Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hikayat Bujang Jilatang

5 Maret 2012   09:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28 552 0

Hikayat Bujang Jilatang

Cerpen: Afri Meldam

“Siapa orang Sumpur Kudus yang pertama kali masuk Surga?” Malanca membuka seloroh.

“Bujang Jilatang!” Beberapa orang menjawab serempak.

Dan, petang di pertengahan bulan Ramadan itu lapau Sutan Malindo pun riuh dengan sorak-sorai dan gelak berderai yang begitu membahana.Ya, memang tak seorang pun yang tak menderaikan tawa mendengar garah Malanca, kecuali kau seorang. Kulihat kau hanya sedikit memilin senyum waktu itu, jelas sekali tak bisa menangkap arah percakapan kami. Apa cerita sehingga Bujang Jilatang akan menjadi orang Sumpur Kudus yang pertama kali masuk Surga?

Kau ingin tahu. Baiklah, dengarkan ceritaku…

***

Lahir sebagai anak pertama, Bujang Jilatang yang bernama asli Zulfirman tentu tak pernah menyangka bahwa di hari kelahirannya ia justru menjadi sumber sengketa kedua orang tuanya. Zulfirman kecil yang berkulit kuning dengan mata bulat besar dan berambut subur telah menimbulkan gunjingan di antara orang-orang kampung bahwa ia bukanlah anak Oncu Lintau yang berkulit legam bak buah manggis matang. Matanya yang bulat besar dan rambutnya yang subur tentu turun dari Angah Piah, ibunya. Tak ada satupun raut muka dan garis tubuh Zulfirman yang mengikuti roman Abaknya. Oncu Lintau pun berang.

Oncu Lintau telah mencoba menebalkan muka dan kuping demi melihat perkembangan anak sulungnya. Ia tak ingin begitu cepat terbuai asung fitnah masyarakat. Namanya bayi, romannya bisa berubah setiap hari, begitu ia meneguhkan hati. Tapi hari bertukar minggu berganti, tetap tak ada tanda-tanda bahwa Zulfirman akan menyerupai roman ataupun perawakan bapaknya.

Dan, serupaapi yang disiram minyak tanah, ia yang terus menerus disesaki kata-kata runcing penduduk tentang hubungan istrinya dengan Jului ketika Oncu Lintau masih di Malaysia, ia pun menjatuhkan talak kepada Angah Piah. Meski Angah Piah telah berkali-kali mengatakan bahwa semua itu hanya fitnah belaka dan bersumpah bahwa ia tak pernah dekat dengan sopir truk pengangkut karet itu sembari bersujud di kaki suaminya, namun Oncu Lintau tak surut sedikitpun. Maka, di usianya yang belum genap tiga bulan, Zulfirman pun harus merelakan kepergian bapaknya, yang memutuskan kembali ke Malaysia karena tak tahan mendengar gunjingan orang-orang kampung.

Meski kemudian Angah Piah bisa melepas status janda dengan menerima pinangan Datuk Gigi Ameh – yang masih merupakan saudara jauh Oncu Lintau, tetap saja Zulfirman tak mempunyai seseorang yang bisa dipanggil Abak. Datuk Gigi Ameh sudah dengan bermacam cara mengambil hati Zulfirman, namun bocah itu tetap tak mau dekat dengan suami baru Ibunya. Zulfirman seolah ingin membentang sebuah garis pemisah antara dia dan Datuk Gigih Ameh. Dan, ‘tawaran’ itu seolah diterima oleh Datuk Gigi Ameh ketika pada suatu hari bocah yang baru berumur tiga tahun itu membakar kopiah kesayangan sang Datuk sampai jadi abu. Kalau bukan karena Angah Piah tentu Datuk Gigi Ameh telah mengikat anak itu di batang pohon limau kasumbo yang penuh semut api di belakang rumah mereka.

Zufirman, pada akhirnya, memang tumbuh sesuka hatinya. Ia menjadi raja atas dirinya sendiri. Apalagi semenjak Ibunya berubah menjadi pabrik pencetak anak-anak Datuk Gigi Ameh, Zulfirman merasa ia tak lebih hanyalah tikus kecil yang bisa kapan saja ditendang keluar dari rumah.

Angah Piah sebenarnya tak pernah membeda-bedakan Zulfirman dengan anak-anaknya yang lain. Perhatian dan kasih sayang tetap ia curahkan pada anak pertamanya itu. Namun dasar Zulfirman sudah tak mau lagi dikasih nasihat. Ada saja ulah yang ia buat, yang pada akhirnya membuat orang-orang jadi resah.

Di surau, Zulfirman kecil adalah langgangan pelecut rotan Gayek Murin karena sering membuat onar di saat pengajian berlangsung. Biasanya ketika orang-orang serius menyimak bacaan Al Quran, Zulfirman akan mendekap mulutnya lalu meniru suara orang terkentut. Kontan, demi mendengar bunyi laknat tersebut, orang-orang akan kocar-kacir mencari sumber bau, dan pengajian pun terhenti. Gayek Murin akan berdiri dan menanyai murid-muridnya satu persatu. Maling tentu tak akan mengaku. Maka, Gayek Murin mengancam akan merendam mereka semua di sungai Batang Sumpu jika tidak ada yang mau mengakui perbuatannya. Kawan-kawannya yang sudah hapaltabiat Zulfirman dengan serempak mengarahkan tunjuk mereka ke arah Zulfirman. Ya, siapa lagi kalau bukan bocah bengal itu! Rotan pun membuat jejak di telapak tangan Zulfirman.

Meski sabetan rotan Gayek Murin bisa menimbulkan bilur-bilur kemerahan, namun Zulfirman tak pernah jera. Ia seakan tak pernah kehabisan akal untuk menimbulkan kekacauan-kekacauan kecil di surau tempat ia mengaji. Kalau bukan terompah murid-murid yang hilang sebelah, maka pastilah anak-anak perempuan akan kehilangan mukenah sehabis mereka berwudhu. Tak jarang juga Zulfirman kedapatan memutar volume mikrofon hingga batas maksimum, sehingga begitu seseorang mulai mengaji, menggelegarlah surau kecil itu. Tak cuma itu saja. Zulfirman bahkan pernah menyembunyikan rotan pelecut Gayek Murid di atas loteng surau! Gara-garanya, selama seminggu, Gayek Murin hanya bisa meradang begitu murid-muridnya berbuat ulah.

Guru-gurunya di sekolah pun tak lepas dari perangai mantiko Zulfirman. Mulai dari Ibu Asmi yang kehilangan buku panduan pelajaran Matematika (yang tanpanya sang guru tak bisa berbuat apa-apa selain mengulang pelajaran tambah-kurang-bagi-kali); Pak Zulfikar yang dikira buang air di celana gara-gara kuah sate yang ditumpahkan Zulfirman di kursi ‘empuk’ pak guru; hingga Pak Iskandar sang kepala sekolah yang terpaksa mendorong sepeda ontel tuanya pulang karena kedua bannya kempes secara bersamaan. Karenanya, Angah Piah hampir setiap bulan dipanggil ke sekolah guna mencari jalan keluar atas perangai ananya itu. Namun, semakin sering ia ditegur, ide segar untuk kembali berbuat onar seolah berkecambah dengan subur di otak Zulfirman.

Beranjak remaja, Zulfirman bukannya insyaf, malah makin menjadi-jadi. Datuk Gigi Ameh sendiri pernah hampir menyorongkan parang ke leher anak tirinya itu. Waktu itu, ada dua ekor induk ayam mereka mulai mengeram. Datuk Gigi Ameh sudah mempunyai rencana untuk anak-anak ayam itu. Ia juga sudah mempersiapkan kandang sebagai tempat anak-anak ayam itu begitu menetas nantinya. Namun, sebulan lebih menunggu, telur-telur itu tak juga menetas. Apa yang terjadi? Datuk Gigi Ameh pun melakukan inspeksi langsung ke sangkak tempat kedua induk itu mengeram. Telur-telur itu tak ada kurang barang satupun. Namun, begitu ditelisik, rupanya semua telur itu sudah tak lagi berisi, hampa. Datuk menemukan lubang sebesar jarum peniti di semua telur-telur itu. Musang tak mungkin berbuat seperti itu. Dan, siapa lagi yang telah melubangi telur-telur itu dan mengambil isinya dengan jarum kalau bukan Zulfirman?

Buyuang Angui, si tauke karet yang tak lain adalah induk semang Jului, juga pernah kena ulah cilako Zulfirman. Buyuang Angui yang tauke kaya itu terkenal sangat kikir. Sudah menjadi kebiasaan orang di kampung ketika musim durian datang, semua pohon durian yang ada akan menjadi milikbersama. Artinya kau boleh mengambil durian jatuh di kebun siapa saja. Namun, jangan berharap kau bisa mencicipi buah durian yang ada di kebun Buyuang Angui. Ia melarang orang memungut buah durian yang jatuh di kebunnya. Siang malam, akan selalu ada orang yang disuruh Buyuang Angui untuk menjaga durian di kebunnya agar tidak diambil oleh orang lain. Suatu malam, ketika Buyuang Angui sedang menjaga pondok di kebun duriannya, Zulfirman datang mengendap-endap menjinjing sebuah durian ke sebalik semak tak jauh sana. Begitu yakin durian itu dalam posisi aman, Zulfirman berjalan sedikit menjauh, lalu dengan sekuat tenaga ia pun melemparkan sebongkah batu ke arah durian tersebut, yang oleh Buyuang Angui terdengar serupa durian jatuh. Menahan tawa, ia mendengar langkah Buyuang Angui bergegas menuju ‘durian’ jatuh itu. Dan, selang beberapa menit kemudian, Zulfirman pun tak kuasa menahan gelak begitu didengarnya Buyuang Angui menyumpah-nyumpah, mengeluarkan semua kata-kata kotor yang pernah ia ketahui. “Tahi anjing! Siapa pula yang memasukkan tahi anjing ke dalam durian ini!” Buyuang Angui meludah berkali-kali. Ya, Zulfirman memang telah membelah durian tadi, dan sebelum merekat kembali durian itu dengan buah puluik-puluik, Zulfirman telah memasukkan tahi anjing ke dalam setiap ruang si raja buah.

Pun, ketika bulan puasa datang, perangai Zulfirman semakin tak terbendung. Waktu itu, bedil bambu masih belum dilarang. Rajo Kayo sang da’i kondang di kampung kami semaput di tengah jalan menuju surau gara-gara letusan bedil bambu yang tiba-tiba membahana dari sebalik pagar perdu. Meski sampai sekarang tak ada yang tahu siapa pemilik bedil bambu laknat itu, namun Zulfirman tetaplah aktor utama yang jadi tersangka.

Kakeknya sendiri, Rajab, sering jadi sasaran empuk Zulfirman. Rajab adalah laki-laki bisu, yang juga pekak. Setiap kali sholat berjemaah di surau, Rajab biasanya mengandalkan orang yang ada di kiri-kanannya untuk mengetahui gerakan sholat berikutnya karena jelas ia tak mungkin mendengar suara imam. Zulfirman pun mengajak kawan sebayanya, Kolis, untuk bersekongkol mengerjai kakeknya. Maka, pada saat sholat tarawih, Zulfirman dan Kolis pun mengambil tempat di sisi kiri dan kanan Rajab. Begitu sujud, Zulfirman dan Kolis sengaja berlama-lama, meski imam sudah membaca takbir. Rajab pun mau tak mau mengikuti mereka berdua. Sujud sampai orang selesai membaca Al Fatihah! Zulfirman dan Kolis pun tak kuasa menahan tawa! Celakanya, tak cukup sekali itu saja ia mencari konco untuk mengerjai Rajab. Hingga kemudian si tua bisu sadar apa yang terjadi. Sejak saat itulah, setiap kali sholat berjemaah, Rajab akan berusaha menjauh dari Zulfirman.

Uda Amin sang Kepala Jorong pun pernah menjadi sasaran kelakar Zulfirman. Menurut cerita yang sengaja disebar oleh Zulfirman sendiri, ia pernah suatu kali sholat berjemaah persis di samping Uda Amin. Begitu imam selesai membaca Al Fatihah, Zulfirman mendengar Pak Amin bukan menyebut kata ‘amin’ seperti seharusnya, namun mengatakan ‘ambo’ dengan nada panjang seperti orang membaca ‘amin’. Tak ayal, kami pun tertawa mendengar bualan Zulfirman.

Tak satu-dua orang yang telah menasehati Zulfirman. Tak satu-dua kali ia berurusan dengan ninik mamak. Tak satu-dua macam hukuman yang telah dijatuhan pada tukang onar itu. Namun Zulfirman seolah memang telah dilahirkan sebagai seorang yang cilako. Sumber mata air mantiko yang ia miliki seakan tak pernah kering memuntahkan ide-ide baru untuk membuat keresahan di kampung kami. Ia serupa daun jilatang yang menebar racun gatal ke setiap orang yang menyentuhnya. Itulah kenapa kemudian diam-diam oaring kampung menyebutnya dengan gelar Bujang Jilatang. Anehnya, Zulfirman malah tertawa bangga ketika ia mendengar julukan itu dilekatkan padanya.

Zulfirman hanya menempuh pendidikan hingga bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas. Ia sendiri yang meminta berhenti, karena katanya guru-guru di sekolah adalah robot yang mengajarkan semua murid menjadi robot. Yang harus patuh pada peraturan. Yang tak boleh melawan pada guru. Yang tak boleh berkata-kata kotor. “Aku tak mau jadi robot,” begitu ucapnya tegas ketika kami bertanya alasan kenapa ia tak mau melanjutkan pendidikannya. Karena kami tahu, di balik kelakuannya yang kurang terpuji, Zulfirman adalah sosok yang bernas, pintar.

Begitulah, Zulfirman memang lebih senang memilih menjadi raja atas dunianya sendiri. Menjadi orang bebas yang tak terikat oleh aturan apapun. Berbuat sesuka hatinya saja.

Dan, tentu saja ia tak pernah menyangka bahwa maut akan datang sesuka hatinya juga menemuinya. Ia ditemukan mati di atas pematang sawah pada suatu hari di awal bulan Syawal. Mulutnya penuh busa, sekujur tubuhnya biru lebam. Padahal, paginya ia masih segar bugar dan bahkan masih sempat mencampurkan spritus dan obat sakit kepala ke dalam gelas tuak yang hampir saban minggu ditenggak oleh Datuk Gigi Ameh.

Kematian Zulfirman yang mencurigan itu sempat disangkutpautkan dengan ulahnya yang telah membuat Datuk GigiAmeh koma. Orang-orang kampung pun bahkan ada yang menarik kesimpulan bahwa Datuk Gigi Ameh telah membayar seseorang untuk menghabisi Zulfirman. Namun, kapan pula Datuk Gigi Ameh sempat memerintahkan seseorang untuk membunuh Zulfirman jika ia sendiri tak sadar-sadar semenjak menenggak minuman oplosan yang diramu anak tirinya itu. Atau apakah memang Datuk Gigi Ameh telah lama ingin menuntaskan perangai mantiko Zulfirman?

Tak seorang pun mampu mendapatkan jawaban atas teka-teka kematian Zulfirman. Karena, tak berapa hari berselang setelah Zulfirman resmi menyandang gelar almarhum, Datuk Gigi Ameh pun menyusulnya ke liang lahat.

Spekulasi lain yang beredar pun tak kalah menghebohkan. Sehari setelah kepergian Zulfirman, entah kebetulan entah memang direncanakan, Oncu Lintau pulang dari Malaysia, dan katanya ia sempat menjenguk Datuk Gigi Ameh ke Puskesmas. Konon, di rantau, ia pernah mendengar dari orang kampung bahwa Datuk Gigi Amehlah yang pertama kali menggembar-gemborkan hubungan terlarang antara Angah Piah dan Jului yang telah membuat Oncu Lintau menjatuhkan talak pada Angah Piah. “Oncu Lintau pulang menuntut balas.” begitu kata orang-orang.

***

Mati di usianya yang baru menginjak kepala dua, Zulfirman memang hanya meninggalkan jejak hitam di benak kami. Kenangan tentangnya memang tak pernah lepas dari perangai cilako yang saban hari ia lakukan.

“Lalu, apa alasan Bujang Jilatang bisa menjadi orang pertama dari Sumpur Kudus yang akan masuk Surga?” tanyamu.

“Katanya, saking banyaknya dosa yang telah diperbuat Zulfirman, Malaikat Penjaga Neraka pun akan sangat murka begitu melihatnya. Hingga, begitu ia akan melintasi jembatan Siratalmustaqin, Malaikat pun mendendang Zulfirman sekuat tenaga. Zulfirman pun terlempar jauh sekali, melintasi lembah Neraka. Dan, tanpa ia duga, ternyata tendangan Malaikat tadi telah melemparkannya ke Surga.”

Seperti orang-orang di lapau, kau pun tertawa.

***

Meski julukan Bujang Jilatang dan Penghuni Surga Pertama dari Sumpur Kudus yang disematkan warga kampung padanya tak sepenuhnya bisa kuterima, namun setiap kali mendengar nama Bujang Jilatang alias Zulfirman, hatiku selalu merasa tergelitik dan ngilu di saat bersamaan. Aku tertawa lepas bersama orang-orang lapau, namun aku juga tak bisa memungkiri bahwa aku juga kagum padanya, yang bisa dengan berani hidup bebas tanpa ada aturan yang mengikatnya.

Aku jelas tak bisa serta merta menyalahkan Zulfirman yang harus menjadi Bujang Jilatang – penebar risau dan gatal di tengah kampung. Karena, bagaimanapun, aku turut bertanggung jawab atas perangai buruk yang melekat di tubuh anak itu.

Andai dulu aku mau bertanggungjawab atas apa yang telah kuperbuat dengan Angah Piah, ibunya Zulfirman, mungkin bujang itu tak akan tumbuh tanpa didikan seperti itu.

“Jadi, siapa ayah Zulfirman sebenarnya?” tanyamu kemudian.

Sumpur Kudus, 12 Agustus 2011.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun