, sudah seperti paman, ia juga mau membantu niatan kami untuk pergi merantau.

Sore tiba, panen di lahan sawah ini juga sudah selesai, akhirnya kami ingin segera pergi. Tapi bukan pulang ke rumah. Hari terakhir ini kami mau berkemah di dekat sebuah sungai yang mengaliri air terjun kecil. Sudah kami rencanakan juga hari ini, sebagaimana membuat perpisahan yang entah akan berapa lama nanti menjadi lebih berkesan. Seperti masa-masa tumbuh bersama itu.

Satu tenda besar sudah kami bawa sejak pagi, meski itu hasil buatan menggunakan terpal. Aku, Mukhlis, dan Dola langsung membawa beberapa barang juga untuk makan malam nanti yang berupa seekor ayam peliharaan kami bertiga. Bukankah ini sangat dipersiapkan oleh kami bahkan dari jauh-jauh hari. Dan setelah itu kami bertiga jalan menyusuri sedikit hutan untuk sampai ke sana.

Selagi berjalan, aku juga ingat betul jalan menuju sungai ini tidak pernah berubah sedikit pun. Kenangan kami sewaktu kecil sangat suka terbuang di sini. Bagaimana pohon-pohon buah yang tumbuhnya liar seperti kami, beberapa anak kadal yang diam-diam merayap dan suka kami tangkap dulu, ini termasuk pesta kecil untuk merayakan kenangan manis.

"Lis, kau ingatkan Dola teriak dan menangis di atas pohon karena di kejar anjing-anjing liar di pohon itu?" Kataku menunjuk salah satu pohon.

"Ei, ei. Kalian berdua juga kepanikan saat itu," Sanggah Dola membela.

"Ha-ha, tapi tidak seperti kau yang menangis itu, kan," Jawab Mukhlis sembari tertawa girang. "Eh, tapi waktu itu kita bertiga sampai malam ya, ada di atas pohon menunggu bapak-bapak kita akhirnya datang mengusir karena anjing-anjing liar itu tidak berpindah posisi malah tidur menunggu.

"ha-ha. Tapi kalian juga ingat tidak, meskipun tau ada anjing liar di sini, kita malah buat rumah pohon, kan, di sini?" Tanyaku melihat pohon besar yang masih berdiri kokoh.

"Iya, tapi gara-gara kau nggak bisa diam. Aku jadi jatuh dan nih," tukas Mukhlis menunjukan bekas jahitan di kepalanya. Karena waktu itu ia terjatuh dari atas.

"Maaf. Tapi, abis gimana. Tiba-tiba ada ular kan aku takut digigit," pintaku meminta maaf. Sementara Dola hanya bersiul tidak jelas. "Ini juga gara-gara dia yang malah menangkap ular itu terus melemparnya ke arah aku." Aku langsung melingkari tanganku ke Dola. Memang waktu itu ia malah menakuti sehingga aku tidak sengaja mendorong Mukhlis hingga jatuh. Untungnya waktu itu pohon yang kami dirikan tidak terlalu tinggi.

"Huh, sudahlah. Lupakan, kita sudah sampai juga di sini. Ayo kita dirikan tenda lalu menyiapkan lampu petromaxnya. Sudah gelap."

Kami pun bertiga langsung saling bahu-membahu mendirikan tenda, menyalakan lampu petromax yang sudah dibawa, kemudian menggelar karpet di dalamnya. Setelah selesai semua,  Mukhlis mengajak aku dan Dola untuk membersihkan badan di sungai. Kami memang sudah menyiapkan baju ganti juga.

"Wahaha, sudah lama ya kita tidak ngobak seperti ini. Terakhir kayaknya waktu kita SMP dulu," ucap Dola kegirangan di dalam sungai.

"Iya! Ini masih sangat menyenangkan. Ha-ha." Aku dan Mukhlis ikut mengiyakan sembari saling menciptakan air. Kami memang sangat sering waktu itu main di sini. Sepertinya di sini tidak hanya ada aliran air, tetapi juga menyimpan aliran waktu. Begitu melarutkan kami ke dalam kenangan. Hingga tidak sadar kedinginan kami beranjak ke tenda dan ganti baju.

Setelah siap, kami menyalakan api unggun, membakar ayam yang sudah disiapkan untuk disantap, lalu saling menceritakan banyak hal tentang masa lalu kami di sini. Mungkin karena ini hari terakhir jadi waktu terasa begitu cepat sekali bahkan untuk menceritakan semua kenangan. Hari ini cukup menyenangkan dan mengharukan untuk saling menahan air mata yang sudah membendung. Tapi kami bertiga masih cukup tegar hingga saat semuanya terlelap di dalam tenda.

Esok hari tiba, pagi sekali seusai mendengar Kokok ayam, matahari yang samar padam akan segera menyala kami sudah bersiap membereskan tenda dan berangkat menuju rumah masing-masing untuk bersiap lagi menuju stasiun. Sebab hari ini memang perjalanan akan segera kami mulai.

Kami yang sudah membawa persediaan yang cukup, sudah berpamitan juga dengan keluarga, akhirnya menaiki mobil bak pengantar sayur untuk ikut menumpang sampai ke stasiun kereta. Memang jarak antara desa ke stasiun itu lumayan jauh berada di dekat kota ini. Sementara di sepanjang perjalanan tidak ada obrolan sama sekali hanya sesekali saling berpandangan saja sambil meratapi gambaran suasana desa yang mulai menjauh dari mata kami.

Tiba di sana, kami berjalan membeli tiket kereta sesuai tujuan masing-masing. Di mana Mukhlis yang akan bertransit  lalu ke pelabuhan untuk sampai di tanah Sumatera , aku yang bertransit akan menaiki kereta lagi agar sampai ke tanah Jawa, dan Dola yang hanya menaiki kereta ini sekali hingga sampai di ibu kota.

Setelah saling memegang tiket ditangan. Kami mulai bertatap-tatapan. Sungguh waktu berhenti di sini. Tidak ada yang mengganggu hingga kami saling berpelukan sangat erat seperti tidak mau melepaskan. Tetapi ini adalah jalan yang sama-sama ingin kami tuju, masa depan yang ingin kami ingin, dan mimpi-mimpi yang akan kami raih. Kemudian pada akhirnya tiga orang anak kecil yang sudah menjadi dewasa ini tidak bisa menahan air mata lagi dan mulai menangis. Linangan air mata yang begitu sedih sebagai akhir cerita dari sebuah perpisahan persahabatan yang ingin menapaki kehidupannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun