Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bocah Pejuang Recehan di Lampu Merah

8 Januari 2015   03:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35 25 0
Di lampu merah di kota-kota besar ,tak jarang kita temui anak-anak kecil berseliweran tanpa alas kaki, membawa gelas plastik bekas air mineral sembari menengadahkan tangan kepada setiap para pengguna jalan yang berhenti di lampu merah. Tak jarang pula terbesit rasa iba dan miris melihat bocah yang seharusya duduk santai dan bermain di rumah menghabiskan masa bermainnya, ini harus berjuang menahan panasnya terik matahari dan debu jalanan demi mencari recehan. Namun melihat senyum yang terpancar di wajahnya terlihat betapa pun susahnya hidup mereka sangat menikmati itu semua. Ya menikmati pekerjaannya sebagai pengamen, penari, atau peminta-minta di lampu merah karena mungkin bagi mereka, hanya itulah kemampuan yang bisa mereka lakukan mengingat usia mereka yang masih kecil dan belum memiliki pengalaman serta wawasan apa-apa. Sama seperti fenomena yang saya lihat sore itu saat melintasi perempatan , tak jarang saya melihat anak kecil dengan kotak yang selalu ia jinjing kemana-mana. Di dalam kotak itu ada salon kecil yang ia gunakan untuk memutar musik. Dan saat lampu merah menyala, ia memutar musik yang ada dalam kotak tersebut dan mulai menari. Seadanya. Sebisanya. Namun saya lihat ia begitu semangat dalam menunjukkan kebolehannya dalam menari. Yah meskipun itu sangat biasa saja, hanya sekedar menggerak-gerakkan tangan dan kaki. Satu menit menari ia mulai mendatangi satu persatu para pengguna jalan guna meminta recehan. Tak jarang banyak yang menolak secara halus, bahkan ada yang pura-pura tidak tahu. Dalam kasus ini saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Satu yang terlintas di fikiran saya. Kemanakah gerangan orang tua mereka. Apakah orang tuanya tau keadaan anaknya yang bertaruh nyawa di jalan raya demi memperoleh recehan. Keesokannya saya pergi ke sebuah supermarket masih di dekat kawasan yang sama. ketika hendak keluar dari area parkir, saya di kejutkan oleh seorang laki-laki tua yang menengadahkan tangan kirinya kepada saya, meminta recehan, sementara tangan kanannya sibuk dengan sebatang rokok dan duduk santai seperti tak ada beban. Perasaan saya miris. Marah. Saya tidak berani menjudge ia seorang laki-laki pemalas. Mungkin ia punya alasan lain mengapa ia seperti itu. Namun dari cara ia duduk, menghisap rokok, dan menengadahkan tangan kanannya untuk meminta-minta, itu sungguh suatu perilaku yang sangat keterlaluan. Dengan keadaan yang terlihat sehat bugar, sangat tidak pantas untuk menghiba belas kasihan orang dengan cara meminta-minta. Satu lagi terlintas d fikiran saya. Kemana keluarganya ? dan bagaimana pula anak-anaknya, apakah nasibnya tak jauh berbeda dengan si penari kecil yang saya temui di lampu merah apabila mengingat keadaan orang tua yang seperti ini. Apakah contoh semacam ini bisa di katakan sebagai contoh laki-laki yang bertanggung jawab dalam menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarganya ? namun ini realita. Inilah yang sesungguhnya terjadi di sekitar kita. Terlepas dari itu semua, pengangguran dan keterbatasan sumber daya manusia nampaknya masih menjadi penyebab utama meningkatnya angka kemiskinan di negeri ini. Sehingga arti pendidikan itu tak lagi penting. Yang penting adalah bagaimana keluar rumah dan pulang dengan membawa rezeki. Bila pendidikan tak lagi penting lalu bagaimana nasib anak-anak jalanan ? bukankah mereka sama seperti yang lain ? sama-sama calon penerus negeri ini ke depan. Beberapa daerah di kota besar sudah melayangkan perda berupa larangan untuk memberi recehan kepada mereka hingga menetapkan denda apabila di langgar kepada para peminta-minta yang masih bocah, namun alangkah baiknya apabila pemerintah juga memberdayakan mereka atau di bina. Memberikan pendidikan yang layak. Membekali mereka dengan keterampilan. Sehingga mereka bisa bersekolah dan tak harus turun ke jalan guna meminta-minta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun