Di Yangon, Myanmar, saya sering merasa seperti penjelajah waktu yang terlempar ke masa lalu. Trotoarnya padat oleh pedagang kaki lima yang bibirnya memerah ternoda kunyahan sirih-pinang. Di mana-mana masih banyak perempuan yang masih memakai
longyi, pakaian tradisional yang berwujud kain panjang dan
blouse cantik, dengan rambut panjang yang diikat sederhana atau disanggul. Para pria pun berlalu-lalang memakai sarung kotak-kotak yang dipadu dengan kemeja. Kaki-kaki mereka banyak yang tak memakai sepatu, cukup beralaskan sandal jepit saja. Di tangan mereka biasanya ada rangkaian rantang aluminium berisi bekal makanan, plus payung besar untuk melindungi diri dari terik matahari atau hujan deras, terutama saat musim
monsoon tiba.
KEMBALI KE ARTIKEL