Satu waktu di Sekolah Dasar kelas 1B
"Bu,Ibu.. Sekolah itu untuk apa?" Kata Muri, siswa paling kecil dibangku paling depan.
"Ya, supaya kamu pintar, cerdas, dan terdidik menjadi manusia berkualitas!" jawab Bu Iis.
"Manusia berkualitas itu apa Bu?" lagi tanya Muri sambil memanggutkan tangan di dagunya.
"Manusia yang beriman, sholeh, jujur, disiplin, dan kelak sukses memimpin diri dan masa depannya." jawab Bu Iis menuju papan tulis.
"Tapi Bu... Tapi Bu... Di sini juga banyak yang nyontek, tapi Bapak atau Ibu malah diam mulu. Nyontek itu belajar jujur mencari jawaban ya Bu?"
"Hmm, asalkan kamu tidak nyontek saja ya!" jawab Bu Iis mulai malas.
***
Hari sudah sore, saatnya Muri pulang. Muri pulang dengan berjalan kaki, pergi ke asrama pesantren. Hanya menginap di sana saja, mandi, dan makan. Kata orang sekitar sejak kecil Muri sudah dititipkan di sini oleh kedua orangtuanya. Tiga tahun lalu, dikabarkan Muri jadi yatim-piatu, tapi Muri tidak merasa amat sedih mendengar kabar itu. Karena sejak kecil ia tidak tahu mengenai orangtua kandungnya. Yang ia hadapi adalah kehidupan di asrama itu saja, yang hanya memfasilitasi tinggal. Karena pesantrennya tidak gratis. Kepala yayasan hanya iba padanya, sehingga ia diperbolehkan berkembang dilingkungan asrama sekitar.
Sebelum sampai pesantren, Muri melewati rumah si Hasni. Hasni teman sekelas yang selalu menjahilinya. Muri sedih, karena Hasni mendapatkan apa yang dia inginkan, sebebas-bebasnya. Aku ingin jadi Hasni si juragan sayur!, kata Muri sambil menaikan nada bathinnya. Muri tidak pernah diperbolehkan memiliki mobil-mobillan sebagus yang Hasni miliki. Apalagi Muri amat sedih, bukan saja mengenai mainan-mainan yang menurutnya keren. Tapi kasih sayang ibu kandungnya yang melulu memanjakannya. Makan disuapin, mandi dimandiin. Lewat celah kecil di Gerbang. Muri suka diam sejenak di sana. Ia membayangkan sedang menjadi Hasni di taman depan rumahnya itu.
Dua puluh menit cukup. Muri melanjutkan pulang dengan merunduk lemas. Dia juga harus menahan malu, karena celanya robek pas di tengah. Akibat menendang bola saat istirahat siang di Sekolahnya, ia terlalu bersemangat akhirnya terjungkir 360 derajat, akhirnya celana merah semata wayangnya sobek di tengah. Bu Nunung, suka menjahit celana sobeknya Muri. Tapi jahitannya selalu tidak kuat dan kembali terputus, robek lagi. Muri itu terlalu bersemangat ditiap waktunya, kata Bu Nunung bercerita pada tetangganya.
Setelah di depan asrama, tugas Muri selanjutnya adalah menimba air. Sebab kakak-kakak kobongnya pasti akan marah jika WC belum penuh air, karena sorenya mereka mandi secara berjamaah. Muri yang kecil-kecil tubuhnya sudah dilatih tahan banting. Muri tidak pernah mengeluh atas itu. Sebab berkat usahanya Muri bisa tersenyum, melihat kakak kobongnya membelikan biskuit untuknya. Namun bukan itu yang membuat Muri dengan senang hati melakukannya. Tapi Muri senang, melihat kakak kobongnya terlihat segar setelah terlihat kotor dan bau. Ia bersyukur setelah melakukan pekerjaan itu.
Jika adzan mulai berdetak, Muri suka paling depan mengisi shaf. Ia pandai mengaji murotal. Sering juara dikampungnya, karena itu Kiyai sepuh amat menyayangi Muri. Dia suka membaca lembar apasaja, yang penting gratis. Sesekali kakak kobongnya meminjamkannya buku-buku, mulai dari al-hadist, tafsir pendek, dan buku wawasan lainnya. Muri masih kecil, anak seumuran dia tentu masih lama kecepatan pemindaian bacanya. Tapi ia cepat jika sudah dihadapkan dengan tulisan arab baik berharkat atau gundul. Ya, begitulah keistimewaan Muri.
Tidak sengaja Muri menemukan buku biografi judunya, "Mengenang 100 Tokoh Pembangun". Baru di halaman pertama ia sudah terhenti. Di halaman yang memuat tokoh pembangunan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara atau Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Amat lama Muri hanya diam seperti itu, sambil tangan menyeka dagu. Membopong badannya dengan duduk sila.
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan