Hari ini aku lebih bersemangat, semalam aku bermimpi menjadi seorang pelukis handal. Tentu ini sangat memungkinkan dengan daya imajinasiku yang begitu tinggi ditambah sangat relate jika kuhubungkan dengan pekerjaanku saat ini. Yap, aku penjual agar-agar yang bisa di request gambarnya dan biasa dibeli oleh bocah-bocah kecil. Tetapi apakah dengan begini mimpiku akan segera terwujud? Entahlah.
"Abang, aku mau gambar rumah," ucap seorang bocah membuyarkan lamunanku sembari menyodori uang lima ratusan.
Tapi mungkin ini jalannya. Aku harap begitu.
Di rumah, aku jadi kepikiran, selama ini aku berjualan rasanya tidak ada sedikit pun tabungan yang terkumpul dan hidupku begini-begini saja. Untuk kebutuhan hidup dan sisanya buat kesenanganku. Ah ya, meski begini pun aku tetap bisa bersenang-senang. Contohnya kesenanganku adalah saat dapat membeli kopi di warteg langgananku karena yang melayani sungguh jelita. Walaupun aku tidak pernah berani untuk menggodanya, hanya sekadar memandanginya saja. Itu sudah sangat cukup menyenangkan.
Di rumah lagi, aku semakin liar membayangkan Mbak penjual warteg itu menjadi istriku pasti sangat membahagiakan--ah, lagi-lagi suara TV tetangga sangat ribut malam ini, mengganggu saja. Lagian hanya karena sinetron yang viral itu, para ibu-ibu tetangga jadi berkumpul di rumah sebelahku karena hanya ia yang memiliki TV di sini. Sungguh mengesalkan.
Pagi datang aku lanjut menyiapkan daganganku, walaupun cuma bermodalkan agar-agar dan susu sachet saja tetapi terkadang cukup merepotkan saat tubuh sekaligus pikiranku sedang sangat malas. Namun, bisa apa. Toh ini buat kebutuhan hidupku juga, kan. Jadi bertindak tidak realistis hanya akan membuatku susah saja.
"Abang, aku mau gambar mobil," pinta pelanggan bocah pertamaku hari ini sembari menyodorkan uang seribu rupiah karena membentuk mobil membutuhkan dua agar-agar. Kalau ada yang bertanya kenapa tidak menggunakan satu agar-agar saja seperti saat membuat rumah. Aku pasti akan menjawabnya dengan kemampuanku untuk berterus terang. Bahwa di jaman sekarang, entah bagaimana bentuk rumahmu atau kondisi di dalamnya, yang penting kan di luar lebih bagus dan orang lain akan lebih dapat mengapresiasikan dirimu dengan sangat baik. Jadi mobil harus dibuat semewah mungkin.
Aduh, sepertinya hari ini juga tidak terlalu mujur. Daganganku hanya laku satu dan itu pun dari pelanggan pertamaku tadi. Sekarang sudah sore tidak ada yang tertarik lagi, sepertinya aku harus membeli kerupuk kaleng saja untuk makan hari ini. Alhamdulillah.
Kembali ke rumah. Ternyata hidup sendiri apalagi merantau seperti ini sangat sepi ya. Terkadang aku rindu pulang ke kampung halaman. Orang rumah pasti sedang menunggu kepulanganku juga. Sudah berapa tahun rasanya sangat sulit untuk sekadar pulang saja, terlalu rumit ditambah aku tidak menjadi apa-apa di sini meski sudah tinggal sekian tahun di kota sebesar ini. Sudahlah. Selamat bermimpi.
Pagi ini aku demam. Sungguh tidak enak badanku. Tidak ada obat juga jadi hanya bisa mengandalkan daya tahan tubuhku saja. Semoga saja lekas membaik.
Esok harinya aku tidak juga membaik, bahkan terasa lebih parah. Aku ingin bergerak keluar tetapi sangat lemas. Ah ya aku punya kartu kesehatan. Tetapi sudah lama tidak kubayar, apa masih bisa. Huh, nasib. Sudahlah mungkin esok lebih baik dengan selimutan saja. Katanya kan orang-orang yang hidup sepertiku daya tahan tubuhnya lebih baik dari kebanyakan. Semoga lekas membaik.
Alhamdulillah. Hari ini rasanya aku lebih sehat. Kekuatanku mulai kembali, jadi aku harus menyiapkan daganganku kembali dengan semangat. Aku sudah sangat lapar.
"Abang, aku mau digambar sosok ibu dong," Pinta bocah itu sembari tersenyum. "Yang besar ya, Abang. Pakai agar-agar yang banyak."
Aku pun menggelar koran sebesar buku tulis dan memberi kertas nasi di atasnya lalu mulai menyusun agar-agar itu menjadi seukurannya. Setelah itu kukerahkan segala imajinasiku mengenai sosok seorang ibu. Aw. Aku teledor pisau itu menyayat jempolku sampai mengeluarkan darah.
"Abang, hati-hati. Pelan-pelan saja, aku tunggu kok."
Aku pun membalut jempolku dengan kain. Kini jempolku seperti bayi sedang dibedong. Ini malah membuat hatiku terenyuh dan perlahan air mataku mulai menetes.
"Sakit ya, Abang? Tahan dong masa udah besar masih nangis sih. Kata Mamahku anak laki nggak boleh nangis."
Aku pun meneruskan hari ini lebih tegar. Rasa sakitku juga sudah mulai berkurang. Aku juga bisa makan meski hanya berlauk kerupuk dan kecap. Tetapi aku jadi ingat ibuku yang jauh di sana, apa ia sudah makan. Hm, aku harus lebih semangat lagi! Semoga secepatnya bisa mengirim uang ke sana. Amin.
Malam ini hujan. Meskipun berisik suara hujan yang bertabrakan dengan atap yang terbuat seng di rumahku ini. Namun bukan apa-apa. Aku menantikan hari esok. Selamat bermimpi.
Hari yang cerah. Aku bisa berjualan. Oia, semalam aku bermimpi aneh. Di dalam mimpiku, aku tidak menjadi apa-apa dan malah menjadi orang biasa yang berjualan agar-agar dengan langganannya bocah-bocah kecil. Aneh, bukan? Atau harus dibilang kejam. Masa sih, orang malah memimpikan sebuah kenyataan. Aneh.
"Abang, aku mau minta digambarin yang susah dong."
"Gambarin apa?"
"Aku mau Abang gambarin mimpi aku!" Serunya semangat. Aku melirik bocah itu, seperti mirip sepertiku waktu kecil dulu yang sangat terlihat polos sekali.
"Apa memang mimpi kamu, Cil?"
"Gatau, Abang. Makanya gambarin aja."
"Abang, gatau mimpi kamu, kan." Bocah itu malah memasang wajah terheran-heran sembari menatapku. Aku jadi sedikit tertawa. Rasanya ekspresi itu pernah kugunakan juga saat sedang ditanya oleh guruku waktu itu.
"Kamu emang punya mimpi apa, Cil?" Tanyaku serius.
"Aku punya banyak mimpi Abang. Mimpi ini dan mimpi itu," jawabnya lugas.
Aku pun menggambarkannya gelembung-gelembung kecil yang banyak sekali. Dan mungkin di sinilah gelembung-gelembung itu tidak akan bisa pecah kecuali agar-agar itu dimakan olehnya. Sama seperti mimpiku juga. Aku harap tak akan pernah pecah lagi.