Ibadah haji bukanlah ibadah "dhohir" yang mengutamakan bacaan ataupun gerakan. Thawaf (mengelilingi Ka'bah), sai (berlari-lari kecil diantara dua bukit, Shafa dan Marwah), tahallul (menggunting rambut), mabit (bermalam di Muzdalifah) ataupun lontar jumroh di Mina, tidak mensyaratkan sebuah bacaan ataupun gerakan tertentu yang apabila tidak dibaca ataupun dilakukan maka hajinya tidak sah. Oleh karena ibadah haji yang digambarkan penuh dengan lempar-melempar, berlai-lari, berdiam diri dan berputar-putar, maka ketika melihat orang melaksanakan ibadah haji persis seperti anak-anak yang sedang bermain.
Walaupun seperti permainan anak-anak, perlu diketahui bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang mengutamakan dan menitikberatkan pada aspek psikologis. Lain halnya dengan sholat (walaupun aspek psikologis juga sangat berpengaruh) yang sangat menjaga dan meemperhatikan gerak fisik dimana ketika seseorang melaksanakan sholat, maka dia tidak boleh berbicara ataupun melakukan gerakan diluar gerakan-gerakan sholat. Karena konsekuensi dari hal-hal tersebut adalah sholat menjadi batal.
Haji bukanlah ibadah yang mudah karena dalam ibadah haji terdapat larangan-larangan yang sifatnya bertujuan untuk mengendalikan sifat hewani mereka. Tidak boleh menggunting kuku, memakai wewangian, menggauli istri bahkan mencabut rerumputan merupakan sebagian "ujian" yang harus dihadapi. Dimana masing-masing dari tiap ujian tersebut memiliki nilai edukasi untuk membentuk pribadi yang bisa pasrah kepada Tuhannya.
Inti dari ibadah haji adalah mewujudkan sebuah penghambaan total dan sekaligus napak tilas Nabi Ibrahim yang merupakan nabi yang "paling pasrah" kepada Allah SWT. Ketika melakukan sai, para jama'ah haji diajak bercengkerama dengan bukit Shafa dan Marwah yang dimana keduanya merupakan saksi bisu bagaimana usaha Siti Hajar untuk mendapatkan air sebagai sumber kehidupan untuk putranya Ismail. Dengan harapan dapat menyadarkan para jama'ah secara psikologis bahwa hidup ini memerlukan sebuah campur tangan Tuhan. Sehingga ketika mereka kembali ke negara asal masing-masing dapat memperoleh haji yang mabrur. Yaitu haji yang memberikan manifestasi nyata terhadap kehidupan mereka baik kehidupan dengan sesama manusia ataupun dengan Tuhannya dengan sebuah kepasrahan yang masuk akal.
Semoga para jama'ah haji dapat memaknai sekaligus memahami inti dari ibadah haji sehingga ibadah mereka bukan sekedar ibadah main-main yang hanya mementingkan titel haji semata.
Tuhanlah Yang Maha Benar.